Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Jangan (Karya Slamet Sukirnanto)

Puisi “Jangan” karya Slamet Sukirnanto bercerita tentang keresahan penyair terhadap tindakan simbolis melepas burung di tengah kota yang sudah ...
Jangan

Atas nama apa saja. Jangan melepas burung-burung
di Jakarta. Jangan melepas burung-burung di angkasa
Jangan! Janganlah nyawa satwa ditebar di udara
Yang gelap. Abu-abu. Wajah muram kotamu

Sudah lama. Betapa sulit menanti langit terang bercahaya
Ruang bersih dan tanpa debu. Tapi asap itu
Melengkapi neraka metropolitan ini. Menjauhkan
semua yang asri. Taman bukan lagi taman

Pohon bukan lagi pohon. Bunga bukan lagi bunga
Juga manusia penghuni setia. Sudah lama tanpa langit biru
Udara kotor. Tanpa warna-warni awannya. Matahari merah jingga
Tak lagi menghiasi panorama. Di bawah derasnya lalu lintas

Kemacetan yang membangkitkan hati sumpek! Langit itu juga
Yang biasa memberi hiburan barang sejenak. Terhenyak
Ketika tubuh ini loyo. Dan HP berdering terus. Pesan dan Bos
Pesan dari istri di rumah. Pesan mesra dari pacar simpanan

Atas nama siapa saja. Welas asih dan cinta satwa. Jangan —
Jangan melepas burung-burung di Jakarta. Jangan, Jangan
Kalau engkau tega. Kalau engkau tidak mau melihat di atas sana
Tubuh-tubuh berjatuhan. Tubuh-tubuh bergelimpangan

Memasuki rimba segala rimba.
Belantara Dan semak berduri kota. Keganasan dan kelewang menghadang
Bergumul manusia dan satwa. Atau Sahara jiwa
Mondar-mandir manusia batu!

Jakarta 15-16 November 1997

Sumber: Gergaji (2001)

Analisis Puisi:

Puisi “Jangan” karya Slamet Sukirnanto merupakan jeritan lirih sekaligus protes puitik atas kerusakan lingkungan hidup dan kekacauan batin manusia modern. Ditulis dalam bentuk enam bait, masing-masing berisi empat baris dengan pola rima akhir yang bervariasi, puisi ini menyampaikan keresahan ekologis dan spiritual secara tegas dan puitis.

📌 Tema

Tema utama puisi ini adalah kerusakan lingkungan kota dan kekacauan hidup modern, khususnya dalam konteks kota besar seperti Jakarta. Puisi ini menyuarakan penolakan terhadap simbolisasi semu atas kebebasan atau cinta, yang dilakukan dengan cara yang justru merusak dan mengorbankan makhluk hidup.

📌 Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah bahwa perbuatan simbolis yang terlihat mulia, seperti melepas burung ke udara, bisa menjadi ironi tragis ketika dilakukan di ruang yang tak layak huni. Tindakan itu menjadi semacam pengkhianatan terhadap kehidupan, karena burung-burung yang dilepaskan tidak disambut langit yang cerah, melainkan kabut asap, kabel listrik, dan langit muram.

Lebih jauh, puisi ini juga merupakan kritik sosial terhadap kehidupan manusia modern yang sesak oleh polusi, kesibukan, kemacetan, serta kehilangan nilai dan spiritualitas. Kota digambarkan sebagai rimba beton, tempat manusia dan satwa sama-sama terasing dan terancam.

Puisi ini bercerita tentang keresahan penyair terhadap tindakan simbolis melepas burung di tengah kota yang sudah tidak lagi ramah terhadap kehidupan, baik manusia maupun satwa. Burung-burung, simbol kebebasan, justru dilempar ke neraka kota. Ini menjadi refleksi atas kehidupan urban yang penuh ilusi, kebisingan, dan kerusakan.

📌 Suasana dalam Puisi

Suasana yang ditampilkan dalam puisi ini adalah suram, sesak, muram, dan penuh kegelisahan. Kota digambarkan tanpa langit biru, tanpa taman, tanpa bunga, dan tanpa keindahan. Semua serba penuh polusi, penuh kemacetan, dan penuh kekacauan batin.

📌 Amanat / Pesan

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa perlu kepekaan dalam bersikap terhadap lingkungan dan makna tindakan simbolis. Melepas burung di kota tidak serta merta menunjukkan cinta terhadap satwa, karena tanpa habitat yang layak, kebebasan itu adalah kematian. Lebih luas lagi, puisi ini mengingatkan kita bahwa kota yang kehilangan keseimbangan alam juga merusak kemanusiaan warganya.

📌 Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan suasana yang kuat:
  • “Langit gelap. Abu-abu. Wajah muram kotamu” → menghadirkan imaji kota yang menekan.
  • “Tubuh-tubuh berjatuhan”, “belantara dan semak berduri kota”, “kemacetan”, “asap” → menggambarkan kota sebagai neraka dan rimba yang mematikan.
  • “Pesan dari istri di rumah. Pesan mesra dari pacar simpanan” → memperlihatkan kehidupan manusia yang absurd, kacau, dan penuh konflik batin.

📌 Majas

Puisi ini menggunakan berbagai gaya bahasa:
  • Repetisi: “Jangan! Jangan!” → memperkuat nada larangan dan penekanan emosional.
  • Metafora: “Sahara jiwa”, “manusia batu” → menggambarkan kekeringan spiritual dan kekakuan batin manusia urban.
  • Personifikasi: “Langit itu juga / yang biasa memberi hiburan barang sejenak” → langit diperlakukan sebagai sahabat manusia yang kini hilang.
  • Paradoks/Ironi: tindakan melepas burung yang dianggap welas asih justru berakhir sebagai penyiksaan.

📌 Unsur Puisi

  • Struktur: 6 bait, masing-masing 4 baris, tanpa rima tetap, menambah kesan bebas namun tertekan, mencerminkan tema kota yang kacau.
  • Diksi: lugas namun puitis, seperti “neraka metropolitan”, “mondar-mandir manusia batu”, “belantara kota” — menciptakan efek keterasingan yang kuat.
  • Nada: protes, lirih, dan getir.
Puisi “Jangan” bukan hanya tentang burung yang dilepas. Ia adalah teguran puitik terhadap kepalsuan, kerusakan, dan ketidaksadaran manusia modern. Melalui puisi ini, Slamet Sukirnanto menghadirkan realitas Jakarta — atau kota mana pun — sebagai tempat yang tidak lagi ramah pada kehidupan. Di sinilah puisi menjadi cermin yang mengajak kita berhenti sejenak, merenungi makna hidup, kebebasan, dan tanggung jawab terhadap sesama makhluk hidup.

Puisi Slamet Sukirnanto
Puisi: Jangan
Karya: Slamet Sukirnanto

Biodata Slamet Sukirnanto:
  • Slamet Sukirnanto lahir pada tanggal 3 Maret 1941 di Solo.
  • Slamet Sukirnanto meninggal dunia pada tanggal 23 Agustus 2014 (pada umur 73 tahun).
  • Slamet Sukirnanto adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.