Kaleidoskop Percintaan
- buat Erny Rachmi Nur
"kita mesti menuntaskan mimpi, kota ini terus beranjak tua."
pada sebuah kafe tanpa menu, di antara meja beku, aku
menatap bening matamu. tak kau tahu cinta gemetar dalam dekapanku.
di arloji, waktu terus berlompatan, dan tahu-tahu telah kucuri bibirmu.
"untuk mengekalkan kenangan," ucapku
membujuk degup jantungmu.
entah mengapa sejak itu aku selalu ingin
memelukmu. aku ingat itu pernah kulakukan di sebuah taman,
di antara daun yang jatuh menerpa pundakmu. tapi aku lupa kapan
pertama kali memelukmu. mungkin
ketika aku jenuh menyeduh bergelas-gelas rindu
dan meminumnya dengan hati terluka.
di batinku
ingin kuciptakan senja yang tak terhapus dari ingatan. di situ
kubangun arcamu. dan matamu, -yang tak kedip menatapku-
kurekatkan dengan air mata yang dulu kuseka di pipimu
seusai kuceritakan kerinduan adam pada hawa.
menggenanglah dalam dadaku kekasih. jadilah magma
yang mengeras yang kelak akan kita
pahat jadi kanak-kanak yang pandai menggambar wajah tulus
kewanitaanmu dan paham mengukir raut kasar
kelelakianku.
mengendaplah dalam hatiku. biar kuasah pisau buat sebuah perahu
untuk menjemputmu: kutahu di hatimu ada laut yang mencintai seluruh musim.
Makassar, 1996
Analisis Puisi:
Puisi “Kaleidoskop Percintaan” karya Aslan Abidin merupakan potret puitik yang memadukan emosi cinta, kerinduan, kenangan, dan keinginan untuk mengabadikan momen-momen bersama kekasih. Dalam satu tarikan napas panjang yang liris, penyair menghadirkan kisah asmara yang tak hanya melankolis, tetapi juga penuh kedalaman makna eksistensial.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah percintaan yang sarat kenangan dan kerinduan, dengan nuansa eksistensial tentang waktu dan keinginan untuk mengabadikan cinta. Puisi ini bukan sekadar menceritakan kisah cinta, tetapi juga menggambarkan bagaimana cinta dapat menjadi bagian dari identitas dan perjalanan batin seseorang.
Makna Tersirat
Secara tersirat, puisi ini menyuarakan kerinduan untuk mempermanenkan hal-hal yang fana—waktu yang terus berlalu, momen yang sulit diulang, dan cinta yang selalu rentan terhadap perubahan. Ada pula nuansa psikologis, di mana aku lirik mencoba menyatukan kerinduan dan luka menjadi satu bentuk ingatan yang utuh dan kekal, seperti memahat kenangan menjadi arca.
Puisi ini bercerita tentang sebuah kisah cinta yang penuh nostalgia dan kontemplasi, dari percikan emosi saat pertemuan di sebuah kafe hingga penciptaan kenangan yang ingin dibekukan dalam batin. Ia menyentuh titik-titik penting dalam hubungan: sentuhan pertama, pelukan pertama, luka akibat rindu, hingga keinginan untuk melestarikan cinta dalam bentuk simbolik seperti senja, arca, dan perahu.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini sangat melankolis, intim, dan reflektif. Ada semacam keheningan batin yang diselingi gejolak rasa, terutama saat tokoh “aku” merenungi momen-momen kecil namun berarti dalam percintaannya.
Amanat atau Pesan yang Disampaikan
Pesan yang bisa ditangkap dari puisi ini adalah bahwa cinta tidak melulu soal kebersamaan secara fisik, melainkan juga tentang keberanian mengabadikan kenangan dan menyimpannya sebagai bagian dari perjalanan spiritual dan emosional. Selain itu, penyair juga ingin mengajak pembaca untuk menerima kefanaan dengan cara menciptakan makna baru dari yang telah berlalu.
Imaji
Aspek imaji sangat kuat dalam puisi ini. Penyair membangun berbagai gambaran visual dan emosional seperti:
- “pada sebuah kafe tanpa menu, di antara meja beku” – membentuk imaji tempat yang sunyi dan dingin.
- “kubangun arcamu... kurekatkan dengan air mata” – imaji patung yang terbentuk dari kenangan dan kesedihan.
- “menyeduh bergelas-gelas rindu” – imaji rasa yang dibendakan, menciptakan kesan pahit dan dalam.
Majas
Puisi ini kaya dengan majas, di antaranya:
- Personifikasi: “waktu terus berlompatan”, “laut yang mencintai seluruh musim” – memberikan sifat hidup pada waktu dan laut.
- Metafora: “aku jenuh menyeduh bergelas-gelas rindu”, “jadilah magma yang mengeras” – menyandingkan emosi dengan benda konkret untuk memperkuat efek makna.
- Hiperbola: “senja yang tak terhapus dari ingatan” – memberi kesan keabadian atas sesuatu yang fana.
Unsur Puisi
- Diksi: Pilihan kata-kata puitis dan simbolik, seperti “bening matamu”, “magma”, “perahu”, dan “senja”.
- Tipografi: Bentuk bebas tanpa pembagian bait formal, mengalir seperti aliran pikiran.
- Nada: Penuh keintiman dan perenungan, kadang seperti pengakuan, kadang seperti doa.
- Gaya bahasa: Liris, padat metafora, dan sugestif.
Puisi "Kaleidoskop Percintaan" bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang waktu, kenangan, dan hasrat untuk memberi bentuk abadi pada sesuatu yang hakikatnya rapuh. Aslan Abidin, melalui puisi ini, berhasil menyusun kata demi kata menjadi lukisan emosional yang menggugah dan mengajak pembaca merenungi cinta dengan lebih dalam.
Puisi: Kaleidoskop Percintaan
Karya: Aslan Abidin
Biodata Aslan Abidin:
- Aslan Abidin lahir pada tanggal 31 Mei 1972 di Kabupaten Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan.