Sementara Langit Menatap
Sementara langit menatap beku
Sementara musim berayun di puncak-puncak gunung
Ada angin bertiup tanpa muara. Pagi membuka
siangpun menjemput dan kelam menunggu.
Sementara kita lengang dalam mimpi
Ada gunung bergegar mengaum dalam perut bumi
Hari menempa, bumi memberat dan jaman akan lalu
Semuanya telah sedia dan saling melengkapi Tuhanku,
tanpa istirah.
Kita yang kini sedang berjaga
menanti dan mereguki nasib sendiri
sambil membilang di ujung jari tahun-tahun yang berganti datang
Tapi aku tidak tahu pasti.
Sumber: Horison (Juni, 1968)
Analisis Puisi:
Puisi “Sementara Langit Menatap” karya Pesu Aftarudin adalah sebuah karya yang penuh dengan refleksi dan perenungan. Dalam puisi ini, penyair menggambarkan peristiwa alam dan kondisi manusia dalam interaksi yang seolah tak terpisahkan, membawa pembaca pada kesadaran akan waktu, takdir, dan perubahan yang tiada henti. Melalui kata-kata yang sederhana namun bermakna mendalam, puisi ini mengajak kita untuk merenungkan posisi kita di tengah alam semesta yang begitu luas dan tak terduga.
Tema
Tema utama yang diangkat dalam puisi ini adalah waktu, perubahan, dan keberadaan. Puisi ini berbicara tentang perjalanan waktu yang terus berjalan, meskipun manusia sering kali merasa terhenti dalam keheningan atau kesendirian. Penyair menggambarkan bagaimana alam semesta, dengan segala dinamikanya, bergerak dan berubah tanpa henti, sementara manusia hanya bisa menghadapinya dengan kewaspadaan dan penerimaan.
Selain itu, ada pula tema pertanyaan akan takdir dan nasib yang digambarkan lewat sosok manusia yang berada dalam keadaan menunggu dan merenung. Penggunaan simbol alam, seperti langit yang menatap beku dan gunung yang mengaum, memberikan gambaran bahwa segala sesuatu—baik dalam alam maupun kehidupan—terus bergerak dan saling melengkapi, meskipun sering kali manusia merasa terjebak dalam ketidakpastian dan kebingungannya.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini adalah kesadaran akan keterbatasan manusia dalam menghadapi waktu dan perubahan. Penyair mengungkapkan bahwa meskipun manusia berada dalam keadaan menunggu atau berjaga, perubahan tetap berlangsung, dan waktu tidak pernah berhenti. Langit yang "menatap beku" menggambarkan suatu keadaan yang statis dan penuh kesunyian, sementara "musim berayun di puncak-puncak gunung" menunjukkan perubahan yang terus terjadi tanpa bisa diprediksi.
Penyair juga menyiratkan bahwa dalam kehidupan, manusia sering kali hanya bisa menghadapi takdir dan keadaan tanpa dapat benar-benar mengontrol apa yang terjadi. "Kita yang kini sedang berjaga" menggambarkan kita sebagai individu yang sering kali berada dalam posisi pasif, menunggu nasib dan perubahan yang datang. Namun, ada juga kesadaran bahwa segala sesuatu di dunia ini saling melengkapi, bahkan tanpa adanya istirahat atau jeda. Dalam konteks ini, puisi ini mengajak kita untuk memahami bahwa keberadaan kita adalah bagian dari suatu proses alam yang lebih besar, yang sering kali tak dapat dipahami sepenuhnya.
Puisi ini bercerita tentang perjalanan waktu yang terus mengalir, serta keberadaan manusia yang selalu terhubung dengan alam semesta. Penyair menggambarkan bagaimana langit yang "menatap beku" dan gunung yang "bergegar mengaum dalam perut bumi" merupakan gambaran dari dinamika alam yang tak pernah berhenti. Sementara itu, manusia, yang sedang "berjaga", menantikan takdir dan perubahan yang datang tanpa bisa dihindari.
Dalam puisi ini, ada kesan bahwa kehidupan manusia berada dalam konteks waktu yang lebih besar, yang tidak bisa ditangkap sepenuhnya oleh pemahaman kita. Meskipun kita berada dalam keadaan yang tampak statis, seperti langit yang "beku", kehidupan terus berjalan, dan kita sebagai individu hanya bisa berusaha menerima perubahan yang datang dengan sikap sabar dan penuh pertanyaan.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang tercipta dalam puisi ini adalah suasana melankolis, merenung, dan penuh kesunyian. Dengan penggunaan kalimat-kalimat yang menggambarkan alam yang seakan-akan tidak bergerak, seperti "langit menatap beku" dan "musim berayun di puncak-puncak gunung", puisi ini menciptakan atmosfer yang penuh dengan ketenangan yang mencekam. Suasana ini mengajak pembaca untuk merenung, merenungi perubahan dan perjalanan waktu yang tak bisa dihentikan.
Selain itu, ada juga kesan keterasingan dan kesendirian, yang tercermin dalam ungkapan "Kita yang kini sedang berjaga". Penyair menggambarkan keadaan manusia yang terperangkap dalam menunggu nasib, sementara alam dan waktu terus berputar tanpa henti. Kesendirian ini semakin dalam dengan gambaran "kelam menunggu", yang memberikan kesan ketidakpastian dan kecemasan akan masa depan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan bahwa waktu dan perubahan adalah bagian dari kehidupan yang tak terhindarkan. Meskipun kita sering kali merasa terhenti atau menunggu nasib, waktu tetap bergerak, dan kehidupan tetap berlangsung. Oleh karena itu, pesan yang tersirat dalam puisi ini adalah untuk menerima perubahan dan perjalanan waktu dengan lapang dada, menyadari bahwa kita adalah bagian dari siklus yang lebih besar.
Penyair juga mengajak kita untuk bersabar dalam menghadapi ketidakpastian dan perubahan, karena dalam setiap perubahan ada sesuatu yang saling melengkapi, bahkan ketika kita merasa tidak tahu pasti tentang apa yang akan terjadi di masa depan.
Imaji
Puisi ini menggunakan imaji yang sangat kuat untuk menggambarkan perjalanan waktu dan hubungan manusia dengan alam. Beberapa imaji yang menonjol antara lain:
- "Sementara langit menatap beku" – menggambarkan langit yang tidak bergerak, memberikan kesan kesunyian dan ketidakpastian.
- "Musim berayun di puncak-puncak gunung" – imaji ini menggambarkan perubahan yang tidak bisa dihindari, dengan alam yang terus berputar dan berkembang tanpa henti.
- "Ada angin bertiup tanpa muara" – menggambarkan ketidakpastian dan ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi perubahan yang datang.
- "Hari menempa, bumi memberat dan jaman akan lalu" – imaji ini mengungkapkan perjalanan waktu yang terus berjalan dan menghantarkan kehidupan menuju perubahan yang tak terelakkan.
Majas
Puisi ini menggunakan beberapa majas yang memperkaya makna yang disampaikan:
- Metafora: Langit yang "menatap beku" dan angin yang "bertiup tanpa muara" adalah metafora untuk menggambarkan keadaan yang seolah terhenti atau tidak ada tujuan yang jelas. Ini menciptakan kesan bahwa waktu atau takdir tidak selalu bisa dipahami atau dikendalikan.
- Personifikasi: Penyair memberikan sifat manusiawi kepada alam, seperti "Hari menempa, bumi memberat," untuk menunjukkan bahwa alam juga memiliki bagian dalam perjalanan waktu dan kehidupan manusia, yang saling berhubungan satu sama lain.
- Simbolisme: Gunung yang "bergegar mengaum" dapat dilihat sebagai simbol dari kekuatan alam dan perubahan besar yang terjadi dalam kehidupan manusia.
Puisi “Sementara Langit Menatap” karya Pesu Aftarudin adalah sebuah karya yang menyelami tema besar tentang waktu, perubahan, dan keberadaan. Dengan menggunakan imaji alam yang kuat dan majas yang mendalam, penyair menggambarkan bagaimana perubahan tidak pernah berhenti, dan bagaimana manusia sering kali merasa terjebak dalam perjalanan waktu yang tak dapat diprediksi. Puisi ini mengajak pembaca untuk menerima dan menghargai waktu serta perubahan, serta menyadari bahwa kita adalah bagian dari suatu siklus alam yang lebih besar, yang saling melengkapi meskipun sering kali tidak kita pahami sepenuhnya.
Puisi: Sementara Langit Menatap
Karya: Pesu Aftarudin
Biodata Pesu Aftarudin:
- Pesu Aftarudin lahir pada tanggal 11 Oktober 1941 di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara.
- Pesu Aftarudin meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 2019 di Joglo, Ciawi, Tasikmalaya, Jawa Barat.