Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Barangkali Telah Kuseka Namamu (Karya Goenawan Mohamad)

Puisi "Barangkali Telah Kuseka Namamu" karya Goenawan Mohamad bercerita tentang dua individu yang tampaknya pernah terhubung di masa lalu, namun ...
Barangkali Telah Kuseka Namamu

Barangkali telah kuseka namamu
dengan sol sepatu
Seperti dalam perang yang lalu
kauseka namaku.

Barangkali kau telah menyeka bukan namaku
Barangkali aku telah menyeka bukan namamu
Barangkali kita malah tak pernah di sini
Hanya hutan, jauh di selatan, hujan pagi.

1973

Sumber: Horison (November, 1973)

Analisis Puisi:

Goenawan Mohamad adalah salah satu penyair Indonesia yang dikenal dengan gaya puitiknya yang kontemplatif, simbolik, dan kaya ambiguitas. Dalam puisi pendeknya yang berjudul “Barangkali Telah Kuseka Namamu”, kita diajak masuk ke dalam ruang memori, kesadaran, dan keraguan yang nyaris filosofis. Dengan struktur sederhana berupa dua bait dengan empat baris per bait, puisi ini menghadirkan kedalaman makna yang jauh lebih luas dari bentuknya.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah ingatan, kehilangan, dan kemungkinan akan keterasingan dalam relasi antar manusia. Ada nuansa trauma sejarah atau luka masa lalu yang belum selesai, namun sudah mulai terhapus dari kesadaran, baik secara sengaja maupun tidak.

Puisi ini juga memuat tema tentang absurditas dan keraguan eksistensial, di mana subjek lirik mempertanyakan kebenaran atas hubungan, tempat, dan ingatan yang pernah (atau tidak pernah) ada.

Puisi ini bercerita tentang dua individu yang tampaknya pernah terhubung di masa lalu, namun kini telah saling melupakan, mungkin karena luka atau karena waktu. Kata “menyeka nama” menggambarkan tindakan melupakan atau menghapus jejak seseorang dari hati dan pikiran.

Namun, narasi dalam puisi ini tidak disampaikan secara linier atau pasti. Ada banyak kemungkinan—barangkali—yang membuat kita sebagai pembaca ikut larut dalam ketidakpastian. Barangkali nama itu telah diseka, barangkali bukan namamu, atau bahkan barangkali kita tidak pernah benar-benar berada di tempat dan waktu yang sama.

Makna Tersirat

Makna tersirat yang dominan dalam puisi ini adalah tentang keraguan terhadap realitas dan ingatan. Puisi ini mempertanyakan apakah pengalaman-pengalaman personal yang kita yakini pernah terjadi benar-benar nyata, ataukah hanya ilusi yang kabur oleh waktu.

Ada pula kritik terselubung terhadap sejarah atau konflik masa lalu, yang dalam bait pertama menyebut “perang yang lalu”. Ini bisa ditafsirkan sebagai perang literal (fakta sejarah) atau perang emosional antar pribadi. Dalam kedua makna itu, nama—identitas, eksistensi, dan hubungan—dihapus karena luka atau karena keterpaksaan.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini sangat sunyi, reflektif, dan melankolis, bahkan cenderung suram. Ada kesan sepi yang dalam, seperti seseorang berbicara dengan dirinya sendiri di tengah ruang kosong ingatan yang berkabut. Kalimat terakhir—"Hanya hutan, jauh di selatan, hujan pagi"—memperkuat suasana tersebut dengan kesenduan yang menyelimuti seluruh narasi.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan moral atau amanat puisi ini adalah bahwa penghapusan atau pelupaan terhadap masa lalu tidak pernah benar-benar bisa menghapus kenyataan yang pernah terjadi. Kita bisa menyeka nama, membuang ingatan, tapi trauma atau jejak batin sering kali tetap membekas secara tak sadar.

Selain itu, puisi ini juga menyiratkan bahwa dalam relasi manusia—baik personal maupun sosial—selalu ada celah ketidaksepahaman dan keraguan, yang membuat kita mempertanyakan kebenaran dari memori dan pengalaman bersama.

Unsur Puisi

Berikut ini beberapa unsur puisi yang tampak kuat dalam karya ini:
  • Diksi: Kata-kata seperti “seka”, “perang”, “nama”, dan “hutan” dipilih dengan sangat hati-hati untuk menciptakan kesan yang kuat dan mendalam.
  • Rima dan irama: Tidak ada rima yang jelas, tapi alur kalimatnya terasa mengalir, tenang, dan reflektif—sesuai dengan suasana puisi.
  • Enjambemen: Ada pengalihan makna antar baris yang halus, menciptakan efek keterhubungan antar ide yang ambigu dan saling memantul.

Imaji

Puisi ini menampilkan beberapa imaji yang kuat dan simbolik:
  • “dengan sol sepatu” → imaji konkret namun menyakitkan, menggambarkan tindakan menghapus dengan cara kasar dan seolah tidak peduli.
  • “seperti dalam perang yang lalu” → imaji historis dan traumatis, yang menggambarkan konflik masa lalu, baik secara literal maupun metaforis.
  • “hutan, jauh di selatan, hujan pagi” → imaji alam yang sunyi dan sepi, menggambarkan keterasingan, kehilangan arah, dan kesendirian eksistensial.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini:
  • Metafora: “menyeka nama” bukan tindakan harfiah, tapi simbol dari melupakan, menghapus keberadaan seseorang dari ingatan atau sejarah.
  • Simbolisme: “perang”, “hutan”, “hujan” → semuanya merupakan simbol dari konflik, kekaburan memori, dan suasana batin yang kacau atau sunyi.
  • Repetisi dan anafora: Pengulangan kata “barangkali” dalam bait kedua menegaskan keraguan dan ketidaktentuan yang menjadi inti dari puisi ini.
Puisi "Barangkali Telah Kuseka Namamu" karya Goenawan Mohamad adalah refleksi lirih tentang ingatan, relasi, trauma, dan eksistensi. Dalam bentuknya yang singkat namun padat, puisi ini menyajikan lapisan-lapisan makna yang bisa ditafsirkan secara personal maupun sosial-historis. Keraguan yang ditampilkan lewat kata “barangkali” bukan sekadar kebingungan, tetapi sebuah pengakuan bahwa manusia sering terjebak dalam keraguan atas ingatan, cinta, dan bahkan keberadaan dirinya sendiri.

Dengan susunan kata yang sederhana namun penuh simbol, puisi ini menunjukkan betapa kuatnya puisi sebagai medium untuk merekam luka, menyoal memori, dan merenungi makna kehilangan dalam kehidupan.

Puisi Goenawan Mohamad
Puisi: Barangkali Telah Kuseka Namamu
Karya: Goenawan Mohamad

Biodata Goenawan Mohamad:
  • Goenawan Mohamad (nama lengkapnya Goenawan Soesatyo Mohamad) lahir pada tanggal 29 Juli 1941 di Batang, Jawa Tengah.
  • Goenawan Mohamad adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.