Suatu Ketika
di lorong kumuh
sudut sebuah kota, suatu ketika
AKU lepas sepotong roti
dan semangkuk sup macaroni
bocah-bocah jalanan
mengacungkan jari-jari
mengadu rusuk
berdesak mengadu siku
melengking teriak:
lagi
lagi
lagi!
oke!
jawabku
darahku membara
orang-orang yang lewat
mencium wangi bau roti
aroma sup macaroni
dari ujung bibir
bocah-bocah jalanan
maka
bernyanyilah mereka tentang AKU
tapi
di puncak bukit ini
TUHANku
ingin kembali aku ke kandung rahimMU
dengarkan bisik nurani
dan detak jantungMu
1998
Sumber: Jentera Terkasa (2018)
Analisis Puisi:
Puisi “Suatu Ketika” karya Roeswardiyatmo adalah puisi yang menyentuh hati dan membakar kesadaran sosial pembacanya. Dalam kesederhanaan kata-kata yang digunakan, puisi ini mengungkapkan kerumitan antara empati, kemiskinan, dan pencarian spiritual manusia. Ia menyuarakan jeritan bocah-bocah jalanan yang lapar, serta kegelisahan batin seorang penyair yang ingin kembali pada Tuhannya. Dengan bahasa yang puitis dan langsung, puisi ini menyuguhkan kritik sosial sekaligus perenungan eksistensial yang mendalam.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kepedulian sosial dan pencarian spiritualitas. Penyair tidak hanya menghadirkan potret kemiskinan dan kesengsaraan anak-anak jalanan di sudut kota, tetapi juga mencerminkan konflik batin antara dunia fisik yang penuh penderitaan dan keinginan untuk kembali pada ketenangan ilahi.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini menyentuh dua lapis pemahaman. Pertama, seruan moral terhadap kemanusiaan: bahwa di balik hiruk-pikuk kota, masih banyak anak-anak yang kelaparan dan terpinggirkan. Kedua, panggilan spiritual seorang individu yang merasa bahwa meski telah berbuat kebaikan sosial, ia masih merindukan kedamaian hakiki di hadapan Tuhannya. Roeswardiyatmo seolah berkata bahwa kerja sosial itu penting, tetapi jiwa manusia tetap mencari ketenangan batin yang bersumber dari hubungan dengan Tuhan.
Puisi ini bercerita tentang pengalaman penyair yang suatu ketika membagi makanan kepada anak-anak jalanan di lorong kumuh sebuah kota. Aksi kecil yang penuh kasih itu memicu respons yang sangat emosional dari anak-anak yang lapar dan terbiasa hidup dalam kekurangan. Namun, di balik kegembiraan dan nyanyian anak-anak tentang kebaikan si “Aku”, penyair merasa panggilan batinnya untuk kembali kepada Tuhan. Ia merasa bahwa kebaikan duniawi saja belum cukup untuk menjawab getaran nurani terdalamnya.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah kontras antara hiruk-pikuk lorong kota yang penuh penderitaan dengan ketenangan spiritual yang diidamkan di puncak bukit. Di satu sisi, kita merasakan hiruk-pikuk anak-anak jalanan yang lapar dan bergembira atas makanan. Di sisi lain, suasana menjadi hening dan kontemplatif ketika penyair menatap ke langit dan ingin kembali ke rahim Tuhannya.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat dari puisi ini adalah bahwa kebaikan sosial adalah bagian dari kemanusiaan, tetapi hubungan spiritual dengan Tuhan juga harus dijaga. Penyair mendorong pembaca untuk tidak menutup mata terhadap penderitaan orang lain, namun juga mengajak merenung lebih dalam bahwa semua tindakan baik harus didasarkan pada suara hati dan hubungan batin yang kuat dengan Yang Ilahi.
Imaji
Puisi ini membangun imaji yang kuat dan menyentuh:
- “di lorong kumuh / sudut sebuah kota” menciptakan imaji visual tentang tempat yang terpinggirkan dan miskin.
- “bocah-bocah jalanan / mengacungkan jari-jari / mengadu rusuk / berdesak mengadu siku” adalah imaji gerak yang memperlihatkan perjuangan mereka untuk sekadar mencicipi makanan.
- “aroma sup macaroni” dan “bau roti” menciptakan imaji penciuman yang nyata dan membumi.
- “di puncak bukit ini / TUHANku / ingin kembali aku ke kandung rahimMU” adalah imaji spiritual yang sangat mendalam, membangkitkan nuansa damai dan pengharapan akan keabadian.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi: “detak jantungMu” dan “bisik nurani”, memberikan sifat manusiawi pada Tuhan dan nurani, seolah-olah mereka bisa berbicara dan mendengar.
- Metafora: “kandung rahimMU” sebagai lambang kembali pada asal, pada keheningan dan kedamaian spiritual.
- Hiperbola: “darahku membara” mengekspresikan emosi yang sangat kuat, semangat memberi dan semangat untuk berbuat baik.
- Simbolisme: “sepotong roti dan semangkuk sup macaroni” bukan sekadar makanan, tetapi simbol dari harapan, kepedulian, dan kasih sayang.
Puisi “Suatu Ketika” karya Roeswardiyatmo adalah puisi yang menyentuh dua sisi penting kehidupan: pengabdian sosial dan pencarian spiritual. Melalui pengalaman sederhana membagikan makanan di lorong kumuh, penyair menampilkan kegetiran sosial dan respons emosional dari mereka yang tertindas. Namun lebih dalam dari itu, ia mengungkapkan bahwa manusia sejatinya selalu rindu untuk kembali—bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara spiritual—kepada Sang Pencipta.
Di tengah-tengah dunia yang penuh kepalsuan dan hiruk-pikuk, puisi ini adalah seruan agar kita tetap mendengar bisikan nurani dan tidak lupa akan suara Tuhan dalam diri kita. Sebab sering kali, setelah semua kebaikan dilakukan, kita masih mendambakan damai yang hanya bisa ditemukan di keheningan batin.
Karya: Roeswardiyatmo
Biodata Roeswardiyatmo:
- Roeswardiyatmo Hardjosoekarto lahir pada tanggal 29 Maret 1948 di Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia.
