Mengapa Begitu?
Suatu hari daku terpaku
Hari itu dingin
Sebab angin berembus,
menusuk kulit hingga tulangku
Bulan di langit pun menyapa
Cahayanya bagai senyuman,
yang telah lama kunantikan
Dalam gelap daku terpikir
Mengapa malam dingin
Sedangkan siang hangat?
Mengapa malam sepi
Sedang siang ramai?
Nyatanya bagiku,
Sepi dan dingin di malam hari
Atau ramai da hangat di siang hari
Hanyalah terasa di luar sahaja
Dirasa oleh kulit dan suasana
Namun dalam hati,
Itu semua adalah tipu daya
Daku tak tahu apa yang dirasa
Oleh hati
Baik malam
Ataupun siang
Bogor, 26 Mei 2025
Analisis Puisi:
Puisi “Mengapa Begitu?” karya Afifah Nurhasanah merupakan refleksi kontemplatif yang menggambarkan perenungan batin seseorang dalam diamnya malam. Puisi ini menghadirkan suasana yang hening dan penuh pertanyaan, bukan hanya mengenai dunia fisik, tetapi juga tentang makna yang tersembunyi di balik pengalaman hidup sehari-hari. Dengan nada puitik yang lembut dan menyentuh, puisi ini mengajak pembaca masuk ke dalam perasaan terdalam sang penyair.
Tema
Puisi ini mengangkat tema pencarian makna dalam perbedaan antara malam dan siang, antara sepi dan ramai, antara dingin dan hangat. Namun, lebih dari sekadar perbedaan waktu dan cuaca, tema yang muncul juga berkaitan dengan kebingungan batin dan pertanyaan eksistensial: bagaimana seseorang memahami realitas luar jika isi hati sendiri terasa tak menentu?
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang sedang duduk sendiri di malam hari, dikelilingi oleh dingin dan kesunyian. Dalam keheningan itu, ia menatap bulan dan merenung tentang perbedaan siang dan malam — tidak hanya dari segi suhu dan keramaian, tetapi juga dari segi bagaimana semua itu memengaruhi hati manusia. Di akhir puisi, ia menyadari bahwa yang terasa oleh tubuh belum tentu mencerminkan isi hati. Dalam hatinya sendiri, ia justru merasa bingung, tak mampu mendefinisikan dengan pasti apa yang benar-benar ia rasakan, baik di malam maupun siang hari.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa pengalaman manusia tidak hanya bersifat lahiriah, tetapi juga batiniah, dan keduanya tidak selalu selaras. Dingin atau hangat, sepi atau ramai, semua itu adalah sensasi fisik dan suasana luar yang mudah dikenali. Namun, apa yang dirasakan oleh hati bisa sangat berbeda atau bahkan tak terdefinisi sama sekali.
Penyair menyampaikan perasaan kebingungan eksistensial — tentang bagaimana memahami diri sendiri di tengah perubahan suasana dan waktu. Ia seolah berkata bahwa pengalaman luar mungkin bisa diukur, tapi pengalaman batin kerap membingungkan dan tak terjamah logika.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini cenderung sunyi, dingin, dan kontemplatif. Kalimat seperti “Di malam hari”, “Hari itu dingin”, serta “Dalam gelap daku terpikir” menciptakan suasana hening dan penuh perenungan. Sang tokoh puitik tampak berada dalam kondisi menyendiri, memikirkan sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar suhu malam.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang ingin disampaikan dalam puisi ini adalah bahwa perbedaan suasana luar seperti siang dan malam tidak selalu mencerminkan keadaan batin manusia. Manusia bisa merasa hampa dalam keramaian, atau merasa hangat dalam kesendirian. Dalam hal ini, puisi mengajarkan pentingnya untuk mengenal dan memahami isi hati sendiri, karena kebahagiaan dan kesedihan bukanlah sesuatu yang semata ditentukan oleh lingkungan.
Puisi ini juga menyampaikan bahwa tidak semua hal bisa dijelaskan secara rasional. Ada waktu ketika kita perlu diam, merenung, dan menerima bahwa beberapa hal dalam hidup — termasuk perasaan — memang sulit dijelaskan.
Imaji
Puisi ini menghadirkan imaji visual dan sensorik yang kuat:
- “Hari itu dingin” dan “angin berembus, menusuk kulit hingga tulangku” menimbulkan imaji dingin dan rasa nyeri fisik, menggambarkan betapa tajamnya suasana malam.
- “Bulan di langit pun menyapa, cahayanya bagai senyuman” adalah imaji yang menghadirkan keindahan lembut dari alam, sekaligus menyiratkan harapan atau kehangatan emosional dalam kesendirian.
- “Dalam gelap daku terpikir…” menciptakan kesan sunyi yang penuh introspeksi, menggambarkan proses berpikir dalam keheningan malam.
Majas
Puisi ini mengandung beberapa majas (gaya bahasa) yang memperindah sekaligus memperkuat pesan puitiknya:
Personifikasi:
- “Bulan di langit pun menyapa” – bulan digambarkan seperti makhluk hidup yang bisa menyapa, memberi kesan akrab dan hangat di tengah dinginnya malam.
- “Cahayanya bagai senyuman” – cahaya bulan dianalogikan seperti senyum seseorang yang dirindukan.
Simile (Perbandingan eksplisit):
- “Cahayanya bagai senyuman” – penggunaan kata “bagai” menegaskan perbandingan yang halus namun menyentuh.
Paradoks:
- “Namun dalam hati, itu semua adalah tipu daya” – ini memperlihatkan pertentangan antara yang dirasa secara lahiriah dan yang sebenarnya terjadi dalam batin. Hal ini mengandung unsur paradoks, karena apa yang nyata justru dianggap palsu oleh hati.
Retorika:
- Pertanyaan-pertanyaan seperti “Mengapa malam dingin, sedangkan siang hangat?” digunakan sebagai majas retoris, bukan untuk dijawab secara literal, tetapi untuk membangkitkan pemikiran mendalam.
Puisi “Mengapa Begitu?” karya Afifah Nurhasanah adalah sebuah refleksi lembut tentang perbedaan antara kenyataan luar dan perasaan dalam. Melalui pertanyaan sederhana namun sarat makna, puisi ini menyentuh sisi eksistensial manusia: tentang bagaimana kadang kita merasa kosong di tengah keramaian, atau tenang dalam kesunyian. Tema yang diangkat, makna tersirat yang dalam, serta penggunaan imaji dan majas yang puitis, membuat puisi ini bukan hanya indah dibaca, tetapi juga mendorong pembaca untuk merenung tentang apa arti dari apa yang benar-benar dirasakan oleh hati.
Karya: Afifah Nurhasanah
Biodata Afifah Nurhasanah:
- Afifah Nurhasanah, lahir pada tanggal 21 Januari 2009 di Purworejo, saat ini aktif sebagai siswi SMAIT Darul Quran Bogor.