Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Fragmen Hujan Siang (Karya Diah Hadaning)

Puisi “Fragmen Hujan Siang” karya Diah Hadaning bercerita tentang fragmen kehidupan kota saat hujan turun di siang hari—sebuah waktu yang jarang ...
Fragmen Hujan Siang

Tiada tersisa lagi di balik lembar kelabu
langit ditinggalkan serat-serat cahaya
luruh bersama hujan sesiang
dan orang-orang petualang
menyusuri kota lewat gang-gang
terlalu banyak yang harus diburu
dalam kehidupan ini
hujan siang tak menghalangi
telah basah pepohonan di halaman
bunga-bunga menggigil
berita kota terus bertemperasan di layar kaca
mengabarkan perempuan-perempuan korban peradaban
dan sebuah kesadaran yang terlambat
tentang pentingnya kawasan hijau 
diselamatkan dari kerakusan manusia
pasti kita tengah merasa kehilangan
ada yang lenyap terampas dari kenangan
langkah-langkah masa muda
yang menyimpan getar dunia.

Bogor, Februari 1996

Analisis Puisi:

Puisi “Fragmen Hujan Siang” karya Diah Hadaning adalah potret reflektif tentang peradaban yang bergerak cepat, lingkungan yang terkikis, dan manusia yang berjalan tergesa di tengah hujan, sambil kehilangan makna dari apa yang ditinggalkan. Melalui citraan yang kuat dan pengamatan sosial yang tajam, puisi ini membuka ruang kontemplatif tentang hubungan antara manusia, alam, dan waktu.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah keresahan terhadap kehidupan modern yang penuh kesibukan dan ketergesaan, dengan latar kontras berupa hujan siang yang justru menjadi penanda melankolia dan keheningan batin. Tema tambahan yang kuat ialah kerusakan lingkungan dan korban peradaban, terutama pada perempuan, yang menjadi simbol dari nilai-nilai yang sering diabaikan oleh masyarakat.

Makna Tersirat

Di balik baris-barisnya, puisi ini menyimpan makna tersirat tentang kehilangan esensial—baik secara ekologis maupun manusiawi. Hujan siang di sini bukan sekadar fenomena alam, melainkan simbol dari hal-hal yang jatuh dan hilang diam-diam: kepekaan, masa muda, kesadaran ekologis, dan nilai kemanusiaan.

Frasa seperti “kesadaran yang terlambat tentang pentingnya kawasan hijau” menyiratkan bahwa manusia terlalu sibuk mengejar kehidupan hingga lupa menjaga tempat berpijak. Demikian pula, “perempuan-perempuan korban peradaban” menyuarakan suara yang kerap terbungkam dalam modernitas yang patriarkis dan eksploitatif.

Puisi ini bercerita tentang fragmen kehidupan kota saat hujan turun di siang hari—sebuah waktu yang jarang dikaitkan dengan hujan, membuat suasananya terasa ganjil namun menyentuh. Dalam hujan itu, orang-orang tetap berjalan, mengejar tujuan yang entah apa, sementara alam menangis dan berita di televisi memperlihatkan kepiluan yang nyata. Hujan menjadi latar perenungan atas kehidupan yang serba cepat dan manusia yang perlahan menjauh dari harmoni.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah melankolis dan reflektif, dengan sentuhan getir yang perlahan tumbuh menjadi keresahan. Suasana ini dibangun melalui gambaran langit kelabu, hujan yang jatuh perlahan, pepohonan basah, dan bunga-bunga yang menggigil. Semua elemen tersebut bukan hanya menggambarkan suasana fisik, tetapi juga suasana batin dari si penutur—sunyi, peka, dan penuh rasa kehilangan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini mengajak pembaca untuk:
  • Merenungkan dampak dari gaya hidup modern yang tergesa, yang membuat manusia lupa pada lingkungan dan nilai-nilai dasar.
  • Membangun kesadaran ekologis, agar kawasan hijau dan sumber daya alam tidak terus dirusak oleh kerakusan manusia.
  • Peka terhadap ketidakadilan sosial, terutama terhadap perempuan yang sering menjadi korban sistem yang tidak adil.
  • Mengenang masa muda dengan bijak, karena jejaknya menyimpan getar-getar yang penting untuk tidak dilupakan.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan suasana, antara lain:
  • “langit ditinggalkan serat-serat cahaya” → gambaran visual yang puitis tentang langit mendung di tengah hujan.
  • “bunga-bunga menggigil” → imaji yang memberi kesan kelembutan dan kesedihan pada makhluk hidup kecil.
  • “berita kota terus bertemperasan di layar kaca” → menggambarkan dunia yang terus bergerak, tanpa jeda.
  • “langkah-langkah masa muda yang menyimpan getar dunia” → sebuah imaji memori yang dalam, tentang masa lalu yang bermakna.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini:
  • Metafora: “serat-serat cahaya” → cahaya digambarkan seperti benang, memperindah langit; “berita kota terus bertemperasan” → berita di televisi digambarkan seperti hujan yang menetes deras, memperkuat kesan kekacauan.
  • Personifikasi: “bunga-bunga menggigil” → bunga diberi sifat manusia, menggigil karena dingin atau takut; “rahim ibunya menangis” (jika merujuk puisi sebelumnya, namun semangat personifikatif serupa ada di sini).
  • Sinekdoke pars pro toto: “orang-orang petualang menyusuri kota lewat gang-gang” → menggambarkan manusia urban sebagai pelintas tanpa arah pasti.
  • Antitesis: Hujan yang biasanya membawa kesegaran, di sini menjadi simbol kegetiran dan kehilangan, membalik makna umumnya.
Puisi “Fragmen Hujan Siang” bukan sekadar puisi tentang hujan, melainkan renungan mendalam tentang kehilangan nilai dalam kehidupan modern. Ia menyorot sisi-sisi yang sering dilupakan: pepohonan, bunga, perempuan, masa muda, dan kawasan hijau. Semuanya hadir dalam bayangan kelabu yang jatuh bersama hujan siang, menjadi saksi atas dunia yang terlalu sibuk berlari hingga lupa melihat ke belakang.

Dengan gaya bahasa yang sederhana namun penuh simbol, Diah Hadaning menghadirkan puisi yang kuat secara sosial maupun emosional. Sebuah fragmen, memang, tetapi fragmen yang mengandung gema panjang dalam kesadaran kita.

"Puisi: Fragmen Hujan Siang (Karya Diah Hadaning)"
Puisi: Fragmen Hujan Siang
Karya: Diah Hadaning
© Sepenuhnya. All rights reserved.