Di Beranda
Sehelai daun terbaring di beranda
kemudian tidur
menangkap bayang-bayang
Kantuk turun mencium ubun
tapi mampukah sampai kepada mimpi
yang menyimpan bau busuk
hidup manusiawi?
Barangkali
mimpi hanya seekor burung
terbang ke surga
yang diusik pengalaman dunia
Bandung, 1972
Sumber: Horison (September, 1975)
Analisis Puisi:
Puisi "Di Beranda" karya Pesu Aftarudin adalah sebuah perenungan yang sunyi namun dalam. Lewat metafora dan suasana yang minimalis, penyair menggambarkan keraguan eksistensial manusia—tentang mimpi, tentang hidup, dan tentang kebusukan yang membayang dalam keseharian. Di balik kesederhanaan penggambaran, puisi ini menyimpan kedalaman makna yang mengajak pembaca untuk berpikir ulang tentang harapan, kenyataan, dan makna kehidupan itu sendiri.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah refleksi kehidupan dan absurditas mimpi. Penyair mengangkat kegelisahan eksistensial yang muncul ketika manusia dihadapkan pada pertanyaan tentang makna hidup, mimpi, dan realitas yang kadang tak seterang harapan. Melalui elemen-elemen kecil seperti sehelai daun atau bayangan, puisi ini membentuk pertanyaan besar tentang hakikat kehidupan manusia yang tampaknya sederhana namun sebenarnya kompleks.
Puisi ini bercerita tentang momen sunyi di sebuah beranda di mana sehelai daun terbaring, lalu tidur. Namun tidur itu bukanlah istirahat biasa; ia menangkap bayang-bayang—simbol dari kenangan atau trauma yang belum selesai. Kantuk yang turun mencium ubun adalah isyarat dari masuknya kesadaran menuju alam bawah sadar, menuju mimpi. Tetapi mimpi yang diidam-idamkan itu justru menyimpan bau busuk, yaitu realitas pahit dari "hidup manusiawi." Ini adalah gambaran tentang betapa mimpi pun bisa ternoda oleh kehidupan yang penuh luka. Pada akhirnya, penyair mempertanyakan apakah mimpi itu sungguh sesuatu yang murni, atau sekadar seekor burung yang hendak ke surga tetapi selalu diusik oleh "pengalaman dunia".
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah tentang konflik antara harapan dan realitas. Mimpi, yang kerap dianggap sebagai pelarian atau tempat suci dari penderitaan dunia, ternyata juga tak steril dari bau busuk kehidupan. Ini menyiratkan bahwa tak ada pelarian yang sempurna dari kenyataan. Bahkan ruang mimpi pun bisa terkontaminasi oleh luka-luka pengalaman, trauma, dan kenangan pahit. Mimpi, dalam puisi ini, menjadi simbol idealisme atau spiritualitas yang ingin menuju surga, tetapi terus-menerus terganggu oleh duniawi yang kasar dan berisik.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi terasa hening, reflektif, dan melankolis. Bayangan sebuah daun yang terbaring di beranda saja sudah menghadirkan atmosfer kesepian. Kantuk yang turun pelan-pelan memberikan kesan tenang namun mengandung beban batin. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di bait-bait berikutnya memperkuat nuansa kontemplatif: ini adalah malam dalam batin manusia, di mana cahaya tak mudah masuk, dan mimpi tak selalu menenangkan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat yang bisa ditarik dari puisi ini adalah kesadaran bahwa bahkan hal yang tampaknya indah atau penuh harapan—seperti mimpi—bisa terkontaminasi oleh pengalaman hidup yang keras. Penyair tampaknya ingin menyampaikan bahwa manusia perlu menyadari keterbatasan pelarian diri dari realitas. Bahkan saat kita ingin “tidur” dari kenyataan, mimpi itu sendiri bisa menjadi tempat konfrontasi yang pahit. Pesannya bukan tentang pesimisme, melainkan tentang kejujuran terhadap realitas dan kehati-hatian dalam memaknai harapan.
Imaji
Puisi ini membangun imaji yang sangat kuat meskipun dengan kata-kata yang sederhana:
- "Sehelai daun terbaring di beranda" menghadirkan visual tentang kesunyian dan ketenangan, namun juga menyiratkan kefanaan.
- "Menangkap bayang-bayang" menciptakan imaji abstrak yang bisa diasosiasikan dengan kenangan atau trauma yang tak tampak, tapi terasa.
- "Kantuk turun mencium ubun" adalah imaji yang lembut namun dalam, menggambarkan transisi sadar menuju mimpi.
- "Mimpi hanya seekor burung / terbang ke surga / yang diusik pengalaman dunia" adalah imaji simbolik yang menyandingkan spiritualitas (surga) dengan realitas (pengalaman dunia), memperkuat kontras antara idealisme dan kehidupan sehari-hari.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi: "Sehelai daun terbaring", "daun tidur", dan "kantuk mencium ubun" adalah bentuk personifikasi yang membuat benda-benda mati atau abstrak seolah memiliki tindakan manusia.
- Metafora: "Mimpi hanya seekor burung" adalah metafora yang menggambarkan mimpi sebagai entitas hidup yang mencoba terbang ke sesuatu yang ideal, namun terhalang.
- Ironi: Ada ironi ketika mimpi—yang biasanya diharapkan membawa ketenangan—justru menyimpan “bau busuk hidup manusiawi”.
- Simbolisme: Burung, surga, mimpi, dan bayang-bayang semuanya menjadi simbol dalam medan makna puisi ini.
Puisi "Di Beranda" karya Pesu Aftarudin adalah perwujudan dari puisi kontemplatif yang merefleksikan tentang ketidakmurnian mimpi dan realitas kehidupan. Dengan imaji yang sederhana namun simbolik, penyair mengajak kita merenung: mampukah kita benar-benar lari dari kenyataan melalui mimpi, atau akankah mimpi itu sendiri membawa kita kembali pada luka yang belum selesai? Lewat sehelai daun di beranda, penyair menyuarakan kegelisahan yang sangat manusiawi—tentang keinginan untuk damai, dan kenyataan yang tak selalu mengizinkan.
Puisi: Di Beranda
Karya: Pesu Aftarudin
Biodata Pesu Aftarudin:
- Pesu Aftarudin lahir pada tanggal 11 Oktober 1941 di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara.
- Pesu Aftarudin meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 2019 di Joglo, Ciawi, Tasikmalaya, Jawa Barat.