Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Selembar Surat (Karya Roeswardiyatmo)

Puisi "Selembar Surat" karya Roeswardiyatmo bercerita tentang seorang narator yang menulis surat kepada seseorang yang dulu berasal dari desanya ...
Selembar Surat

Baik — Baik bukan?
Tanyaku
Dalam Basa — Basi

Teman + Teman di sini
Adalah ahli waris yang cukup bersetia
Seperti dulu, sewaktu kita berbangga
Tentang warna coklat
Tentang punggung mengkilat yang tahan sengatan
Terik matahari

Di rapat desa kita
Sering kami dengar namamu
Disebut pak lurah
Yang sesekali membeli koran ke kota

"Inilah beliau" berbangga itu
sambil menunjuk gambarmu

Semuanya bersetuju. Bertepuk riuh
Lebih meriah lagi
Ketika di antara kami sempat mengiri
Dengan cetus lik Inem: "Alangkah bahagia ibunya"
"Aku kepingin anak seperti itu" jawab yang lain
(Di sini terselip makna tentunya)

Keduanya bertatapan
Tersenyum

Semuanya mengagumimu
Sampai yang disebut rapat usai
Sampai entah kapan
Lupa mereka berbincang
Tentang kemarau yang panjang

Ah, aku ngelantur

Kapan kau jenguk
Kami yang di sini?

(Namun akhirnya surat itu kusimpan di laci
sampai kini)

1973

Sumber: Horison (Februari, 1975)

Analisis Puisi:

Puisi "Selembar Surat" karya Roeswardiyatmo adalah sebuah karya reflektif yang menyentuh hati. Melalui bentuk surat yang tidak pernah dikirimkan, penyair mengekspresikan perasaan nostalgia, kekaguman, harapan yang tertunda, hingga sindiran sosial yang halus. Dengan struktur yang menyerupai korespondensi personal, puisi ini menjelma menjadi potret relasi antara seseorang yang “berhasil” dan mereka yang ditinggalkan di belakang. Kesannya lembut, namun menyimpan lapisan ironi dan kritik yang tajam.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kerinduan akan keterhubungan dan ironi sosial dalam kehidupan pedesaan. Penyair menggambarkan suasana desa yang masih mengenang seseorang yang telah pergi, mungkin untuk meraih cita-cita atau status sosial yang lebih tinggi. Tema tambahan yang bisa dibaca adalah kesetiaan kolektif, identitas komunitas, dan keretakan hubungan emosional antara individu dengan akar sosialnya.

Puisi ini bercerita tentang seorang narator yang menulis surat kepada seseorang yang dulu berasal dari desanya dan kini telah sukses atau menjadi tokoh yang dikenal luas. Ia menceritakan bagaimana orang-orang di desa masih mengenangnya dengan bangga, bahkan dalam rapat desa, namanya sering disebut oleh pak lurah. Semua orang seakan mengaguminya, bahkan iri padanya. Namun, di balik pujian dan nostalgia itu, tersembunyi sebuah pertanyaan menyakitkan yang tidak pernah benar-benar terucap: "Kapan kau jenguk kami yang di sini?"—sebuah bentuk kerinduan sekaligus kekecewaan. Ironisnya, surat itu tak pernah dikirimkan, hanya disimpan dalam laci, melambangkan perasaan yang dipendam.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini sangat kuat. Salah satunya adalah kritik terhadap keterputusan emosional antara mereka yang "berhasil" dan komunitas yang membesarkannya. Sosok yang disebut dalam puisi mungkin telah menjadi “idola” dan “kebanggaan desa,” namun keberhasilannya tampaknya hanya menjadi simbol tanpa substansi yang kembali memberi. Puisi ini juga menyiratkan betapa kekaguman kadang dibarengi rasa iri yang tak diucapkan, serta kerinduan terhadap relasi yang lebih manusiawi di tengah keberhasilan individu.

Kalimat “(Di sini terselip makna tentunya)” menjadi penanda penting bahwa percakapan biasa dalam puisi ini menyimpan lapisan emosi yang lebih dalam—kerinduan, kekosongan, dan harapan.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi terasa melankolis, akrab, dan perlahan menjadi getir. Dimulai dengan gaya basa-basi yang ringan, puisi mengalir seperti obrolan santai, namun perlahan berkembang menjadi penuh rindu dan kegetiran yang halus. Terdapat lapisan emosi yang bergerak dari hangat ke dingin, dari kekaguman ke pertanyaan, dari nostalgia ke kekecewaan yang ditahan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat dari puisi ini adalah bahwa keberhasilan seseorang seharusnya tidak membuatnya melupakan akar atau komunitas yang dulu membentuknya. Di sisi lain, masyarakat juga perlu merefleksikan cara mereka mengidealkan sosok-sosok yang telah “pergi,” tanpa memperhatikan kondisi nyata di sekeliling mereka. Ada juga pesan tentang pentingnya keterhubungan emosional di tengah pencapaian pribadi dan sosial, serta kerendahan hati untuk kembali menengok masa lalu dan orang-orang yang dulu bersama kita.

Imaji

Beberapa imaji dalam puisi ini sangat kuat dan khas:
  • “Tentang warna coklat / Tentang punggung mengkilat yang tahan sengatan / Terik matahari” menciptakan gambaran fisik dari kerja keras, tubuh yang terbiasa dengan kehidupan desa dan alam terbuka—menjadi lambang perjuangan.
  • “Disebut pak lurah / Yang sesekali membeli koran ke kota” memberikan visual tentang akses terbatas terhadap informasi di desa, dan betapa nama tokoh itu menjadi sesuatu yang luar biasa di mata mereka.
  • “Surat itu kusimpan di laci / sampai kini” menjadi simbol dari harapan atau kerinduan yang dipendam, tidak pernah tersampaikan.

Majas

Puisi ini menggunakan beberapa majas penting yang memperkuat kesan dan pesan:
  • Sarkasme/ironi: Meskipun banyak kalimat diungkapkan dengan hangat, ada lapisan ironi, terutama dalam kalimat seperti “Ah, aku ngelantur”, yang sebenarnya justru menegaskan perasaan mendalam yang ingin disampaikan.
  • Metafora: “Punggung mengkilat yang tahan sengatan terik matahari” adalah metafora untuk ketangguhan masa lalu dan mungkin kontras dengan kondisi saat ini.
  • Personifikasi: Dalam bagian “rapat desa” dan interaksi para tokoh yang saling menyampaikan kekaguman, suasana dan karakter tampak hidup, seperti mewakili perasaan kolektif sebuah komunitas.
  • Repetisi simbolik: Frasa seperti “Teman + Teman di sini” dan “kami yang di sini” menggarisbawahi keberadaan kolektif yang ditinggalkan, seperti gema yang terus mengingatkan si tokoh tentang asal-usulnya.
Puisi "Selembar Surat" karya Roeswardiyatmo adalah potret indah namun getir tentang kerinduan yang tidak tersampaikan, tentang komunitas yang terus menatap bangga pada anak yang pergi, tetapi juga berharap akan sedikit saja kunjungan dan pengakuan kembali. Dengan struktur seperti surat pribadi, penyair menyuguhkan narasi sederhana namun penuh lapisan makna—tentang keterputusan sosial, rasa bangga yang ambigu, dan ironi dari hubungan yang tersisa hanya dalam kenangan. Surat itu tak pernah dikirimkan, dan di situlah seluruh kepedihan puisi ini bermuara.

Roeswardiyatmo
Puisi: Selembar Surat
Karya: Roeswardiyatmo

Biodata Roeswardiyatmo:
  • Roeswardiyatmo Hardjosoekarto lahir pada tanggal 29 Maret 1948 di Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.