Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kesengsaraan Penantian (Karya Afifah Nurhasanah)

Puisi "Kesengsaraan Penantian" karya Afifah Nurhasanah bercerita tentang sekelompok orang yang menunggu masa depan yang tak kunjung datang. Mereka ...

Kesengsaraan Penantian


Riuh tawa berlalu lalang
Layaknya kehampaan 
yang membentang
Pada luasnya padang ilalang

Insan-insan yang terkekang
Nampak semacam dengan 
tiang-tiang yang,
berdiri kaku menjadi penopang

Kapan masa depan datang?
Apakah saat jiwa penopang hilang?
Atau hingga raganya tumbang? 
Pada akhirnya mereka hanya terkenang

Bogor, 21 Mei 2025

Analisis Puisi:

Puisi "Kesengsaraan Penantian" karya Afifah Nurhasanah merupakan potret puitik yang mengalir lirih tentang penderitaan yang dialami oleh mereka yang menanti perubahan, keadilan, atau kehidupan yang lebih layak. Meski hanya terdiri dari beberapa bait, puisi ini menyimpan kedalaman makna yang kuat, menggambarkan bagaimana penantian dapat menjadi bentuk siksaan yang sunyi namun menyayat.

Tema

Puisi ini mengangkat tema tentang penderitaan dan kehampaan dalam penantian yang panjang dan tak pasti. Penantian itu bukan sekadar tentang waktu, tetapi tentang beban psikologis dan sosial yang menekan mereka yang berharap tanpa kepastian.

Secara garis besar, puisi ini bercerita tentang sekelompok orang yang menunggu masa depan yang tak kunjung datang. Mereka digambarkan seperti “tiang-tiang” yang berdiri kaku, menopang harapan tetapi tidak pernah berpindah tempat. Tawa orang lain yang berlalu lalang terasa menyakitkan, karena menciptakan kontras dengan kehampaan batin para penanti.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik sosial terhadap ketidakadilan struktural yang membuat sebagian orang terjebak dalam nasib yang stagnan. Para “penopang” yang dimaksud bisa jadi merupakan simbol dari kelas pekerja, kaum marjinal, atau generasi muda yang terus menunggu perubahan yang dijanjikan, tetapi tak kunjung nyata. Mereka hanya dikenang ketika tubuh mereka tak lagi sanggup menopang—ketika raganya tumbang.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang tercipta dalam puisi ini adalah muram, suram, dan sepi. Kata-kata seperti “kehampaan,” “terkekang,” dan “tumbang” menciptakan atmosfer yang berat dan penuh tekanan. Ada rasa kesedihan yang tak diungkapkan secara meledak, tapi dipendam dalam baris-baris yang dingin dan tenang.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat dari puisi ini dapat ditafsirkan sebagai pengingat agar jangan menyepelekan mereka yang diam namun menopang kehidupan bersama. Puisi ini ingin menyampaikan bahwa penantian yang tidak berujung dapat menghancurkan harapan, dan bahwa keadilan sosial seharusnya tidak datang terlambat, karena pada akhirnya, yang dikenang hanyalah jejak dari mereka yang telah gugur.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual dan eksistensial. Contohnya:
  • “Padang ilalang” menggambarkan luasnya ruang yang sunyi dan tidak terurus, menciptakan kesan kehampaan.
  • “Tiang-tiang yang berdiri kaku” menciptakan citra fisik dari manusia-manusia yang menjadi struktur diam, menopang kehidupan tanpa disadari.
  • “Jiwa penopang hilang” dan “raganya tumbang” menghadirkan gambaran tragis dari kelelahan yang menumpuk secara batin dan jasmani.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini meliputi:
  • Personifikasi: “Riuh tawa berlalu lalang” seolah-olah tawa menjadi sosok yang bisa berjalan dan meninggalkan mereka yang tertinggal dalam kesengsaraan.
  • Metafora: “Tiang-tiang yang berdiri kaku menjadi penopang” adalah metafora untuk orang-orang yang menopang sistem atau masyarakat, tetapi tidak pernah diperhatikan.
  • Paradoks: “Layaknya kehampaan yang membentang” menciptakan paradoks antara sesuatu yang kosong namun luas, menggambarkan bahwa penderitaan bisa hadir dalam bentuk yang tidak terlihat tetapi membanjiri ruang dan waktu.
  • Pertanyaan Retoris: Baris “Kapan masa depan datang?” dan “Apakah saat jiwa penopang hilang?” adalah pertanyaan retoris yang mencerminkan kegelisahan dan keputusasaan.
Puisi "Kesengsaraan Penantian" adalah cerminan yang jujur tentang kondisi manusia dalam sistem yang tidak selalu adil. Melalui simbol-simbol sederhana namun penuh makna, Afifah Nurhasanah menyampaikan bahwa penantian bukan sekadar menunggu, tetapi bentuk penderitaan yang menghancurkan jiwa perlahan-lahan.

Dengan tema penderitaan sosial, makna tersirat tentang alienasi struktural, dan imaji yang kuat dibangun dengan bantuan majas personifikasi dan metafora, puisi ini menghadirkan kritik sosial yang mendalam dalam gaya yang kontemplatif dan menyentuh.

Afifah Nurhasanah
Puisi: Kesengsaraan Penantian
Karya: Afifah Nurhasanah

Biodata Afifah Nurhasanah:
  • Afifah Nurhasanah, lahir pada tanggal 21 Januari 2009 di Purworejo, saat ini aktif sebagai siswi SMAIT Darul Quran Bogor.
© Sepenuhnya. All rights reserved.