Seorang Anak Kecil Lagi Menangis
seorang anak kecil lagi menangis
ketika pada letusan peluru pertama
kabut tebal jelaga: — getir
kalung dukacita telah gugur menetes
satu demi satu
seorang anak kecil lagi menangis
maka bersedihlah bumi ini
ketika perang menolak belas kasih
apabila ibu-ibu membantah;
akan pembunuhan, perampokan dan segala penipuan
seorang anak kecil lagi menangis
sementara kakinya yang kerdil itu
menyentak-nyentak punggung tanah airnya
Sumber: Horison (Oktober, 1968)
Analisis Puisi:
Puisi "Seorang Anak Kecil Lagi Menangis" karya Husain Landitjing merupakan gambaran yang sangat menyentuh tentang penderitaan manusia dalam konflik bersenjata. Bukan dari sudut pandang tentara atau penguasa, melainkan dari tangisan seorang anak kecil yang menjadi simbol dari kepedihan dan kehancuran yang ditinggalkan oleh perang. Puisi ini tidak hanya menarasikan tragedi, tetapi juga menjadi suara hati nurani yang tajam dan menusuk.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah penderitaan anak-anak dalam perang dan kekejaman dunia yang kehilangan belas kasih. Penyair menyuguhkan bagaimana perang meluluhlantakkan kehidupan dan menghapuskan kepolosan masa kecil. Tangisan seorang anak kecil menjadi pusat gravitasi emosi yang menyentuh pembaca.
Puisi ini bercerita tentang seorang anak kecil yang menangis di tengah kehancuran yang disebabkan oleh perang. Tangisan ini bukan hanya suara seorang individu, melainkan jeritan seluruh kemanusiaan yang terkoyak. Anak kecil itu menangis di saat peluru pertama ditembakkan, ketika kabut jelaga—simbol kehancuran dan kematian—menggelayuti langit. Tangisan tersebut menjadi semacam nyanyian duka atas segala yang hancur: rumah, harapan, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah protes terhadap ketidakadilan dan kebrutalan perang, yang sering kali menimpa mereka yang tidak bersalah—anak-anak, perempuan, dan warga sipil. Penyair menyoroti bagaimana anak kecil menjadi korban dari sistem yang seharusnya melindungi mereka. Puisi ini tidak hanya mengadukan penderitaan, tetapi juga menyiratkan pertanyaan moral: mengapa dunia membiarkan ini terjadi? Tangisan anak menjadi metafora dari dunia yang kehilangan arah kemanusiaannya.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini begitu kelam, getir, dan menyayat hati. Pembaca bisa merasakan tekanan emosi dari adegan yang digambarkan—kabut tebal, letusan peluru, dukacita yang “menetes satu demi satu”, dan bumi yang bersedih. Puisi ini menggemakan keheningan yang menakutkan di antara ledakan-ledakan perang, diisi oleh suara paling polos: tangisan anak.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat yang dapat dipetik dari puisi ini adalah bahwa perang tidak pernah benar-benar menang, sebab yang kalah selalu adalah mereka yang tak bersalah. Penyair seakan ingin mengingatkan pembaca untuk tidak melupakan tangisan anak-anak yang menjadi korban. Puisi ini mengajak pembaca untuk kembali pada nurani, memihak pada kemanusiaan, dan menolak kekerasan dalam bentuk apapun.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual dan emosional:
- “kabut tebal jelaga” menciptakan gambaran kehancuran yang menyelimuti langit.
- “kalung dukacita telah gugur menetes satu demi satu” adalah imaji yang mendalam dan simbolik, menggambarkan kesedihan yang terus-menerus terjadi.
- “sementara kakinya yang kerdil itu menyentak-nyentak punggung tanah airnya” adalah imaji visual yang kuat—tubuh mungil anak kecil yang memberontak terhadap ketidakadilan yang menimpanya.
Imaji dalam puisi ini bekerja sangat efektif untuk membangkitkan empati pembaca.
Majas
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
- Repetisi: Pengulangan frasa “seorang anak kecil lagi menangis” menegaskan betapa kuat dan mendalamnya tragedi yang disuarakan.
- Personifikasi: “maka bersedihlah bumi ini” adalah bentuk personifikasi yang memperlihatkan betapa besar dampak tangisan anak kecil hingga bumi pun ikut merasakan duka.
- Metafora: “kalung dukacita” menggambarkan kesedihan sebagai sesuatu yang dikenakan terus-menerus, mengikat leher kehidupan.
- Paradoks: Ketika perang disebut “menolak belas kasih”, terjadi ironi dan paradoks antara kekerasan dan nilai-nilai kemanusiaan yang semestinya dijunjung tinggi.
Puisi "Seorang Anak Kecil Lagi Menangis" adalah karya yang menggugah, menghadirkan peristiwa tragis dalam bingkai kepolosan seorang anak. Dengan tema penderitaan anak dalam konflik, makna tersirat tentang ketidakadilan, serta imaji dan majas yang tajam dan menggugah, puisi ini berdiri sebagai seruan moral dan pengingat bahwa dalam setiap peperangan, ada suara-suara kecil yang tak terdengar, namun justru paling menyuarakan kebenaran. Tangisan anak dalam puisi ini bukan hanya suara duka, tetapi juga panggilan untuk kembali pada rasa kemanusiaan kita yang terdalam.
Karya: Husain Landitjing
Biodata Husain Landitjing:
- Husain Landitjing lahir pada tanggal 23 September 1938 di Makale, Dati II Tana Toraja, Sulawesi.