Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Bawah Kaki Kebesaran-Mu (Karya Aoh K. Hadimadja)

Puisi “Di Bawah Kaki Kebesaran-Mu” bercerita tentang perjalanan spiritual seorang manusia yang mengakui kelemahan dirinya, mencari Tuhan dalam ...
Di Bawah Kaki Kebesaran-Mu

(1)

Aku lenyap dalam "tiada"
Hanya engkau jua memenuhi ruangan yang tak berufuk
Gerakan yang ada padaku, suara yang keluar dari
rahangku hanya mengenangkan kebesaran-Mu jua, ya
Maha Pencipta

(2)

Aku sujud di bawah duli kaki-Mu
Rasa yang masih ada padaku bangga akan diri
yang hina ini, Tuhanku, hanyutkan segera
bersama lumpur yang lekat padaku!

Aku rangkaikan kata, aku susun seindah dapat
hanya untuk Engkau semata
Nama-Mu hanya tercapak di Langit-Indah tempat
insan menadahkan harap akan rahmat yang tak
terbatas.

(3)
Memercik air mengintan permata, girang agaknya
dipakai bersuci
Berdandan sowka rambut gerangan hinggap
tak terseka

(4)

Sebagai itu, ya Tuhanku, cahaya-Mu dahulu
menyingsing teram-temaram.
Kasih-Mu jua langit gelap berangsur terang.
Kini alam dicelup cahaya; daun-daunan
melambai perak dalam ayunan hembusan sorga

(5)

Intan petaruh-Mu akan kujaga baik-baik, ya Rabbi.
Debu yang hinggap dalam kelalaianku akan kugosok
seberapa dapat, sehingga indah cemerlang kukembalikan
di tangan-Mu kelak.

(6)

Kalau yang kulihat indah sudah, betapa besar hasrat
melihat negeri orang yang katanya lebih indah dari
negeriku
Ya, Rabbi, bukan kepalang hsratku demi kudengar
kata-Mu tempat Engkau menyambut tentara-Mu ialah
yang terindah dalam seluruh ciptaan-Mu!

(7)

Licin, gelap, menurun dan mendaki jalan menuju
Engkau.
Ah, mengapa sesusah itu jalan ke tempat Engkau
bertakhta, ya Tuhan segala?
Di manakah Engkau sebentar dekat, sebentar jauh?
Aku rindu ..... Tuhanku. Sinarkanlah pula
cahaya-Mu kini!

(8)
Layang kencana kudapat di malam sepi.
Betapa sayang Engkau, Tuhanku, idaman lama ’lah
kucari, kini terkembang nyata.
Akan kuukir pualam untuk hiasan Ibu menghadap
Dikau!

(9)
Kelam udaraku keliling; langit harapan melengkung
hitam.
Hati pedih teriris-iris.
Kuserukan Engkau "Maha Pengampun".
Tak adalah sungguh Engkau memanggil aku membela
benteng budi, anugerah yang Engkau limpahkan
kepada insani?

(10)
Hariku yang ada masih, o, Gantungan segala makhluk,
biarlah suci mengenagkan Dikau senantiasa.
Dari mataku akan terpancar mata air tauhid.
Nafasku kan meng hembuskan ucapan syukur.
Tentram damai di dalam biarpun taufan di luar
hebat dahsyat.

(11)
Kalau hendak aku turutkan suara hati aku pun ingin
mengawang ke langit-bintang.
Tetapi taman-Mu kulihat penuh semak belukar. Tak
sampai hatiku, ya Khalik, meninggalkan tanaman
yang Engkau petaruhkan kepada ibuku.
Biarlah aku menjadi tukang kebun-Mu selama-lama .....
Kini siapa yang akan duduk di sampingku
tak menjadi soal lagi.
Hati retak sudah terpulih, darah menetes
sudah kering pula.
Aku sujud di bawah kaki-Mu. Tuhan, dan segala
duka hilang lenyap disapu hembusan-Mu.

Sumber: Panca Raya (17 Agustus 1946)

Analisis Puisi:

Puisi “Di Bawah Kaki Kebesaran-Mu” merupakan karya spiritual yang penuh getar batin, refleksi, dan kerendahan hati manusia di hadapan Tuhannya. Dalam struktur panjang berisi 11 bagian (stanza atau fragmen), Aoh K. Hadimadja menyampaikan sebuah perjalanan batin yang menyentuh: dari kehampaan diri menuju kepasrahan total kepada Tuhan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah penghambaan dan penyerahan diri kepada Tuhan. Penyair menggambarkan hubungan manusia dengan Sang Pencipta, bukan sekadar sebagai makhluk yang tunduk, tetapi sebagai jiwa yang mencari makna, pengampunan, dan ketenangan di tengah guncangan dunia.

Makna Tersirat

Puisi ini sarat dengan makna spiritual yang mendalam, di antaranya:
  • Kerapuhan manusia di hadapan kekuasaan ilahi. Manusia hanyalah “debu”, sementara Tuhan adalah cahaya dan kebesaran yang tak terjangkau.
  • Kesadaran akan dosa dan keinginan untuk kembali suci. Digambarkan melalui metafora air, cahaya, dan debu yang harus digosok agar kembali cemerlang.
  • Pentingnya pengabdian duniawi sebagai bentuk pengabdian rohani. Dalam bagian akhir, penyair memilih menjadi “tukang kebun” di taman Tuhan ketimbang terbang ke bintang—simbol keikhlasan menjalani hidup dengan tanggung jawab.
  • Rindu akan kedekatan spiritual, meskipun kadang Tuhan terasa “sebentar dekat, sebentar jauh.”

Puisi ini bercerita tentang perjalanan spiritual seorang manusia yang mengakui kelemahan dirinya, mencari Tuhan dalam kesendirian dan penderitaan, lalu menemukan ketenangan dan harapan dalam pengabdian. Setiap fragmen puisi merepresentasikan fase-fase pencarian dan dialog batin antara seorang hamba dan Tuhannya.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini kontemplatif, khusyuk, haru, dan penuh ketakziman. Di beberapa bagian terasa kesedihan mendalam (bait 9), namun seiring perjalanan puisinya, muncul harapan dan ketenangan (bait 10–11). Suasana yang tercipta adalah ruang batin yang sunyi, tempat seseorang menyepi dan berserah secara total.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

  • Kehidupan sejati adalah perjalanan menuju Tuhan, dan segala penderitaan duniawi adalah bagian dari proses penyucian jiwa.
  • Pengabdian tulus kepada tugas-tugas kehidupan adalah bentuk penghambaan yang tak kalah mulia dibanding doa atau ibadah ritual.
  • Pemaafan Tuhan itu luas dan tidak pernah memanggil tanpa maksud.
  • Sebaik-baiknya hidup adalah hidup yang dipenuhi syukur dan pengakuan atas kebesaran-Nya.

Unsur Puisi

  • Struktur: Terdiri dari 11 bagian (terkesan seperti puisi bebas), puisi ini menyerupai dzikir panjang atau semacam doa syair.
  • Diksi: Bahasa yang digunakan sarat dengan nuansa religius dan spiritual, seperti “rahmat”, “cahaya-Mu”, “hempasan sorga”, “taman-Mu”, “tauhid”.
  • Nada: Liris dan penuh kepasrahan, namun juga diselingi dengan semangat dan keyakinan.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual dan emosional yang menggambarkan hubungan manusia dan Tuhan secara simbolik:
  • “Aku sujud di bawah duli kaki-Mu” – imaji tentang tunduk total.
  • “Langit gelap berangsur terang” – gambaran pertolongan dan harapan yang datang dari Tuhan.
  • “Debu yang hinggap akan kugosok” – simbol usaha membersihkan diri dari dosa.
  • “Layang kencana kudapat di malam sepi” – imaji anugerah batin dalam keheningan.

Majas

Metafora:
  • “Aku lenyap dalam ‘tiada’” menggambarkan hancurnya ego di hadapan Tuhan.
  • “Debu yang hinggap” mewakili dosa dan kelalaian.
Personifikasi:
  • “Langit harapan melengkung hitam” menggambarkan suasana batin yang gelap gulita.
  • “Daun-daunan melambai perak” memberi nyawa pada benda mati.
Apostrof (penghadapan langsung kepada Tuhan):
  • Hampir seluruh puisi adalah bentuk seruan langsung, seperti “Ya Tuhanku”, “Rabbi”, “Khalik”, sebagai bentuk doa dan dialog batin.
Puisi “Di Bawah Kaki Kebesaran-Mu” adalah nyanyian jiwa yang penuh kesadaran spiritual, sebuah ziarah batin yang tidak hanya memperlihatkan puji-pujian, tapi juga pergulatan batin, rindu akan kedekatan ilahi, dan keinginan untuk kembali kepada Sang Pemilik Hidup dalam keadaan suci dan ikhlas.

Dengan bahasa yang puitis dan kontemplatif, Aoh K. Hadimadja menawarkan sebuah puisi-doa yang tidak hanya menggugah hati, tetapi juga mengingatkan bahwa dalam sunyi dan letih dunia, ada cahaya ilahi yang senantiasa terbuka untuk yang bersujud dan berserah.

Aoh K. Hadimadja
Puisi: Di Bawah Kaki Kebesaran-Mu
Karya: Aoh K. Hadimadja
    Biodata Aoh K. Hadimadja:
    • Nama Aoh Karta Hadimadja.
    • Edjaan Tempo Doeloe: Aoh K. Hadimadja.
    • Ejaan yang Disempurnakan: Aoh K. Hadimaja.
    • Aoh K. Hadimadja lahir di Bandung tanggal 15 September 1911.
    • Aoh K. Hadimadja meninggal dunia tanggal 17 Maret 1973.
    © Sepenuhnya. All rights reserved.