Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Eksplikasi Tumang Sumbi (Karya Daffa Randai)

Puisi "Eksplikasi Tumang Sumbi" karya Daffa Randai bercerita tentang perjalanan dan kematian Tumang, seekor anjing dalam legenda yang ternyata ...

Eksplikasi Tumang Sumbi

: Sangkuriang

1.
sebab sejak pagi
memang tak ada kawanan rusa
di jantung hutan ini, dik.
sedang seluruh penjuru
telah tuntas disusur.
langkah pun kian berlipat
diperpanjang bayang matahari.
bilur keringat tumpah
membasuh jejak kaki
tetapi panah memilih tanggal
di punggung ‘kuri.

2.
hanya kicau burung
bising bersaut, dan daun
yang tak henti menggugur
yang kami temui, dik.
tanpa isyarat apa pun
hari ini bisa menjelma sia-sia
bagi perburuan
dan kepulangan dewa
bertubuh tumang
kepada dayang
yang sejak pagi telah
menanggung letih sendirian.

3.
aku mengikuti peta dan arah
ke mana ‘kuri
memperpanjang langkah.
sebab mewaspadai serangan
dari buas buruan
dan menjaga ia dari bahaya
ialah sebaik-baik lakonan ayah
kepada putra semata wayang
yang lahir dari doa
dan rahim dayang:
makhluk tunggal yang kekal
bermukim di jiwaku
seumur tuhan.

4.
tak ada sisa bekal di saku
sementara matahari
kian memuncaki kepala.
sesekali berteduh, sesekali putus asa.
selebihnya
ialah perulangan rasa cemas
tentang kepulangan yang tak juga
membawa kepal jantung rusa
yang kau idam-idamkan sejak lama.

5.
sengaja kutanggalkan sihir
di sepanjang jalan perburuan, dik.
tak seorang pun boleh mengerti
tentang penjelmaan ini, tak juga ‘kuri.
meski diri tersandera
terjebak pada keletihan:
kaki menapaki sesuatu yang kuterka
hanya berlangsung
untuk akhir yang sia-sia
mengubur lemah tubuh
tetap jadi siasat aman
ditempuh demi keselamatan.
6.
semula tak ada yang patut diwaspadai.
angin tetap berlarian membenturkan tubuh
pada daun, pada ranting pohon rapuh
juga pada segala
yang tak berkesempatan menghindar.
hanya ‘kuri sontak berdiri dari duduknya
menatap tajam ke arah perteduhanku
di kaki pohon yang tak kutahu nama
juga asal-usulnya itu.

7.
jauh sebelum tuntas kueja kemungkinan
dari sepasang mata yang menjelma
pemburu berpunggung panas
panah lebih gesit menghunjam tubuhku
tanpa aba-aba, tanpa isyarat apa pun
yang bisa kutangkap sebagai bahaya.
dengan mahabengisnya, dik:
ia lantas merobek tubuhku
yang anyir bersimbah darah
lanjut mengiris jantung
dan oh, mahapedih dirasa.
8.
kemudian
ia pulang padamu di petang hari.
membawa kepal jantung
yang bukan dirobek dari tubuh rusa
atau dari tubuh binatang apa pun
melainkan dari tubuh lelakimu sendiri.
seketika kau sibuk menyusun pertanyaan
aku seorang diri terjaga di hutan:
menikmati pedih kematian.

9.
tapi kematianku
akan segera dilupakan, dik.
sebab sejarah tak pernah mencatat
kematian seekor anjing
dipestakan doa-doa.
kecuali bila kau sudi menziarahi ingatan
tentang aku: yang tak juga datang
dan kau segera paham
bahwa gulir kenyataan
sengaja mencurangimu perlahan.

10.
lantas kau kutuk segalanya.
sebab bagimu, tak ada siapa pun
berhak menyarangkan kebohongan.
selebihnya ialah air mata penyesalan
tampak bersarang di wajah ‘kuri dan kau.
tetapi, dik: seduka apa pun, kenyataan tetap
tak akan mampu membawaku pulang.

2019

Analisis Puisi:

Puisi "Eksplikasi Tumang Sumbi" karya Daffa Randai merupakan karya sastra kontemporer yang mengangkat kisah mitologis dari legenda rakyat Nusantara, khususnya cerita Sangkuriang. Namun alih-alih menempatkan tokoh utama manusia sebagai pusat narasi, puisi ini justru menyuarakan suara Tumang—anjing jelmaan dewa dan ayah Sangkuriang—yang kerap dilupakan. Lewat sudut pandang yang tragis dan puitis, penyair menggambarkan kisah lama dalam sudut yang berbeda, menyayat perasaan, dan penuh dengan kedalaman batin.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pengorbanan yang terlupakan dan pengkhianatan terhadap kebenaran. Tumang yang selama ini dikenal hanya sebagai seekor anjing, ternyata membawa beban sebagai ayah yang menyayangi anaknya. Puisi ini menyuarakan sisi gelap dari narasi besar—bagaimana sejarah dan kenyataan bisa menutup-nutupi pengorbanan demi menjaga kebohongan yang dianggap mulia.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan dan kematian Tumang, seekor anjing dalam legenda yang ternyata adalah penjelmaan dewa dan ayah biologis Sangkuriang. Dalam kisah tradisional, Tumang dibunuh oleh Sangkuriang demi memenuhi keinginan ibunya, Dayang Sumbi, yang mengidam jantung rusa. Namun dalam versi puisi ini, cerita dikembangkan menjadi semacam monolog eksistensial dari Tumang, yang menyadari dan menerima takdirnya, meskipun tragis. Ia menjadi saksi dari pengkhianatan, kebohongan, dan kelupaan akan pengorbanan yang ia berikan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini menyentuh banyak aspek, mulai dari relasi antara orang tua dan anak, ironi sejarah, hingga pertanyaan tentang identitas dan pengakuan. Tumang sadar bahwa dirinya bukan hanya seekor binatang, melainkan ayah yang mencintai dan menjaga putranya. Namun justru ia menjadi korban dari narasi yang keliru. Puisi ini menyentil bagaimana sejarah ditulis dari sudut pemenang, dan mereka yang kalah—bahkan dalam pengorbanan—tidak selalu mendapat tempat di ingatan.

Lebih jauh, puisi ini juga menyinggung soal penolakan terhadap kebohongan, seperti tercermin dalam reaksi Dayang Sumbi di bagian akhir yang akhirnya menyadari kenyataan sebenarnya. Namun kesadaran itu datang terlambat, karena Tumang sudah mati dan tidak akan kembali.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual dan emosional. Pembaca bisa membayangkan:
  • Hutan yang sunyi dan mencekam
  • Keringat dan keletihan perburuan
  • Panah yang menghunjam tanpa ampun
  • Darah yang bersimbah
  • Seorang perempuan yang terhenyak dalam penyesalan
Semua gambaran ini membawa pembaca masuk ke dalam dunia puitik yang sangat hidup, penuh rasa perih dan sunyi, menciptakan suasana getir dan suram.

Majas

Puisi ini juga dipenuhi dengan majas-majas yang memperkuat daya puitik dan emosionalnya:
  • Personifikasi: Angin digambarkan “berlarian membenturkan tubuh pada daun”, dan mata yang “menjelma pemburu berpunggung panas”.
  • Metafora: Jantung rusa sebagai lambang pengorbanan dan cinta, sekaligus simbol kematian.
  • Ironi: Tumang, sang ayah, harus mati di tangan anak yang tak menyadari siapa dirinya.
  • Alegori: Seluruh puisi bisa dibaca sebagai alegori tentang kehilangan identitas dan penolakan terhadap kebenaran, baik secara personal maupun historis.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Pesan utama puisi ini adalah tentang pentingnya kejujuran dalam mengenali dan mengakui kebenaran, betapa pun pahitnya. Puisi ini menyampaikan bahwa cinta sejati tak selalu dihargai, dan kebaikan tak selalu dikenang. Namun pengorbanan yang tak disebut dalam sejarah bukan berarti sia-sia, karena puisi ini sendiri menjadi bentuk ziarah bagi mereka yang dilupakan.

Ada pula pesan tentang kerapuhan manusia dalam menghadapi kenyataan—bagaimana tokoh Dayang Sumbi dan Sangkuriang akhirnya menyesal, tapi waktu tak bisa diputar kembali. Puisi ini mengajarkan bahwa kejujuran harus diutamakan, dan sejarah perlu dikaji ulang agar tak hanya mencatat yang menang.

Puisi "Eksplikasi Tumang Sumbi" adalah puisi yang menyentuh dan menggugah perasaan, mengajak pembaca untuk memikirkan ulang kisah-kisah yang dianggap sudah final. Daffa Randai lewat karyanya berhasil membuka lapisan-lapisan terdalam dari narasi klasik, dengan menghadirkan perspektif yang selama ini tak terdengar. Di balik metafora dan ironi, puisi ini mengingatkan bahwa setiap kisah memiliki sisi gelap dan terang, dan setiap pengorbanan, betapa pun kecil atau terabaikannya, tetap layak untuk dikenang.

Daffa Randai
Puisi: Eksplikasi Tumang Sumbi
Karya: Daffa Randai

Biodata Daffa Randai:

Daffa Randai lahir pada tanggal 22 November 1996 di Ogan Komering Ulu Timur, Sumatra Selatan. Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Program Studi Magister Sastra. Founder Komunitas dan Kurator Media Publikasi Pura-Pura Penyair. Penggagas: Serikat Penulis Palembang. Penulis buku "Rumah Kecil di Kepalamu" (2018) dan "Rute Lain Menuju Hatimu" (2023). Daffa bisa disapa di Instagram @randaidaffa96

© Sepenuhnya. All rights reserved.