Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Rumah Sakit (Karya Budiman S. Hartoyo)

Puisi “Di Rumah Sakit” karya Budiman S. Hartoyo bercerita tentang seorang pasien yang berada di rumah sakit, sedang menunggu sesuatu—mungkin ...
Di Rumah Sakit

Masuklah, hai kau yang di luar
yang melongokkan wajah di ambang pintu
kamarku
Masuklah
aku sudah siap
Keraguan hanya membekukan waktu saja

Begitulah kataku
setelah aku sendiri termangu
dalam ragu
beberapa detik
Bergalut dengan waktu
membunuh waktu

Engkaukah itu yang membawa air kehidupan
engkaukah itu penyambung nafas
dan detak jantungku?

(Bukan
aku hanyalah penyambung aliran darahmu
Sekedar menggerakkan sel-sel hidup
dalam tubuhmu)

Aku menanti
tiada lagi janji

(Tiadakah lagi janji?)

1969

Sumber: Sebelum Tidur (1977)

Analisis Puisi:

Puisi “Di Rumah Sakit” karya Budiman S. Hartoyo adalah cerminan jujur dan menggetarkan tentang perenungan eksistensial manusia dalam menghadapi detik-detik kritis kehidupan. Puisi ini menggambarkan suasana kamar rumah sakit bukan sekadar sebagai ruang fisik, tetapi juga sebagai medan perenungan mendalam antara hidup, harapan, dan kemungkinan kehilangan.

Puisi ini bercerita tentang seorang pasien yang berada di rumah sakit, sedang menunggu sesuatu—mungkin dokter, mungkin kematian, mungkin harapan terakhir. Narasi puisi mengalir dari ajakan kepada “kau yang di luar” untuk masuk, menuju pengakuan tentang keraguan dan perenungan waktu, hingga dialog penuh teka-teki antara pasien dan sosok yang datang. Ada ketegangan antara penantian dan kenyataan, antara harapan untuk diselamatkan dan kesadaran akan kemungkinan tidak ada lagi janji yang bisa ditepati.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kerentanan manusia di hadapan waktu dan kematian. Dalam tema ini terkandung juga subtema seperti:
  • Penantian dan harapan akan kesembuhan
  • Keraguan terhadap janji dan harapan
  • Eksistensi manusia di ujung batas fisik dan spiritual
Puisi ini tidak melulu bicara tentang penyakit secara klinis, tetapi menyentuh inti kehidupan: apa arti menunggu, siapa yang menyelamatkan, dan apa makna "janji" saat tubuh hampir tak lagi mampu bertahan.

Makna Tersirat

Makna tersirat yang kuat dalam puisi ini adalah: dalam situasi paling sepi dan lemah, manusia akan berhadapan langsung dengan kebenaran hidup: bahwa waktu tak bisa diputar, dan harapan bisa mengecil menjadi hanya satu tarikan nafas terakhir.

Baris seperti:

“Aku menanti / tiada lagi janji”

bisa dimaknai sebagai refleksi bahwa dalam titik nadir kehidupan, kita tak bisa menggantungkan diri pada janji atau masa depan, karena yang nyata hanyalah saat ini—penantian yang sunyi dan keputusan akhir dari Sang Waktu atau Takdir.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini sangat hening, suram, kontemplatif, dan menegangkan. Ruang rumah sakit digambarkan bukan dengan hiruk-pikuk medis, melainkan sebagai ruang batin tempat seseorang menyelami batas antara harapan dan akhir. Sunyi bukan hanya berasal dari sepi ruangan, tapi dari jeda dalam hati dan pikiran tokoh lirik saat menghadapi sosok “kau yang di luar” yang bisa jadi siapa saja: dokter, perawat, kekasih, kematian, bahkan Tuhan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan atau amanat yang bisa ditangkap dari puisi ini antara lain:
  • Waktu dan hidup tak selalu memberi kesempatan kedua.
  • Dalam momen paling sepi, manusia harus siap menerima segala kemungkinan—bahkan kemungkinan kehilangan.
  • Keraguan hanya akan memperlambat kita menghadapi kenyataan, dan kadang keteguhan justru dibutuhkan di tengah ketidakpastian.
Ada pesan halus juga tentang kejujuran dan kerelaan untuk menghadapi kenyataan, apa pun bentuknya.

Imaji

Meskipun tidak mencolok dengan deskripsi visual yang kompleks, puisi ini tetap kaya dengan imaji suasana dan imaji batin, seperti:
  • Imaji visual: “wajah di ambang pintu”, “kamarku”, “bergulat dengan waktu”
  • Imaji emosional: “termangu dalam ragu”, “menanti, tiada lagi janji”
  • Imaji konflik spiritual: “engkaukah itu yang membawa air kehidupan”
Imaji-imaji ini tidak sekadar menggambarkan objek, melainkan membangun lanskap psikologis dan emosional yang sangat mendalam.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi: “Keraguan hanya membekukan waktu saja” — ragu digambarkan sebagai kekuatan yang bisa ‘membekukan’ waktu.
  • Metafora: “air kehidupan”, “penyambung nafas dan detak jantung” — digunakan untuk menggambarkan harapan, penyelamatan, atau mungkin harapan akan kehadiran sosok penyelamat.
  • Antitesis dan paradoks: “Aku menanti / tiada lagi janji” — menunjukkan ketegangan antara harapan dan nihilisme.
  • Dialog internal (dramatisasi): Puisi ini memakai teknik dramatik dengan menyisipkan percakapan dalam tanda kurung, memperkuat kesan bahwa sang tokoh utama berada dalam perbincangan batin yang intens.
Puisi “Di Rumah Sakit” karya Budiman S. Hartoyo adalah puisi yang tenang, pendek, tetapi sarat makna. Ia menggambarkan secara puitik momen universal yang akan dialami setiap manusia: momen kesunyian menjelang akhir, saat hidup bergantung pada napas, sel, dan doa terakhir. Di tengah harapan yang tak lagi kuat dan janji yang mungkin telah habis, hanya ada keberanian untuk menerima dan membuka pintu bagi siapa pun—penyembuh atau penjemput.

Puisi ini menjadi semacam renungan spiritual tentang hidup, kematian, dan keberanian untuk menyambut siapa pun yang akan datang… termasuk yang tak bisa kita tolak.

Puisi Budiman S. Hartoyo
Puisi: Di Rumah Sakit
Karya: Budiman S. Hartoyo

Biodata Budiman S. Hartoyo:
  • Budiman S. Hartoyo lahir pada tanggal 5 Desember 1938 di Solo.
  • Budiman S. Hartoyo meninggal dunia pada tanggal 11 Maret 2010.
  • Budiman S. Hartoyo adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.