Banyak orang sepakat bahwa masakan zaman dulu terasa lebih sedap dibandingkan makanan masa kini. Ungkapan ini bukan sekadar nostalgia atau romantisasi masa lalu. Di balik kelezatan hidangan tradisional tempo dulu, terdapat sejumlah alasan mendasar yang memengaruhi cita rasa secara nyata. Dari bahan-bahan yang digunakan, cara memasak, hingga suasana emosional di balik proses memasaknya—semuanya memainkan peran penting dalam menciptakan kelezatan yang autentik dan mendalam.
1. Bahan-Bahan Segar dan Alami
Salah satu kunci utama mengapa masakan zaman dahulu terasa lebih nikmat terletak pada pemilihan bahan baku. Dulu, orang lebih sering memasak dengan bahan yang benar-benar segar: sayur-mayur dipetik langsung dari kebun, ikan dan daging dibeli dari pasar dalam kondisi baru dipotong, dan tanpa melalui proses pembekuan berhari-hari. Bahkan air yang digunakan pun sering kali berasal dari sumber alami seperti sumur.
Kesegaran ini memberi dampak signifikan pada rasa akhir makanan. Sayur yang masih muda dan segar memberikan tekstur dan rasa manis alami. Daging segar memiliki keempukan dan rasa gurih yang tidak mudah didapatkan dari produk beku. Begitu pula dengan rempah-rempah yang masih murni tanpa campuran zat tambahan atau pengawet.
2. Bumbu Dihaluskan Sendiri, Bukan Instan
Zaman dahulu, bumbu dapur diracik dan dihaluskan secara manual menggunakan cobek dan ulekan dari batu atau tanah liat. Proses ini, meski terlihat sederhana dan memakan waktu, justru mampu mengeluarkan aroma dan rasa asli dari rempah-rempah seperti bawang merah, bawang putih, kemiri, kunyit, jahe, lengkuas, dan cabai. Tekanan tangan dan gerakan menggiling secara perlahan turut membantu memecah senyawa minyak atsiri alami yang memberi rasa dan aroma khas.
Berbeda dengan bumbu instan masa kini yang mengandung pengawet dan penyedap buatan, bumbu alami hasil ulekan tangan memberikan rasa yang lebih dalam, kompleks, dan berlapis. Ini membuat masakan terasa lebih "hidup" dan membekas di lidah.
3. Teknik Memasak yang Penuh Ketelatenan
Masakan tradisional Indonesia dikenal memiliki proses memasak yang panjang dan tidak tergesa-gesa. Rendang, misalnya, membutuhkan waktu berjam-jam agar santan mengering dan bumbu benar-benar meresap ke dalam daging. Begitu pula dengan rawon, gulai, atau soto yang semakin nikmat setelah melewati proses pemanasan ulang atau didiamkan semalaman.
Teknik memasak perlahan ini tidak hanya mematangkan makanan secara merata, tetapi juga memungkinkan proses kimia alami seperti karamelisasi, pemecahan protein, dan penggabungan rasa (flavor melding) terjadi dengan sempurna. Hal ini sangat kontras dengan gaya hidup modern yang menuntut kecepatan dan efisiensi, di mana makanan sering kali dipanaskan cepat dengan microwave atau dimasak dalam waktu singkat dengan tekanan tinggi.
4. Pengaruh Alat Masak Tradisional
Tak banyak disadari, alat masak yang digunakan juga memiliki peran dalam menciptakan rasa khas pada makanan zaman dulu. Memasak dengan tungku kayu, anglo dari tanah liat, atau dandang bambu menghasilkan aroma smokey alami yang tidak bisa ditiru oleh kompor gas, apalagi listrik. Asap kayu memberikan sentuhan rasa bakaran halus yang menyatu dengan makanan, terutama pada hidangan seperti pepes, ikan panggang, atau nasi liwet.
Selain itu, panas yang dihasilkan oleh tungku kayu lebih menyebar merata dan stabil, meski memerlukan kontrol manual yang sabar. Kombinasi antara alat masak alami dan api dari kayu bakar ini memberi dimensi rasa tambahan yang memperkaya keseluruhan hidangan.
5. Suasana dan Energi Emosional dalam Memasak
Tidak bisa diabaikan, suasana saat memasak pada masa lalu jauh lebih tenang dan penuh perhatian. Dapur bukan sekadar tempat memasak, melainkan ruang berkumpul keluarga. Ibu dan nenek memasak dengan cinta, tanpa tekanan waktu yang ketat. Setiap iris bawang, setiap adukan santan, dilakukan dengan kesadaran dan dedikasi.
Sentuhan emosional ini, meski tidak bisa diukur secara ilmiah, terbukti memengaruhi persepsi rasa. Makanan yang disiapkan dengan penuh kasih sayang cenderung terasa lebih nikmat dan menenangkan. Bukan hanya tubuh yang kenyang, tetapi hati juga terasa hangat. Inilah yang membuat banyak orang merasa rindu pada masakan rumah masa kecil mereka.
6. Ketiadaan Zat Tambahan yang Mereduksi Rasa Asli
Masakan masa kini, terutama yang dijual secara komersial atau cepat saji, sangat bergantung pada bumbu instan, penguat rasa, pengawet, dan pewarna. Meskipun bahan-bahan ini memudahkan proses produksi dan memperpanjang masa simpan, mereka sering kali justru menghilangkan rasa alami dari bahan utama. Akibatnya, makanan menjadi terasa seragam, tidak memiliki kedalaman rasa, dan sering kali membuat ketagihan secara artifisial.
Sebaliknya, masakan zaman dulu menonjolkan rasa asli dari bahan. Gula kelapa memberikan rasa manis yang hangat, garam laut atau garam gunung memberi sentuhan rasa asin yang alami, dan santan segar menghasilkan rasa gurih yang tidak bisa ditiru oleh santan kemasan.
7. Kembali ke Akar: Menghidupkan Kembali Tradisi
Kini, semakin banyak orang yang menyadari kekayaan rasa masakan tradisional dan berusaha kembali ke akar. Resep-resep lama dicari dan dipelajari ulang. Ulekan kembali hadir di dapur-dapur modern. Bahkan beberapa orang memilih menanam sayur sendiri atau membeli bahan dari pasar tradisional sebagai bentuk penghargaan terhadap makanan yang alami dan minim proses.
Gerakan ini bukan sekadar tren nostalgia, melainkan bentuk perlawanan terhadap standar makanan modern yang terlalu praktis namun miskin rasa. Dengan memasak seperti dulu, kita tidak hanya menghidupkan kembali tradisi, tetapi juga merawat warisan rasa yang membentuk identitas budaya kita.
***
Masakan zaman dulu terasa lebih sedap bukan hanya karena kita mengenangnya dengan perasaan hangat, tetapi karena memang dibuat dengan cara yang lebih alami, sabar, dan penuh cinta. Dari kesegaran bahan, keaslian bumbu, ketelatenan memasak, hingga energi emosional yang menyertainya, semua itu menciptakan pengalaman kuliner yang utuh dan autentik.
Kini, di tengah dunia yang serba cepat, mungkin sudah saatnya kita melambat sejenak—kembali ke dapur, memegang ulekan, dan meracik rasa seperti dahulu kala. Karena dari dapur sederhana itulah, kelezatan sejati pernah dan masih bisa kita temukan kembali.
Biodata Penulis:
Rania Atika Risdiyanti saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret, Program Studi Ilmu Lingkungan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.