Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Luar Itu Angin Mengguncang Pohonan (Karya Pesu Aftarudin)

Puisi "Di Luar Itu Angin Mengguncang Pohonan" karya Pesu Aftarudin mengangkat tema waktu, kesadaran, dan kefanaan manusia dalam pusaran alam.
Di Luar Itu Angin Mengguncang Pohonan

Di luar itu angin mengguncang pohonan
engkau saksikan. Gaung panjang mengendap
dalam ruang dan senja gerimis
menggetarkan sayap cakrawala

Kemudian gelita
terbaring di atas kemarau, pelahan
melengkap hari. Sementara langit
mengejapkan matanya membersihkan musim dan cuaca.

Di antara tangan-tangan angin yang gemuruh
di antara bisunya rumputan, gunung pun terapung
jam menggeliat, usia memanggil-manggil
dari tempat kita menunggu

Engkau tertegun tiba-tiba, terjaring
ketika tak tahu diam-diam waktu
menerkam tengkuk kita.

Bandung, 1969

Sumber: Basis (Januari, 1970)

Analisis Puisi:

Puisi "Di Luar Itu Angin Mengguncang Pohonan" karya Pesu Aftarudin merupakan sebuah karya yang memadukan kekuatan alam dengan perenungan eksistensial. Lewat metafora, suasana alam, dan simbol-simbol waktu, puisi ini menyajikan sebuah panorama batin manusia yang terjaga dalam diam namun terus bergerak dalam gelombang waktu dan perubahan.

Tema

Puisi ini mengangkat tema waktu, kesadaran, dan kefanaan manusia dalam pusaran alam. Di satu sisi, ia menggambarkan kekuatan alam seperti angin, senja, dan gelap, namun pada saat yang sama menyusupkan kesadaran bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari siklus besar itu—yang pada akhirnya juga akan dilipat oleh waktu.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini sangat mendalam. Ia menyuarakan bahwa perjalanan waktu adalah kekuatan yang tak bisa dihindari, diam-diam merayap dan menerkam manusia yang lengah. Kesan "tertegun tiba-tiba" di bagian akhir puisi merupakan simbol kesadaran mendadak, sebuah refleksi bahwa waktu berjalan tanpa kita sadari dan seringkali datang dengan kejutan: usia yang menua, musim yang berubah, dan hidup yang terus berjalan tanpa kompromi.

Selain itu, puisi ini juga memberi pesan bahwa manusia sering terlalu sibuk menunggu—mungkin menunggu perubahan, harapan, atau jawaban—tanpa menyadari bahwa waktu tak pernah menunggu balik.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan waktu dan respons batin manusia terhadap pergeseran alam dan musim. Ia dimulai dengan gambaran angin yang mengguncang pohon, senja gerimis, hingga gelap yang merayap perlahan. Semua elemen itu menjadi cermin dari perasaan si aku lirik yang larut dalam perenungan akan keberadaan dan kefanaannya. Ketika angin berhembus dan rumput terdiam, ketika jam “menggeliat” dan usia “memanggil-manggil”, pembaca diajak menyelami proses kontemplatif tentang hidup yang terus bergulir di luar kesadaran kita.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini sangat melankolis dan reflektif. Ada nuansa alam yang megah namun sunyi, seperti "gaung panjang", "senja gerimis", dan "gelita di atas kemarau". Semua itu menciptakan efek keheningan yang dalam namun penuh gejolak batin. Suasana ini memperkuat kesan keterasingan dan keterkejutan manusia di tengah semesta yang luas dan terus bergerak.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Pesan yang disampaikan puisi ini adalah bahwa waktu adalah kekuatan yang tak terlihat namun sangat nyata. Ia berjalan terus tanpa bisa dihentikan, dan kita sebagai manusia sering terjebak dalam kesibukan, penantian, atau kealpaan hingga akhirnya dikejutkan oleh kenyataan waktu yang telah berlalu. Puisi ini mengingatkan kita untuk lebih sadar akan hadirnya waktu dalam setiap detik kehidupan, dan tidak terbuai dalam diam atau penantian yang panjang.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual dan imaji suasana yang kuat:
  • Visual: “angin mengguncang pohonan”, “senja gerimis”, “sayap cakrawala”, “langit mengejapkan matanya”, “gunung terapung” — semua ini menciptakan gambaran alam yang bergerak, hidup, dan berirama.
  • Suasana: Imaji seperti “gelita”, “kemarau”, “bisunya rumputan”, dan “jam menggeliat” memberi nuansa waktu yang lambat namun mencekam, menghadirkan kesan diam yang penuh tekanan emosional.
Imaji-imaji ini menjadi cermin dari batin yang gelisah di tengah perubahan dan pergerakan waktu.

Majas

Puisi ini memanfaatkan beberapa majas utama:
  • Personifikasi: “angin mengguncang pohonan”, “langit mengejapkan matanya”, “jam menggeliat”, “waktu menerkam tengkuk” — semua ini memberi nyawa pada benda-benda mati dan menjadikan alam sebagai makhluk hidup yang aktif berinteraksi dengan manusia.
  • Metafora: “gelita terbaring di atas kemarau” adalah ungkapan metaforis yang memadukan dua kondisi ekstrem (kegelapan dan kekeringan) untuk menekankan suasana mencekam dan tanpa harapan.
  • Paralelisme: penggunaan frasa “di antara… di antara…” memberi ritme yang menekankan perulangan serta tekanan emosional dari pengulangan peristiwa dan kondisi.

Sebuah Puisi tentang Waktu yang Menyelinap Diam-diam

Puisi "Di Luar Itu Angin Mengguncang Pohonan" adalah puisi yang tidak hanya berbicara tentang alam, tapi lebih dari itu—ia menyuarakan kesadaran akan kefanaan dan kedalaman eksistensi manusia dalam menghadapi waktu yang tak henti bergerak. Pesu Aftarudin menghadirkan lanskap alam sebagai cermin reflektif atas jiwa manusia: gemuruh angin adalah desah usia, gerimis senja adalah lirihnya kesadaran, dan waktu yang menerkam adalah takdir yang tak bisa dielakkan.

Puisi ini mengajak kita untuk berhenti sejenak, mendengar dan menyadari, bahwa di balik diamnya rumput dan terapungnya gunung, waktu terus menggeliat. Dan jika kita lalai, ia akan menyapa kita bukan dengan suara, melainkan dengan gigitan pada tengkuk—tanda bahwa ia telah lama bersama kita, tanpa kita sadari.

Puisi
Puisi: Di Luar Itu Angin Mengguncang Pohonan
Karya: Pesu Aftarudin

Biodata Pesu Aftarudin:
  • Pesu Aftarudin lahir pada tanggal 11 Oktober 1941 di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara.
  • Pesu Aftarudin meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 2019 di Joglo, Ciawi, Tasikmalaya, Jawa Barat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.