Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Doa di Dalam Duka (Karya Fridolin Ukur)

Puisi "Doa di Dalam Duka" karya Fridolin Ukur bercerita tentang perenungan terhadap kisah sengsara Yesus—mulai dari peristiwa di Taman Getsemani, ...
Doa di Dalam Duka
Menjelang Jumat Agung

Bila kami menatap cuplikan peristiwa
Kisah duka di taman Gethsemane;
Bila kami ulang kembali tutur cerita
pengadilan beruntun atas diri sang rabi,
lalu kembali ke tayangan buatan manusia,
tentang jalan nista di puncak Golgotha,

buatkan kami tambah mengerti
makna kurban sang Anak Domba,
jadikan kami tambah memahami
derita sengsara Putera sang Bapa!

Agar salib kami pikul tanpa duka
taat setia melangkah ke depan
menyongsong hari nanti
bersama kebangkitan Tuhan
MARANATHA!

Jakarta, 13 April 1995

Analisis Puisi:

Puisi "Doa di Dalam Duka" karya Fridolin Ukur adalah sebuah ungkapan batin yang mendalam dan kontemplatif, yang lahir dari permenungan akan kisah penderitaan Yesus Kristus menjelang Jumat Agung. Dengan struktur puisi yang terdiri dari tiga bait—bait pertama enam baris, bait kedua empat baris, dan bait terakhir lima baris—puisi ini tidak terikat pada pola rima tertentu. Ketidakteraturan ini justru memperkuat kesan spontan dan tulus dari doa yang dipanjatkan dalam duka dan iman.

Tema

Tema utama puisi ini adalah penderitaan dan pengorbanan Kristus, serta harapan akan kebangkitan. Puisi ini menjadi semacam doa yang lahir dari hati yang ingin lebih dalam memahami makna derita Yesus, sekaligus memohon kekuatan untuk memikul salib hidup sendiri dengan iman yang teguh.

Puisi ini bercerita tentang perenungan terhadap kisah sengsara Yesus—mulai dari peristiwa di Taman Getsemani, pengadilan yang tidak adil, hingga penyaliban di Bukit Golgota. Penyair tidak sekadar menceritakan ulang peristiwa, melainkan menggunakannya sebagai dasar untuk memanjatkan doa: agar umat dapat memahami penderitaan itu, dan menghayati salib kehidupan masing-masing dengan lebih tabah dan penuh iman.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah bahwa penderitaan bukanlah sesuatu yang sia-sia, melainkan bagian dari rencana ilahi yang mendewasakan iman. Kisah sengsara Kristus bukan sekadar kenangan liturgis, melainkan cermin bagi setiap manusia dalam menghadapi kesulitan hidup. Penyair menyiratkan bahwa melalui penderitaan Kristus, umat belajar untuk memikul salib masing-masing dengan harapan akan kebangkitan.

Unsur Puisi

Beberapa unsur puisi yang tampak dalam karya ini antara lain:
  • Diksi religius: Kata-kata seperti Gethsemane, Golgotha, Anak Domba, Putera sang Bapa, dan Maranatha memperkuat nuansa spiritual dan liturgis puisi.
  • Nada doa: Seluruh puisi memiliki bentuk seperti doa, dengan ungkapan permohonan yang tulus dan rendah hati.
  • Struktur bait: Meskipun tidak berima, setiap bait mengalir logis dari perenungan, permohonan, hingga harapan.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah duka yang hening dan mendalam, namun tidak putus asa. Duka tersebut bukan keluhan, melainkan bentuk permenungan yang jernih, penuh penghormatan, dan menyimpan harapan akan kemenangan dan kebangkitan.

Imaji

Puisi ini menghadirkan imaji visual yang kuat, terutama dalam bait pertama: "Kisah duka di taman Gethsemane", "jalan nista di puncak Golgotha". Pembaca diajak membayangkan adegan-adegan penting dalam kisah sengsara Kristus, seperti sebuah film dokumenter spiritual yang menggerakkan perasaan.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini meliputi:
  • Alusi: Merujuk pada peristiwa dalam Alkitab seperti Getsemani dan Golgota.
  • Metafora: "salib kami pikul tanpa duka" adalah metafora untuk beban hidup dan penderitaan yang dijalani dengan iman.
  • Personifikasi: Dalam frasa "tayangan buatan manusia", penderitaan Kristus digambarkan seolah bisa ditayangkan ulang, menjadikannya lebih dekat dengan konteks kekinian dan media modern.

Amanat

Amanat dari puisi ini adalah ajakan kepada umat beriman untuk tidak hanya mengenang kisah sengsara Yesus secara ritualistik, tetapi memahaminya sebagai kekuatan untuk menjalani hidup dengan pengorbanan, kesetiaan, dan pengharapan. Melalui penderitaan Kristus, kita diajak untuk hidup lebih sabar, kuat, dan setia hingga hari kebangkitan tiba.

Puisi "Doa di Dalam Duka" bukan hanya sebuah puisi liturgis, tetapi juga permenungan spiritual yang mengajak pembaca mendekat pada makna terdalam dari pengorbanan ilahi. Dengan bahasa yang sederhana namun penuh makna, Fridolin Ukur berhasil menggambarkan relasi antara penderitaan manusia dan pengharapan dalam iman Kristen.

Fridolin Ukur
Puisi: Doa di Dalam Duka
Karya: Fridolin Ukur

Biodata Fridolin Ukur:
  • Fridolin Ukur lahir di Tamiang Layang, Kalimantan Tengah, pada tanggal 5 April 1930.
  • Fridolin Ukur meninggal di Jakarta, pada tanggal 26 Juni 2003 (pada umur 73 tahun).
© Sepenuhnya. All rights reserved.