Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Tak Ada Abadi di Bumi (Karya Aspar Paturusi)

Puisi "Tak Ada Abadi di Bumi" karya Aspar Paturusi bercerita tentang percakapan antara penyair dan seorang temannya yang tiba-tiba mengutarakan ...
Tak Ada Abadi di Bumi

"andai  manusia tak mati-mati
juga semua makhluk di bumi
entah bagaimana kehidupan ini?"
tanya seorang teman, tiba-tiba saja

terdiam aku memandangnya
belum sempat aku berkata:
"penuh sesak bumi ini
kacau di mana-mana
bencana dan perang merajalela
makan dan minum semakin sulit
sungguh tak terbayangkan!"
teman saya terus saja berbicara

Allah maha kuasa
takdir telah ditetapkan-Nya
semua makhluk wajib menjalaninya

jadi teman, terimalah sengatan
                    cahaya mentari
di malam hari nikmatilah indahnya
                    cahaya rembulan
bahagiakan hati dan tersenyumlah
                    saat isteri tidur lelap
setelah seharian mengurus rumah

jadi teman, bersyukurlah lantaran
                    tak ada abadi di bumi
kau dan aku, wajib siap
                    menerima takdir-Nya

Jakarta, 7 November 2012

Analisis Puisi:

Puisi "Tak Ada Abadi di Bumi" karya Aspar Paturusi menyuguhkan renungan filosofis yang sederhana namun sangat dalam. Melalui dialog antara penyair dan seorang teman, puisi ini menggiring pembaca untuk merenungi makna hidup, kematian, dan penerimaan terhadap takdir. Gaya tutur yang naratif dan reflektif membuat puisi ini mudah dipahami, sekaligus menyentuh sisi kontemplatif dalam diri setiap pembacanya.

Tema

Tema utama puisi ini adalah ketidakkekalan hidup dan pentingnya menerima takdir dengan lapang dada. Penyair ingin menunjukkan bahwa kematian bukanlah kutukan, melainkan bagian dari keseimbangan semesta yang telah ditentukan oleh Tuhan. Ketidakkekalan justru menjadi berkah yang menjaga bumi tetap layak huni.

Puisi ini bercerita tentang percakapan antara penyair dan seorang temannya yang tiba-tiba mengutarakan pertanyaan eksistensial: “andai manusia tak mati-mati, juga semua makhluk di bumi, entah bagaimana kehidupan ini?” Pertanyaan itu memantik refleksi tentang kehidupan tanpa akhir—yang akan penuh sesak, kacau, penuh bencana, dan sulit dijalani. Meski penyair belum sempat menjawab secara langsung, narasi batinnya justru mengandung jawaban yang bijak dan penuh pengertian spiritual.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah bahwa ketidakkekalan adalah mekanisme ilahi yang menjaga keseimbangan hidup. Kematian bukan sesuatu yang harus ditakuti, tetapi disyukuri sebagai bagian dari kehendak Tuhan yang lebih besar. Hidup menjadi bermakna justru karena ia sementara. Dengan menerima bahwa “tak ada abadi di bumi”, manusia diajak untuk menjalani hidup dengan lebih bijak, lebih bersyukur, dan lebih mencintai momen-momen kecil sehari-hari.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa tenang, reflektif, dan sarat kebijaksanaan. Tidak ada ledakan emosi, melainkan ketenangan batin yang hadir dari pemahaman dan penerimaan terhadap kenyataan hidup. Ada kesan damai, seolah penyair telah berdamai dengan konsep kematian dan ingin menularkannya kepada sahabat dan pembacanya.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat utama puisi ini adalah agar kita sebagai manusia bersyukur atas kehidupan yang fana, dan menerima dengan ikhlas segala ketetapan Tuhan, termasuk kematian. Dalam keterbatasan, justru ada keindahan dan pelajaran. Puisi ini juga menekankan pentingnya menikmati hal-hal sederhana dalam hidup—cahaya mentari, sinar rembulan, senyum istri yang lelap setelah lelah—semuanya adalah anugerah yang patut disyukuri.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji kehidupan sehari-hari yang sederhana namun kuat:
  • “sengatan cahaya mentari” dan “indahnya cahaya rembulan” memberikan gambaran visual yang kontras namun harmonis.
  • “saat isteri tidur lelap setelah seharian mengurus rumah” menghadirkan imaji yang sangat manusiawi dan menyentuh, menandakan kehangatan keluarga dan pengorbanan.
Imaji ini membuat pesan puisi terasa dekat dan nyata bagi pembaca dari berbagai latar belakang.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
  • Interogatif retoris: pertanyaan “entah bagaimana kehidupan ini?” digunakan bukan untuk benar-benar dijawab, tetapi untuk memantik perenungan.
  • Personifikasi: dalam bagian seperti “sengatan cahaya mentari”, cahaya digambarkan seolah memiliki peran aktif menyentuh kehidupan manusia.
  • Paralelisme: pengulangan struktur kalimat seperti “jadi teman,…” mempertegas ritme nasihat dalam bait-bait terakhir.
  • Kontras: perbandingan antara kehidupan abadi (yang dibayangkan penuh sesak dan kacau) dan kehidupan fana (yang meski terbatas tapi damai dan bisa dinikmati) menjadi cara halus untuk menyampaikan nilai spiritual.
Puisi "Tak Ada Abadi di Bumi" karya Aspar Paturusi adalah puisi yang sarat dengan renungan hidup. Dalam bait-bait yang sederhana dan tanpa hiasan berlebihan, puisi ini menyampaikan pesan mendalam tentang pentingnya menerima takdir dan memaknai hidup selagi masih ada waktu. Ketika hidup dan mati diletakkan dalam konteks spiritual yang utuh, manusia bisa menemukan kedamaian dan bersyukur atas setiap detik yang dijalani.

Aspar Paturusi
Puisi: Tak Ada Abadi di Bumi
Karya: Aspar Paturusi

Biodata Aspar Paturusi:
  • Nama asli Aspar Paturusi adalah Andi Sopyan Paturusi.
  • Aspar Paturusi lahir pada tanggal 10 April 1943 di Bulukumba, Sulawesi Selatan.
© Sepenuhnya. All rights reserved.