Sumber: Picnic (2009)
Analisis Puisi:
Puisi “Corat-Coret di Tembok Kusam” karya Karno Kartadibrata adalah sajak pendek, tetapi sangat menggugah dan penuh daya sugesti. Meski hanya terdiri dari tiga baris, puisi ini mengandung ketegangan eksistensial dan renungan akan keterasingan manusia dalam hidup.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah kesendirian menjelang kematian, atau lebih luas lagi, keterasingan manusia dari dunia dan sesamanya. Penyair mengangkat perenungan akan nasib akhir manusia yang bisa sangat sunyi dan jauh dari segala hiruk-pikuk kehidupan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini bisa ditafsirkan sebagai bentuk keputusasaan, keterbuangan, atau peringatan akan kesudahan hidup yang mungkin tragis dan sepi. Ada pula kemungkinan bahwa ini adalah sindiran atau suara batin terhadap orang atau generasi yang merasa tak lagi punya tempat di tengah masyarakat.
Larik “kau akan mati / di hutan sendirian” memberi kesan nasib yang tak diinginkan siapa pun — kematian dalam keterpencilan dan keterasingan.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang akan mengalami kematian di tempat terpencil dan tanpa teman, dengan hanya suara burung di kejauhan sebagai penanda bahwa dunia tetap berjalan. Kisah ini bisa bersifat nyata (misalnya nasib seorang buronan, petualang, atau orang buangan), namun juga bisa dimaknai secara simbolik sebagai kematian batin atau akhir dari relevansi seseorang dalam masyarakat.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi sangat muram, sunyi, dan penuh ancaman, meski hanya dengan tiga larik. Nada puisinya getir dan fatalistik, seakan mengungkap kenyataan pahit yang tak bisa ditolak.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini dapat ditafsirkan sebagai peringatan akan nasib orang yang hidup terasing dari lingkungannya, atau mungkin sebagai sindiran terhadap ketidakpedulian sosial yang membuat seseorang merasa ditinggalkan dan tidak punya tempat untuk pulang. Bisa juga dimaknai sebagai ajakan untuk merenungi hidup: jika tidak hati-hati, seseorang bisa saja berakhir dalam keterpencilan dan kesepian.
Imaji
Meskipun sangat ringkas, puisi ini memunculkan imaji visual dan auditif:
- Visual: “di hutan sendirian” — membayangkan seseorang mati di tengah belantara.
- Auditif: “suara burung di kejauhan” — menambah kesan sepi dan sunyi yang kontras dengan kehidupan manusia yang biasanya ramai.
Majas
- Ironi: Ada ironi dalam larik “ditemani suara burung” — karena ‘teman’ di sini hanyalah suara samar, bukan makhluk nyata yang hadir, sehingga mempertegas kesendirian.
- Hiperbola (tersirat): Kemungkinan kematian di tempat sunyi bisa menjadi pernyataan berlebihan namun fungsional untuk menggambarkan keterasingan secara emosional.
- Metafora (tersirat): “Hutan” bisa menjadi simbol dari dunia yang asing dan tidak ramah, tempat di mana manusia kehilangan kendali.
Puisi “Corat-Coret di Tembok Kusam” adalah puisi pendek namun tajam dan mengganggu. Dengan gaya yang minimalis dan lugas, Karno Kartadibrata menyampaikan refleksi pahit tentang kesendirian, keterasingan, dan kematian. Puisinya tidak hanya menyentuh sisi eksistensial manusia, tetapi juga menggugah kesadaran sosial akan nasib orang-orang yang terpinggirkan—baik secara fisik maupun emosional.
