Hymne
Maha Besar Kau
Tuhanku. Pemilik segala yang tak kekal
Juga diriku
Ketika malam tiba
Bawa sepi padaku. Risalah-Mu pun
Naik ke langit setelah menari
Dalam angin semakin jauh
Kurangkul dosa di sisi-Mu. Tahu
Cinta bagi-Mu ialah kesadaran
Padaku masih ada
Sisa keberanian seperti baris-baris puisi
Ayat-ayat-Mu yang teguh dan lelaki. Dan aku
senantiasa bersama-Mu
Dalam sejumlah nama yang baik
Dan terpuji
Maha Besar Kau
Tuhanku. Pemilik segala yang besar
Juga diriku
Jika Ia bacakan sajak
Sewaktu Roma terbakar, maka
Dalam ayat-ayatmu yang telah jadi abu
Di sini, aku jadi penyair
Negeri sesungguhnya. Dan nanti
Pada saatnya tiba pasti akan kejadian begini:
Kuucapkan salam paling tulus, dan kukembalikan
Segalanya pada-Mu, pada suatu malam
Larut dan sepi
Ketika aku sendiri bangkit pelan-pelan
Tuangkan segelas anggur, dan
Sebuah taman bunga kecil kuserahkan
Padanya
1969
Sumber: Horison (April, 1970)
Analisis Puisi:
Puisi “Hymne” karya Darius Umari adalah puisi kontemplatif dan religius yang memadukan spiritualitas dengan kesadaran manusiawi. Puisi ini menjadi semacam doa liris, dialog lirih antara manusia dan Tuhan yang disampaikan lewat metafora, gambaran yang tenang namun dalam, serta perenungan yang intim. Ia menyampaikan pujian, pengakuan, serta penyerahan diri secara penuh dari seorang penyair kepada Tuhannya.
Tema
Puisi ini memiliki tema utama tentang pengakuan spiritual dan pengabdian kepada Tuhan. Dalam bingkai relasi vertikal antara manusia dan Sang Khalik, penyair mengekspresikan kesadarannya akan kefanaan, dosa, cinta, keberanian, dan penyerahan. Semua itu dituliskan dengan gaya bahasa puitik yang khas dan reflektif.
Subtema lainnya:
- Kontemplasi eksistensial
- Hubungan personal dengan Tuhan
- Ketulusan dalam puji dan kembali
- Simbolisme iman dan seni
Puisi ini bercerita tentang seorang manusia yang memuji kebesaran Tuhan, menyadari kefanaan dirinya, dan kemudian mempersembahkan seluruh kehidupannya, termasuk karya dan cintanya, kepada Sang Pemilik Kehidupan. Di tengah malam yang sepi, saat risalah-Nya "menari dalam angin", penyair menginsafi dosanya, menyadari makna cinta yang sejati sebagai kesadaran, dan menyatakan bahwa keberanian, puisi, dan dirinya sendiri tak lebih dari bagian kecil dari kekuasaan Tuhan.
Baris-baris akhir menyiratkan momen puncak spiritualitas: penyerahan total, ketika segalanya dikembalikan kepada Tuhan secara hening, sederhana, dan intim—lewat salam, segelas anggur, dan taman bunga kecil. Di sinilah puisinya menjadi hymne sejati—pujian yang dalam namun lirih.
Makna Tersirat
Secara tersirat, puisi ini menyampaikan beberapa makna berikut:
- Keberanian terbesar bukan terletak pada tindakan heroik, tetapi pada kesediaan mengakui kelemahan dan kembali kepada Tuhan.
- Kecintaan kepada Tuhan bukanlah sebatas ucapan atau ritual, tetapi kesadaran spiritual yang datang dari refleksi mendalam, terutama dalam keheningan dan kesendirian.
- Seni (termasuk puisi) dan pengabdian spiritual dapat bersatu, menjadi jalan menuju pemaknaan hidup yang sejati.
- Ketika dunia terbakar seperti "Roma terbakar" (mungkin simbol kehancuran moral atau sosial), penyair tetap mencari makna dalam ayat dan puisi, dan justru dari puing-puing itulah muncul keikhlasan tertinggi.
Suasana dalam Puisi
Puisi ini dibalut dengan suasana hening, khusyuk, penuh kesadaran batin, dan sekaligus intim. Ia mengalun dalam ketenangan malam, dalam kesendirian yang tidak sunyi tetapi penuh makna. Tidak ada gegap gempita, tidak ada tangis keras, tetapi ada keteguhan hati, seperti seseorang yang perlahan menyerahkan seluruh hidupnya tanpa pamrih.
Amanat / Pesan
Beberapa pesan utama dari puisi ini meliputi:
- Kita, sebagai manusia, harus menyadari kefanaan dan keterbatasan kita, lalu kembali kepada Tuhan dalam kesadaran dan kerendahan hati.
- Keberanian spiritual sejati adalah kemampuan menerima diri dengan segala dosa dan kekurangan, lalu tetap menghadap kepada-Nya dengan hati terbuka.
- Seni dan puisi dapat menjadi jalan ibadah, media spiritual, dan sarana penyerahan diri.
- Dalam dunia yang rapuh, penting bagi manusia untuk tetap memiliki pusat spiritual yang tak tergoyahkan—yaitu Tuhan.
Imaji
Puisi ini menyajikan imaji-imaji puitik dan spiritual yang mengundang perenungan, antara lain:
- “Ketika malam tiba / bawa sepi padaku” – imaji malam yang hening menjadi ruang batin untuk merenung.
- “Risalah-Mu pun naik ke langit setelah menari / dalam angin” – gambaran risalah Tuhan sebagai sesuatu yang hidup, bergerak, dan suci.
- “Padaku masih ada sisa keberanian seperti baris-baris puisi” – puisi sebagai lambang keberanian spiritual.
- “Ketika aku sendiri bangkit pelan-pelan / tuangkan segelas anggur, dan sebuah taman bunga kecil kuserahkan padanya” – momen sangat visual, simbolik, dan lembut dari pengakhiran yang penuh keikhlasan.
Majas
Beberapa majas (gaya bahasa) yang dominan dalam puisi ini:
Metafora:
- “Risalah-Mu... menari dalam angin” – menggambarkan wahyu atau pesan Tuhan dengan metafora lembut dan puitik.
- “Ayat-ayat-Mu yang teguh dan lelaki” – menyamakan kekuatan firman Tuhan dengan sifat maskulin, memberi kesan kokoh dan pasti.
Personifikasi:
- “Risalah-Mu menari”, “ayat-ayat-Mu... jadi abu” – ayat dan firman diberi sifat manusiawi yang hidup dan mengalami kehancuran.
Simbolisme:
- “Segelas anggur” – bisa dimaknai sebagai simbol keheningan, kenikmatan batin, atau perayaan kecil yang sakral.
- “Taman bunga kecil” – bisa menjadi simbol kedamaian, penghormatan, atau persembahan terakhir.
Anafora dan repetisi:
- Repetisi frasa “Maha Besar Kau, Tuhanku” menguatkan kesan liturgis, mengingatkan pada struktur hymne atau doa.
Puisi "Hymne" karya Darius Umari adalah sebuah puisi spiritual yang mengekspresikan perpaduan antara kekhusyukan religius dan keindahan artistik. Ia tidak hanya memuliakan Tuhan, tetapi juga menggambarkan perjalanan jiwa yang penuh keraguan, dosa, keberanian, dan akhirnya penyerahan. Dalam bait-baitnya, tersimpan rasa tulus, tidak meledak-ledak, tetapi justru mengendap dan menyentuh. Puisi ini adalah refleksi seorang penyair tentang iman, keberanian, dan seni sebagai jalan pulang kepada-Nya.