- Kalimbubu = keluarga laki-laki pihak perempuan yang amat dihormat oleh pihak laki-laki (anakberu) dan berkuasa dalam rumah anakberu tentang yang mengenai adat (di Tanah Karo: kalimbubu dan anakberu; di Tapanuli: mora dan anakboru).
- Rumah-tresek = rumah adat di Tanah Karo
- Anakberu bertanggung jawab atas keberesan berlangsungnya kenduri dan segala yang bersangkutan dengan peralatan yang menerimanya dari suhut, tuan rumah, dan seluruh keturunan marganya (di Tanah Karo marga ada lima: Karo-karo, Sembiring, Ginting, Tarigan, Perangin-perangin).
Analisis Puisi:
Puisi “Kalau Tahu” karya Aoh K. Hadimadja adalah karya yang sarat simbol dan sangat lekat dengan akar budaya masyarakat Tanah Karo. Lewat larik-lariknya, sang penyair berhasil mengusung berbagai elemen adat, alam, dan konflik batin kolektif ke dalam satu paduan reflektif. Meski puisi ini berakar pada konteks lokalitas yang khas—dengan menyebut Sinabung, rumah-tresek, kalimbubu, hingga anakberu—namun pesan yang dibawa melampaui ruang dan waktu, menyentuh ranah universal tentang tanggung jawab, kehormatan, dan kesadaran.
Tema: Adat, Bencana, dan Kesadaran Sosial
Tema utama puisi ini adalah kesadaran kolektif terhadap bencana dan tanggung jawab sosial dalam bingkai adat. Aoh tidak hanya bicara soal kehancuran fisik sebuah kampung, tetapi juga menyentuh kehancuran nilai dan struktur sosial. Ia mempertanyakan posisi dan peran tokoh adat—dalam hal ini kalimbubu dan anakberu—ketika kampung berada di ambang binasa. Dalam konteks ini, puisi tidak sekadar menyoroti bencana alam seperti letusan Gunung Sinabung, tetapi juga bencana sosial: retaknya kehormatan, kelambanan bertindak, dan kesombongan status sosial.
Makna Tersirat: Kepedulian yang Tertunda dan Kerapuhan Sistem
Makna tersirat dari puisi ini berbicara tentang kesadaran yang datang terlambat. Larik “Kalau tahu / kampung dalam binasa” menegaskan penyesalan kolektif karena tidak sigap saat ancaman sudah di depan mata. Ini juga bisa dibaca sebagai sindiran terhadap mereka yang terlalu terbuai dalam status sosial dan adat, namun abai saat kampung mereka perlahan-lahan tergulung bencana. Penyair mengangkat fenomena kebekuan struktur adat dalam menghadapi krisis, menggambarkan bagaimana tradisi bisa menjadi tidak relevan bila tidak disertai dengan aksi nyata.
Puisi ini bercerita tentang kegagalan para pemangku adat dalam menjaga keharmonisan dan keberlangsungan kampung saat krisis datang. Kalimbubu yang seharusnya menjadi sosok yang bijaksana dan dihormati, justru digambarkan “lantang memaki-maki dalam rumah-tresek”—gambaran ketidakefektifan otoritas dalam kondisi mendesak. Sebaliknya, anakberu, yang dalam adat Karo bertugas mengurus keperluan adat dan bekerja di balik layar, digambarkan bangkit dan memikul beban. Aoh seolah menunjukkan pergeseran kekuatan: bahwa yang sejati bukan terletak pada gelar, tapi pada aksi dan komitmen.
Imaji: Ladang, Bukit, Sungai, dan Rumah Adat
Puisi ini kaya dengan imaji alam dan adat. Imaji “angin kencang menumbangkan tiang-tiang” dan “sungai mengalir deras dari tiap penjuru” menciptakan gambaran visual dan atmosferik tentang situasi genting. Sedangkan “memikul tiang dan papan bersilang-tunggang” memberi kesan tindakan konkret, perjuangan fisik yang dilakukan demi menyelamatkan rumah, kampung, dan adat. Imaji rumah-tresek, kendang, gung, dan seruani—alat musik tradisional Karo—menambah kedalaman budaya dalam puisi ini.
Majas: Metafora dan Personifikasi
Aoh K. Hadimadja banyak memanfaatkan majas metafora dan personifikasi dalam membangun puisinya. Contohnya, larik “mata-angin dalam lipatan jantung” bukan hanya puitik, tetapi juga memberi makna mendalam: arah, intuisi, dan naluri yang tersembunyi dalam kesadaran manusia. Selain itu, ungkapan “lahar tidak akan bergolak dalam Sinabung semata” mengandung metafora bencana yang bukan hanya geologis, tetapi juga sosial dan emosional. Sungai, mata-angin, bahkan musik dalam puisi ini memiliki ruh dan peran dalam menyuarakan kritik serta kesedihan.
Amanat: Bergerak Bukan Sekadar Bicara
Amanat atau pesan dari puisi ini cukup jelas: Jangan hanya terpaku pada status dan simbol kehormatan jika tidak disertai dengan aksi nyata saat kampung dalam bahaya. Aoh mengingatkan bahwa kebermaknaan adat tidak terletak pada upacara dan gelar, tetapi pada fungsi sosialnya yang hidup—terutama saat komunitas sedang menghadapi cobaan. Dalam hal ini, pesan puisinya bersifat progresif: adat dan struktur sosial tidak boleh beku, ia harus bergerak, tanggap, dan adaptif.
Suasana dalam Puisi: Tegang, Kritik, dan Penuh Keprihatinan
Meski tidak secara eksplisit menyebut suasana, namun nada puisi terasa tegang dan penuh kritik, dengan campuran penyesalan dan dorongan untuk bertindak. Ada keprihatinan yang mendalam terhadap kelambanan sosial dalam menghadapi kehancuran, tetapi juga harapan tersembunyi—terutama saat anakberu akhirnya mengambil inisiatif.
Seruan dari Tengah Adat
Melalui puisi “Kalau Tahu”, Aoh K. Hadimadja menulis bukan dari luar sistem, tetapi dari dalam tubuh adat itu sendiri. Ia menggugah kalimbubu, anakberu, dan seluruh komunitas adat untuk melampaui seremoni dan status, agar mampu bertindak cepat dan kolektif saat krisis melanda. Dengan menyisipkan konteks lokal yang kuat dan menyandingkannya dengan metafora yang dalam, puisi ini bukan sekadar catatan duka, tetapi juga seruan agar nilai-nilai lama terus dihidupkan dalam tindakan nyata. Di tengah lahar Sinabung dan deras sungai dari penjuru mata-angin, Aoh menyuarakan harapan bahwa warisan poyang bukan untuk disanjung semata, tapi untuk diteladani.