Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Terminal Landungsari (Karya Aslan Abidin)

Puisi "Di Terminal Landungsari" karya Aslan Abidin bercerita tentang seseorang yang menunggu janji pertemuan di Terminal Landungsari, sebuah tempat ..
Di Terminal Landungsari
- kepada Pikong

"kujemput kau di terminal landungsari. aku
datang dengan t-shirt hitam bertuliskan namamu," janjimu
di telepon. tapi di terminal landungsari semua orang
bergegas. seperti keberangkatan atau kepulangan yang
tak pernah jelas.

kau jemput di mana aku di
antara debu dan deru bis yang bising begini?
kau jemput di mana aku di
antara suara tuter dan jerit kondektur yang pekak begini?

semua orang menulis namanya sendiri di bajunya. tak kutemukan
namaku. juga di dinding wc yang penuh coretan, tak satupun
tertulis namaku.

tapi namamu, hanya namamu dapat kutangkap, dalam tulisan
tanganmu yang kukenal: "pikong pernah ke sini. dengan
t-shirt kuning bertuliskan: pikong!"

Malang, 1997

Sumber: Horison (Agustus, 2000)

Analisis Puisi:

Puisi "Di Terminal Landungsari" karya Aslan Abidin adalah potret puitik tentang kerinduan, pencarian identitas, dan absurditas ruang pertemuan. Terminal—yang biasa dipahami sebagai tempat perpisahan atau pertemuan—dijadikan metafora ruang hampa, di mana janji, harapan, dan kehadiran menjadi sesuatu yang kabur dan tak selalu terpenuhi.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pencarian identitas dan kehadiran dalam ruang publik yang bising dan asing. Puisi ini menggambarkan pengalaman personal yang dibenturkan dengan realitas sosial yang kacau dan impersonal.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang menunggu janji pertemuan di Terminal Landungsari, sebuah tempat transit yang padat dan bising. Sang tokoh lirik berharap menemukan seseorang yang telah berjanji datang dengan ciri khas tertentu. Namun, dalam keramaian terminal, semua tanda menjadi kabur: suara terlalu bising, orang-orang terlalu banyak, dan nama yang dinantikan tak juga terlihat.

Penantian itu menjadi semacam pengalaman eksistensial—bukan hanya menanti sosok tertentu, tapi juga mencari diri sendiri yang barangkali hilang dalam hiruk-pikuk sosial dan keramaian kota.

Makna Tersirat

Makna tersirat puisi ini sangat dalam dan bersifat reflektif:
  • Identitas bisa hilang atau larut dalam keramaian sosial. Tokoh lirik tidak menemukan namanya di kaus orang-orang, bahkan tidak juga di dinding WC—tempat yang biasanya dipenuhi coretan-coretan spontan sebagai jejak eksistensi.
  • Janji dan harapan sering kali berakhir pada kekaburan. Terminal menjadi metafora tentang ruang-ruang dalam hidup di mana kita berharap sesuatu terjadi, namun justru dihadapkan pada kekacauan atau kehampaan.
  • Satu-satunya yang nyata adalah kenangan. Nama "Pikong" tertulis dengan tangan yang dikenal tokoh lirik—itulah jejak personal yang masih bisa dikenali.

Suasana dalam Puisi

Puisi ini menciptakan suasana yang kacau, bising, dan absurd, bercampur dengan perasaan sepi dan kehilangan arah. Meski berada di tempat ramai, tokoh lirik justru merasa sendiri dan tersesat dalam pencarian akan sesuatu (atau seseorang) yang tak kunjung jelas.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa:
  • Di tengah dunia yang ramai dan penuh tanda, kita bisa tetap kehilangan arah atau makna.
  • Identitas bukan hanya soal nama, tetapi juga soal kehadiran dan keterhubungan personal.
  • Kadang yang paling berarti hanyalah hal sederhana: kenangan, tulisan tangan, atau secuil jejak yang benar-benar kita kenali.

Imaji

Puisi ini menyajikan banyak imaji visual dan auditori yang kuat:
  • Imaji visual: “t-shirt hitam bertuliskan namamu”, “dinding wc yang penuh coretan”, “t-shirt kuning bertuliskan: pikong” — semua menggambarkan jejak visual yang dicari atau dikenali.
  • Imaji auditori: “deru bis”, “suara tuter”, “jerit kondektur” — mempertegas suasana bising dan kehilangan fokus dalam ruang sosial.
Imaji-imaji ini menyusun atmosfer keramaian yang kontras dengan kesendirian tokoh lirik.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini:
  • Personifikasi: Terminal dipersonifikasikan sebagai ruang hidup yang "tidak memberi jawaban".
  • Metafora: Terminal adalah metafora dari hidup atau ruang sosial yang kacau dan penuh tanda yang menyesatkan.
  • Repetisi: Kata “kau jemput di mana aku di...” diulang sebagai bentuk keresahan dan ketidakpastian tokoh lirik dalam pencariannya.
  • Ironi: Semua orang memakai baju bertuliskan namanya sendiri, tetapi tokoh lirik tidak menemukan namanya—sebuah ironi tentang kehilangan jati diri di tengah masyarakat yang pamer identitas.
Puisi "Di Terminal Landungsari" karya Aslan Abidin adalah refleksi puitis atas relasi manusia dengan ruang sosial modern yang riuh, namun bisa sangat asing. Lewat simbol terminal dan pencarian nama, penyair menunjukkan bagaimana kita bisa merasa kehilangan atau tak hadir bahkan di tengah keramaian. Nama "Pikong" mungkin hanya satu jejak kecil, namun justru itulah titik temu paling nyata antara pribadi dan kenangan.

Yudhistira A.N.M. Massardi dan Aslan Abidin
Puisi: Di Terminal Landungsari
Karya: Aslan Abidin

Biodata Aslan Abidin:
  • Aslan Abidin lahir pada tanggal 31 Mei 1972 di Kabupaten Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan.
© Sepenuhnya. All rights reserved.