Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Nyanyian Ibu Pertiwi (Karya Moh Akbar Dimas Mozaki)

Puisi "Nyanyian Ibu Pertiwi" karya Moh Akbar Dimas Mozaki bercerita tentang Ibu Pertiwi yang menyanyikan sebuah lagu lirih – bukan dalam bentuk ...

Nyanyian Ibu Pertiwi


Ibu pertiwi bernyanyi lirih,
Dalam embun pagi yang dingin,
Menatap anak-anaknya bergegas,
Menuju hari-hari penuh harap,
Dengan langkah yang belum pasti.

Ia pernah menangis dalam gelap,
Namun kini ia tersenyum samar,
Bukan karena semua telah sempurna,
Tapi karena asa masih ada,
Di hati yang tak pernah padam.

Nyanyiannya bukan ratapan,
Tapi harapan yang dibisikkan,
Agar anak-anak negeri ini,
Tetap berjalan dalam terang,
Meski jalan terjal dan berliku.

Ia tak butuh pujian,
Hanya ingin dipeluk dan dijaga,
Dengan kerja nyata dan cinta,
Bukan janji atau gembar-gembor,
Yang menguap seperti kabut pagi.

Mari dengarkan nyanyian itu,
Dan jadikan ia kompas kita,
Agar kita tak tersesat,
Dalam dunia yang terus berubah,
Tapi tetap mencintai negeri.

20 Mei 2025

Analisis Puisi:

Puisi "Nyanyian Ibu Pertiwi" karya Moh Akbar Dimas Mozaki merupakan salah satu contoh bagaimana puisi dapat menjadi suara nurani bangsa. Dengan bahasa yang sederhana namun penuh daya sentuh, puisi ini membangkitkan perasaan cinta tanah air yang tidak meluap-luap dengan heroisme, tetapi justru menyelinap lirih dalam suasana keseharian. Di tengah dunia yang kian bising oleh ambisi dan kepentingan, suara "Ibu Pertiwi" dalam puisi ini menjadi pengingat yang hening namun dalam.

Puisi ini bercerita tentang Ibu Pertiwi yang menyanyikan sebuah lagu lirih – bukan dalam bentuk nyanyian gemilang atau kemenangan, melainkan sebagai ungkapan harapan dan cinta. Nyanyian itu bukan ratapan, melainkan bisikan agar anak-anak negeri tetap berjalan di jalan yang terang, meskipun kondisi tidak selalu ideal.

Ibu Pertiwi digambarkan sebagai entitas yang hidup, yang merasakan dan menyaksikan segala perubahan zaman. Ia telah menangis dalam kegelapan masa lalu, dan kini hanya bisa tersenyum samar karena masih ada secercah harapan dalam diri anak-anaknya. Puisi ini membawa pesan bahwa perjuangan belum selesai, tetapi harapan itu nyata dan terus menyala.

Tema: Cinta Tanah Air, Harapan, dan Tanggung Jawab

Tema utama dalam puisi ini adalah cinta tanah air yang tidak bersifat seremonial atau retoris, melainkan yang diwujudkan dalam bentuk kepedulian nyata. Ibu Pertiwi tidak meminta pujian, tidak menuntut kemewahan, ia hanya ingin dijaga, dihargai, dan dirawat oleh anak-anaknya. Ini adalah cinta yang sederhana, jujur, dan sangat manusiawi.

Tema lain yang tak kalah kuat adalah harapan dan tanggung jawab. Meski masa lalu penuh luka, Ibu Pertiwi masih berharap. Harapan inilah yang menjadi nyanyian — sebuah simbol dari keinginan untuk melihat bangsanya tetap berjalan di jalan yang benar, meskipun perlahan dan belum pasti.

Makna Tersirat: Kritik Halus dan Refleksi Sosial

Di balik kelembutan nada puisinya, terdapat makna tersirat yang menyimpan kritik sosial halus. Ibu Pertiwi, sebagai simbol negara dan tanah air, menyoroti perilaku anak-anaknya yang seringkali hanya memberikan janji tanpa tindakan nyata. Kalimat “bukan janji atau gembar-gembor, yang menguap seperti kabut pagi” menyindir praktik janji kosong yang kerap menghiasi ruang politik dan sosial.

Puisi ini secara tidak langsung menuntut kejujuran, kerja nyata, dan cinta yang diwujudkan dalam tindakan. Ia menjadi cermin bagi pembacanya: apakah kita telah benar-benar mendengarkan suara tanah air? Atau hanya sibuk membanggakan nama Indonesia tanpa benar-benar merawat isinya?

Suasana dalam Puisi: Lirih, Haru, dan Penuh Asa

Suasana dalam puisi ini dibangun dengan nada lirih dan reflektif. Frasa seperti “bernyanyi lirih”, “embun pagi yang dingin”, dan “tersenyum samar” menciptakan suasana yang tenang, bahkan sedikit melankolis. Namun suasana itu tidak jatuh ke dalam keputusasaan. Justru dari keheningan dan lirihnya nada, tumbuh kekuatan baru berupa harapan dan keteguhan hati.

Amanat: Wujudkan Cinta Tanah Air dengan Tindakan Nyata

Amanat atau pesan yang disampaikan dalam puisi ini sangat jelas namun disampaikan dengan cara yang lembut: tanah air tidak butuh kemegahan kata-kata, ia hanya ingin dipeluk dan dijaga. Artinya, nasionalisme bukan sekadar retorika, melainkan harus diwujudkan dalam tindakan kecil sekalipun — seperti kejujuran, kerja keras, dan kepedulian terhadap sesama dan lingkungan.

Puisi ini menekankan bahwa cinta tanah air seharusnya menjadi kompas moral dalam menghadapi dunia yang terus berubah. Ketika nilai-nilai semakin kabur dan arah komitmen terhadap bangsa mulai goyah, mendengarkan kembali “nyanyian” Ibu Pertiwi dapat menjadi penuntun agar tidak tersesat.

Imaji: Visualisasi Lembut yang Menggetarkan

Puisi ini menyajikan imaji yang kuat namun tidak menggelegar. Imaji seperti “embun pagi yang dingin” menggambarkan suasana batin yang sejuk namun penuh perenungan. “Menatap anak-anaknya bergegas” adalah gambaran visual yang membumi: aktivitas harian masyarakat biasa yang berjalan menuju harapan dalam keseharian mereka.

Imaji lain yang kuat muncul dalam “kabut pagi” yang mewakili janji-janji kosong yang cepat hilang. Ini adalah bentuk visual yang sederhana namun efektif untuk menggambarkan kerapuhan komitmen dan hilangnya kepercayaan. Imaji ini membantu pembaca merasakan ketulusan sekaligus kekhawatiran dari sang penyair.

Majas: Personifikasi, Simbolisme, dan Metafora

Dari segi gaya bahasa, puisi ini banyak memanfaatkan majas personifikasi. Ibu Pertiwi digambarkan bernyanyi, tersenyum, menangis, bahkan memendam harapan. Ini menjadikan konsep tanah air sebagai sesuatu yang hidup, memiliki jiwa, dan bisa merasakan cinta serta luka. Personifikasi ini menghidupkan sosok tanah air menjadi sosok “ibu” yang sangat manusiawi dan penuh kasih.

Selain itu, terdapat simbolisme dalam penggunaan embun, nyanyian, dan kabut. Embun menggambarkan kesegaran sekaligus kerentanan, nyanyian mewakili harapan dan suara hati, sedangkan kabut menjadi simbol kepalsuan atau janji yang cepat menghilang. Semua ini dikemas secara halus dan puitis, menjadikan puisi ini padat makna namun tetap enak dibaca.

Dengarkan, Rasakan, dan Rawat Negeri Ini

Puisi "Nyanyian Ibu Pertiwi" karya Moh Akbar Dimas Mozaki adalah ajakan halus namun kuat untuk kembali memaknai cinta tanah air secara tulus dan mendalam. Dengan tema cinta tanah air, makna tersirat yang penuh kritik sosial, serta amanat yang relevan untuk semua zaman, puisi ini tidak hanya menyentuh emosi, tetapi juga menggugah kesadaran.

Melalui imaji yang lembut dan majas personifikasi yang kuat, penyair berhasil menghidupkan suara Ibu Pertiwi sebagai sosok yang tidak mengancam, tetapi merangkul. Ia bernyanyi, bukan untuk dipuja, melainkan untuk diingat, dijaga, dan dicintai.

Puisi ini menjadi semacam “kompas” seperti yang disebutkan penyair — kompas moral dan spiritual — agar generasi masa kini tidak lupa bahwa tanah air bukan sekadar nama, tetapi tempat yang telah memberi kehidupan, dan layak diperjuangkan dalam cinta yang nyata.

Moh Akbar Dimas Mozaki
Puisi: Nyanyian Ibu Pertiwi
Karya: Moh Akbar Dimas Mozaki

Biodata Moh Akbar Dimas Mozaki:
  • Moh Akbar Dimas Mozaki, mahasiswa S1 Sastra Indonesia, Universitas Andalas.
© Sepenuhnya. All rights reserved.