Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Mata Musang (Karya Ade Anugrah)

Puisi "Mata Musang" karya Ade Anugrah bercerita tentang permainan antara dua pihak—si musang dan ayam—yang bisa ditafsirkan sebagai metafora ...

Mata Musang


Di mata musang berlari-lari ayam,
Pikirannya kenyang hatinya juga senang.
Kalaupun ini diulang sampai malam,
Kulitmu belang tetaplah aku sayang.

Di mata musang berlari-lari ayam,
Pikirannya kenyang hatinya tertantang.
Tiada malang tertulis oleh kalam,
Biarlah abang dimakan Nona Belalang.

Batam, 10 Mei 2024

Analisis Puisi:

Ade Anugrah menunjukkan kelihaian dalam menyusun puisi yang singkat namun sarat makna dalam karyanya berjudul "Mata Musang." Dalam puisi ini, ia bermain-main dengan simbol binatang, rima, dan permainan bunyi untuk menyampaikan sesuatu yang lebih dari sekadar baris-baris lucu atau imajinatif. Di balik gaya yang ringan dan hampir seperti lagu rakyat ini, tersembunyi sindiran dan refleksi sosial yang menggigit.

Tema

Tema puisi "Mata Musang" dapat dibaca sebagai relasi antara hasrat, tipu daya, dan permainan kekuasaan dalam dinamika sosial atau percintaan. Dengan mengangkat simbol "musang" dan "ayam" — yang dalam budaya lisan sering digunakan untuk menggambarkan relasi predator-mangsa — Ade seolah ingin menyinggung soal siapa yang mengejar dan siapa yang dikejar, siapa yang mengendalikan dan siapa yang dikendalikan.

Puisi ini bercerita tentang permainan antara dua pihak—si musang dan ayam—yang bisa ditafsirkan sebagai metafora hubungan manusia, terutama hubungan yang diwarnai oleh hasrat, dominasi, dan mungkin juga tipu daya. Musang adalah binatang licik yang biasa memangsa ayam, namun dalam puisi ini, peran musang bukan sekadar pemangsa: ia digambarkan sebagai tokoh yang berpikir, merasa kenyang, senang, bahkan tertantang.

Di bait pertama, ada pernyataan cinta meski kondisi "belang": "Kulitmu belang tetaplah aku sayang." Ini bisa dimaknai sebagai penerimaan akan keunikan atau perbedaan. Di bait kedua, nada mulai berubah: "Tiada malang tertulis oleh kalam, biarlah abang dimakan Nona Belalang." Di sini muncul unsur pengorbanan atau mungkin satir tentang takdir yang tidak bisa diubah oleh siapapun—bahkan oleh "kalam" (pena) yang menjadi simbol takdir dalam banyak literatur sufi atau religius.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini cukup kompleks. Di satu sisi, puisi ini bisa dibaca sebagai sindiran terhadap permainan cinta yang manipulatif, di mana satu pihak (si musang) menikmati permainan, sementara pihak lain (ayam) menjadi objek. Namun, ada juga pembalikan: dalam bait kedua, si musang yang awalnya dominan malah rela "dimakan" oleh sosok lain, Nona Belalang—yang bisa jadi mewakili perempuan atau kuasa yang lebih besar. Ini menyiratkan bahwa tidak selamanya sang pengendali akan tetap di atas; kadang ia juga bisa menjadi korban.

Kalimat "Tiada malang tertulis oleh kalam" juga menyiratkan sikap pasrah atau deterministik terhadap nasib dan cinta. Takdir tidak bisa dihindari, dan permainan ini, seberapa absurd atau rumitnya pun, tetap dijalani dengan perasaan penuh.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini ringan, jenaka, namun mengandung ironi. Dengan penggunaan rima dan diksi yang seperti lagu anak-anak atau pantun Melayu, puisi ini tampak riang. Namun di balik keriangan itu ada tensi dan absurditas yang membuat pembaca merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dalam—dan mungkin lebih gelap—yang sedang dikritik atau ditampilkan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Jika ditarik ke dalam pesan moral, puisi ini bisa dibaca sebagai pengingat bahwa dalam permainan hasrat dan kuasa, tidak ada posisi yang abadi. Yang kuat bisa menjadi lemah, yang mengejar bisa dikejar, dan yang merasa aman bisa menjadi mangsa. Selain itu, puisi ini juga tampaknya menyampaikan bahwa cinta atau ketertarikan tidak selalu logis atau lurus: ia bisa aneh, berubah-ubah, dan penuh kejutan.

Imaji

Puisi ini mengandalkan imaji binatang dan situasi yang absurd:
  • "Di mata musang berlari-lari ayam" — membangkitkan imaji predator dan mangsa, serta ketegangan atau kegembiraan dalam pengejaran.
  • "Kulitmu belang tetaplah aku sayang" — membangun imaji visual tentang perbedaan fisik yang diterima tanpa syarat.
  • "Dimakan Nona Belalang" — imaji terbalik yang menarik: seseorang (abang/musang) justru dimakan oleh belalang, yang dalam konteks binatang justru tidak biasa memangsa musang. Hal ini memperkuat unsur absurditas dan sindiran.

Majas

Puisi ini kaya akan majas metafora, ironi, dan perulangan (repetisi):
  • Metafora: seluruh puisi menggunakan metafora binatang untuk menggambarkan perilaku manusia, terutama dalam konteks hasrat dan relasi sosial.
  • Ironi: si pemangsa justru siap untuk menjadi mangsa—menunjukkan ketidakterdugaan dalam dinamika relasi.
  • Repetisi: baris pertama setiap bait diulang, menegaskan suasana dan tema, serta menciptakan efek musikalitas yang kuat.
  • Personifikasi: dalam puisi ini, binatang diberi pikiran dan perasaan manusia, seperti "pikirannya kenyang, hatinya senang/tertantang".
Puisi "Mata Musang" adalah karya yang tampak ringan di permukaan, namun sarat makna dan simbolisme di dalamnya. Dengan tema relasi kuasa dan permainan hasrat, Ade Anugrah menyajikan kritik dan refleksi melalui gaya yang satir, simbolik, dan penuh permainan bunyi. Imaji binatang digunakan sebagai cermin perilaku manusia, sementara permainan kata-kata yang lucu menyembunyikan sindiran tajam terhadap absurditas relasi dan nasib. Singkatnya, ini adalah puisi cerdas yang bisa dibaca berulang kali, dan tiap kali dibaca, menawarkan tafsir baru.

Ade Anugrah
Puisi: Mata Musang
Karya: Ade Anugrah

Biodata Ade Anugrah:
  • Ade Anugrah (alias the Sacred Elk) adalah seniman visual, komposer, dan penulis yang berasal dari Gunungsitoli, Indonesia. Puisinya banyak bercerita tentang naluri sentimental manusia dalam memaknai hal-hal kecil, lalu menggambarkannya secara sureal dengan nafas nihilistik. Penulis bisa disapa di Instagram @AdeAnugrahx
© Sepenuhnya. All rights reserved.