Sudah
Kak,
Sudah cukup aku bermain harapan
Sudah lelah aku meraung,
Dalam gaung kesedihan
Sehinggalah kesat pelupuk mataku
Kak,
Sudah muak aku berwajah manis
Sudah bosan aku berjalan,
Dalam keramaian
Sehinggalah nyalang tatapanku
Membaca kisah munafik di sekitar
Bogor, 22 Mei 2025
Analisis Puisi:
Puisi “Sudah” karya Afifah Nurhasanah merupakan sebuah potret emosional yang menggetarkan. Puisi ini menyampaikan kepedihan yang mendalam, perlawanan yang hening, dan sebuah keputusan untuk berhenti—berhenti berharap, berhenti berpura-pura, berhenti menoleransi kepalsuan.
Tema
Puisi ini mengangkat tema kelelahan emosional dan kejujuran terhadap diri sendiri. Tema ini terjalin erat dengan pengalaman pribadi yang mungkin dirasakan banyak remaja—sebuah fase dalam kehidupan ketika ekspektasi, hubungan sosial, dan tekanan batin bertubrukan dan menghasilkan pergolakan rasa yang tak mudah diungkapkan secara gamblang. Melalui pilihan kata yang kuat dan padat, Afifah menyampaikan kepasrahan sekaligus keberanian untuk mengakhiri sandiwara perasaan.
Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh yang merasa lelah secara emosional, lelah akan harapan yang tak kunjung nyata, lelah berpura-pura bahagia di tengah keramaian, dan muak terhadap kepalsuan yang melingkupi dirinya. Kata sapaan “Kak,” yang dibuka di dua bait awal menunjukkan bahwa puisi ini mungkin diarahkan kepada seseorang yang dekat, atau menjadi simbol dari seseorang yang menjadi tempat bersandar, entah itu saudara, sahabat, atau bahkan imaji dari hati nuraninya sendiri.
Afifah menggambarkan kelelahan itu melalui dua sisi: secara internal dan eksternal. Internal, lewat perasaan sedih dan lelah yang “meraung” dan “mengeringkan pelupuk mata”. Eksternal, melalui ekspresi wajah yang sudah bosan berpura-pura manis dan mata yang “nyalang”—menunjukkan intensitas emosi yang tertahan terlalu lama.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap kepalsuan sosial—tentang bagaimana seseorang dipaksa untuk terlihat baik-baik saja di tengah masyarakat, padahal hatinya porak-poranda. Kepura-puraan menjadi tuntutan, bukan pilihan. Dalam “berwajah manis”, tersimpan tekanan untuk selalu tampil menyenangkan. Dalam “keramaian”, terkandung ironi bahwa kehadiran banyak orang justru memperdalam rasa kesendirian.
Lebih dalam lagi, puisi ini bisa dibaca sebagai refleksi tentang kejujuran perasaan. Bahwa terkadang, satu-satunya cara untuk menyembuhkan luka batin adalah dengan menerima bahwa diri sudah lelah dan berhenti membohongi hati sendiri.
Majas
Afifah menggunakan beberapa majas atau gaya bahasa yang memperkuat efek emosional puisinya:
- Metafora, terlihat pada frasa “bermain harapan”—yang menggambarkan harapan bukan sebagai sesuatu yang positif, melainkan seperti permainan melelahkan dan tidak pasti.
- Personifikasi, seperti dalam “kesat pelupuk mataku”, memberikan kesan bahwa air mata dan mata punya kehidupan dan kehendaknya sendiri.
- Hiperbola, seperti pada kata “raung” dan “nyalang tatapanku”, yang menunjukkan intensitas perasaan dan pengalaman batin tokoh lirik.
Majas-majas ini bukan hanya ornamen, tetapi berfungsi sebagai jembatan antara pengalaman emosional dan bahasa—menjadikan apa yang tak kasat mata menjadi bisa dirasakan melalui kata-kata.
Imaji
Secara halus tapi kuat, puisi ini membangkitkan imaji visual dan perasaan:
- Imaji visual dari mata yang memerah dan kering karena menangis.
- Imaji wajah yang awalnya manis tetapi kini muak dan penuh kejengahan.
- Imaji keramaian yang justru menciptakan kehampaan.
Imaji ini memperkaya suasana batin yang ingin disampaikan, dan membuat pembaca bisa turut merasakan kegetiran yang dialami tokoh dalam puisi.
Suasana dalam Puisi
Meskipun suasana secara eksplisit tidak dinyatakan, puisi ini membangun atmosfer yang sendu dan penuh penolakan. Ada kombinasi rasa sedih, kecewa, dan penegasan diri yang akhirnya menciptakan aura suram tetapi juga penuh tekad. Bukan suasana pasrah dalam arti menyerah, tetapi semacam keheningan setelah badai emosional yang berkepanjangan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat dari puisi ini adalah bahwa tidak apa-apa untuk berhenti berharap pada sesuatu yang menyakitkan. Tidak apa-apa menjadi jujur terhadap diri sendiri, mengakui bahwa kita lelah, dan memilih untuk tidak lagi memaksakan kepura-puraan. Puisi ini menyiratkan bahwa dalam kehidupan sosial yang sering menuntut kebahagiaan palsu, menjaga kewarasan dan kejujuran terhadap batin sendiri adalah bentuk keberanian.
Afifah Nurhasanah, meskipun masih remaja, telah menunjukkan kedalaman pemikiran dan kematangan emosional dalam puisinya. Puisi “Sudah” bukan hanya sebuah ungkapan kesedihan, tapi juga menjadi pernyataan eksistensial: bahwa dalam dunia yang penuh tuntutan untuk terlihat bahagia, ada harga yang harus dibayar oleh mereka yang terlalu lama menyimpan duka.
Dengan karya seperti ini, Afifah menyuguhkan suara dari generasi muda yang tak hanya ingin didengar, tetapi juga dipahami. Dan dalam puisi “Sudah”, kita mendengar suara itu dengan jelas—lirih tapi lantang, halus tapi menggugah.
Karya: Afifah Nurhasanah
Biodata Afifah Nurhasanah:
- Afifah Nurhasanah, lahir pada tanggal 21 Januari 2009 di Purworejo, saat ini aktif sebagai siswi SMAIT Darul Quran Bogor.