Malam di Portlink
: Ayesha
malam di portlink, ay, hanya laut
yang memahami kesepianku.
— ercole sul termodonte
seperti mengaum di prosenium.
tetapi aku di laut, selain rindu
tak tersisa yang kudengar
selain itu.
di deck asing ini, kau tak denganku.
barangkali di sini jack atau rose
tak juga siap untuk sendiri
sepertiku. “siroe, rei di persia?”
ay, aku tak sedang di venice!
tak ada barter untuk rindu
berhenti membujuk.
hanya syal di leherku
memeluk, menggantikanmu
kau kira cukup? — la fida ninfa, ay
di opera ketiga, tubuhmu
masih alamat
yang tak dikenal lenganku.
malam tetap sekeruh harapan
dan temu menjelma mitos
“cessate, omai cessate?” ay
untukku, tak ada pertolongan!
aku di laut, tapi bukan di 1912
bisakah tak harus ada kecemasan?
*
02.00, denting memecah kesunyian.
kapal tertahan di 12 knot, dan aku
di bangku, bersandar pada ingatan:
tabung rahasia tempat kau berdiam.
tak ada bar atau music hall
dunia dalam masa tempuh ini
lebih terasa seperti bui.
— ercole sul termodonte
ay, boleh kuputar sekali lagi?
biar di scene seganjil ini
ada hak untuk aku sembunyi
dari diriku yang lain, dan wine
tak berhasil menemukanku
dalam mabuk, pada sunyi
sepurba perasaan ingin.
malam di portlink, hanya laut
yang menghafal keseoranganku.
dan di luar opera, rindu serupa
dongeng terpanjang di dunia:
butuh waktu 12 kali lipat usia tuhan
untuk bisa selesai membacanya.
2021
Analisis Puisi:
Puisi "Malam di Portlink" karya Daffa Randai adalah sebuah komposisi liris yang kompleks, emosional, dan penuh alusi. Dengan latar laut malam dan iringan metafora musikal, penyair menenun perasaan rindu yang akut, kesepian yang dalam, dan kegelisahan eksistensial menjadi satu kesatuan naratif yang puitis. Di bawah gemuruh gelombang dan alunan opera, puisi ini berbicara tentang perjalanan batin manusia yang ditinggalkan cinta dalam keremangan dunia yang asing. Puisi ini bukan hanya tentang kesendirian di dek kapal, tapi juga tentang luka batin yang menetap dan tak kunjung selesai.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kesepian eksistensial dan rindu yang tak tertanggungkan. Di sepanjang larik-lariknya, puisi ini menyorot pengalaman seseorang yang menghadapi sunyi di tengah perjalanan laut — simbol dari keterasingan hidup. Dalam kesendiriannya, penyair merujuk pada tokoh-tokoh mitologis dan karakter opera, mempertebal nuansa keterpisahan antara realitas dan harapan, antara kehadiran dan kenangan. Ada pula sentuhan tema alienasi, pencarian identitas, dan kerinduan terhadap kedekatan manusia yang telah hilang atau tak tergapai.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah bagaimana perasaan manusia kadang tak bisa disalurkan melalui kata, tindakan, bahkan tempat. Meskipun berada di atas kapal megah, mungkin serupa dengan Titanic atau ruang fiksi opera, si tokoh tetap terasing karena kehadiran yang ia rindukan tak pernah benar-benar ada bersamanya. Ketika kata-kata tak cukup menjelaskan kerinduan, dan musik pun gagal menjadi pelarian, ia hanya bisa menggantungkan harapan pada laut—satu-satunya saksi sunyi yang memahami penderitaan batinnya.
Ada pula makna perenungan terhadap cinta dan kehilangan, di mana si tokoh menyadari bahwa bukan hanya perpisahan yang menyakitkan, tapi juga waktu yang terus memanjang tanpa kejelasan akan pertemuan. Referensi terhadap usia Tuhan dan dongeng yang panjang menggambarkan bahwa penderitaan karena rindu adalah narasi tanpa akhir yang mungkin hanya bisa dipahami oleh kekekalan itu sendiri.
Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh yang berada di atas kapal di malam hari, berlayar entah ke mana, ditemani kenangan dan perasaan rindu terhadap seseorang yang tidak bersamanya. Tokoh ini mencoba mencari pelarian melalui musik opera, mungkin dengan harapan menemukan cerminan emosinya, tetapi sia-sia. Ia mengenang kedekatan yang dulu pernah ada, tetapi kini hanya tersisa dalam bentuk syal dan ingatan. Rindu itu tak bisa disampaikan, tak bisa digantikan, dan tak bisa diselesaikan.
Secara simbolis, puisi ini juga bercerita tentang keterasingan manusia modern dalam dunia yang serba asing, di mana teknologi, kemewahan, dan hiburan tak mampu mengobati luka emosional. Dalam dek kapal yang asing, dalam dunia yang sibuk dan bergerak cepat, perasaan manusia tetap menjadi beban paling berat yang tak bisa dibagikan.
Imaji
Puisi ini sarat dengan imaji visual dan auditif yang kuat. Imaji laut malam membuka puisi dengan nuansa sunyi yang pekat, membangun kesan kesendirian yang mendalam:
“malam di portlink, ay, hanya laut / yang memahami kesepianku.”
Lalu hadir pula imaji auditif melalui referensi musikal seperti Ercole sul Termodonte, La Fida Ninfa, dan Cessate, omai cessate?, yang menggambarkan suara-suara dari dunia lain — opera yang menjadi pelarian emosi tokoh utama. Imaji ini menyatu dengan suasana yang muram dan kontemplatif.
Di bagian lain, imaji syal yang memeluk leher sebagai pengganti pelukan seseorang:
“hanya syal di leherku / memeluk, menggantikanmu”
menjadi simbol dari upaya sia-sia untuk menenangkan rindu melalui benda mati, menggambarkan kerinduan yang tak dapat digantikan secara utuh oleh apapun selain kehadiran orang yang dicinta.
Majas
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi: Laut digambarkan sebagai makhluk yang bisa “memahami”, seolah memiliki kesadaran: “malam di portlink, ay, hanya laut / yang memahami kesepianku.”
- Metafora: Banyak elemen dalam puisi ini merupakan metafora dari emosi atau kondisi batin. Misalnya, “temu menjelma mitos” adalah metafora untuk pertemuan yang menjadi sesuatu yang mustahil dan hanya hidup dalam cerita fiksi.
- Alusi: Penyair banyak menggunakan alusi, terutama kepada tokoh-tokoh dan karya opera seperti Ercole sul Termodonte, La Fida Ninfa, dan referensi sejarah seperti 1912 (tahun tenggelamnya Titanic). Ini menciptakan kesan intelektual dan nostalgia terhadap kisah cinta dan tragedi masa lalu.
- Hiperbola: Terlihat pada larik “butuh waktu 12 kali lipat usia tuhan / untuk bisa selesai membacanya.” Ini adalah bentuk hiperbola ekstrem untuk menggambarkan panjang dan tak berkesudahannya rasa rindu.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan bahwa kesepian dan rindu adalah bagian tak terelakkan dari pengalaman manusia, yang tidak selalu dapat diatasi oleh lingkungan, teknologi, atau hiburan. Dalam sunyi, manusia dihadapkan pada dirinya sendiri, pada luka yang tak kunjung sembuh, dan pada pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang tak kunjung terjawab.
Puisi ini juga mengajarkan bahwa dalam dunia modern yang penuh distraksi, kerinduan dan kehilangan tetap nyata, dan bahkan bisa terasa lebih menyakitkan karena tidak mendapatkan ruang yang tepat untuk diungkapkan. Opera, musik, bahkan alkohol, semuanya gagal meredam sunyi yang berasal dari hati yang kehilangan seseorang. Dengan kata lain, kebutuhan akan kedekatan emosional tetap menjadi pusat dari keberadaan manusia, dan ketika itu tidak terpenuhi, maka lahirlah keterasingan total bahkan di tengah keramaian atau kemewahan sekalipun.
Daffa Randai melalui puisi "Malam di Portlink" menciptakan lanskap emosional yang kaya dan mendalam. Dengan teknik alusi musikal dan simbolisme yang padat, ia membawa pembaca menyusuri perjalanan batin seorang tokoh yang terjebak dalam laut rindu dan kesepian. Tema yang kuat, makna tersirat yang menyentuh, serta penggunaan imaji dan majas yang efektif menjadikan puisi ini bukan sekadar keluhan melankolis, tapi juga refleksi filosofis tentang cinta, kehilangan, dan eksistensi manusia.
Melalui larik-larik yang dipenuhi bayangan malam, ombak yang sunyi, dan ingatan yang mengendap dalam dada, puisi ini berbicara kepada siapapun yang pernah merasa sendiri dalam keramaian, yang pernah rindu kepada seseorang yang tak mungkin kembali, dan yang pernah berharap dunia berhenti sejenak agar luka di dada bisa dijahit perlahan.
Karya: Daffa Randai
Biodata Daffa Randai:
Daffa Randai lahir pada tanggal 22 November 1996 di Ogan Komering Ulu Timur, Sumatra Selatan. Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Program Studi Magister Sastra. Founder Komunitas dan Kurator Media Publikasi Pura-Pura Penyair. Penggagas: Serikat Penulis Palembang. Penulis buku "Rumah Kecil di Kepalamu" (2018) dan "Rute Lain Menuju Hatimu" (2023). Daffa bisa disapa di Instagram @randaidaffa96