Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kecapi Sunda (Karya Kirdjomuljo)

Puisi "Kecapi Sunda" karya Kirdjomuljo adalah karya yang penuh makna, mengeksplorasi tema-tema
Kecapi Sunda

Kenapa tuan berduka
menyandang bulan pudar
di bahu kanan
menyandang bintang muram
di bahu kiri

Melihat hijau malam
dalam redup dan kebasahan
memandangi hati
serupa memandangi tanah pasir
dan menyanyikan nada-nada kurus

Tanah liat tanah kapur
tulang memutih kan menghancur
tanah pasir tanah gugur
hati pedih kan menghambur
jalanan waktu penuh dera

Jalanan waktu serupa jalanan alam
melingkar, membelit serupa hati
lincah seperti musim
sebulan membunga, sebulan menghijau
lain saat menguning

Serupa berkejar main-main
sekali berdekap
sekali berlawan
dalam satu getar kegirangan
berderak sekuat kegirangan anak

Tidurlah di hati alam
tidurlah di hati umur
di saat-saat habis berlawan
di saat-saat habis bergirang
sepenuhnya bermukim di hijau musim

Tuan pernah mendapat hati
di saat hijau serupa alam
menyelubungi seluruh jasadnya
asyik bermain dengan keberanian
dan ketetapan arah

Di saat-saat demikian
tibalah satu kenikmatan umur
yang mendapatkan buminya
dalam cinta dan kebulatan
bagaimanapun akhirnya

Serupa alam pegunungan
bila sore hari, udara biru
tuan pernah mendapatkan tanah Sunda
ialah satu di antaranya
ialah sebagian kehijauan alam

Saya tak mengerti benar
tentang kematian
tetapi mengerti diri
tak mengenal benar akan kelahiran
tapi sadar akan nurani

Tuan sudah pernah singgah ke rumah
di jalan simpang sebelah cemara
bermukim di hati hijau alam
di atas bulan purnama
di dekatnya deru lautan

Tapi sekali itu sedang bermukim
di hati kecapi Sunda
yang melarat-larat, menyusur daunan
hilang sekejap datang selintas
menghambur bertitik nikmat

Dimana tuan pun akan berkata
berkata dalam sadar
dimana tersimpan hati
tersimpan dera
sekalipun bisa hanyut oleh sadar

Dan akan sukar melepaskan
ingin seluruh umurnya
mencair di hati kecapi Sunda
sekalipun akan menjadi sadar
bukan maksudnya umur di satu peristiwa

Begitu tanah Sunda
begitulah diriku
langsung bersatu serasa sekandung
lahir dari satu khayalan
bila berpisah tidak berlupa

Sumber: Lembah Pualam (1967)

Analisis Puisi:

Puisi "Kecapi Sunda" karya Kirdjomuljo menawarkan sebuah refleksi mendalam tentang kehidupan, alam, dan hubungan pribadi yang diwarnai oleh unsur-unsur kesenian tradisional. Dengan menggunakan simbolisme dan metafora yang kaya, puisi ini menggambarkan perjalanan emosional dan spiritual melalui perspektif budaya dan alam.

Struktur dan Tema

Puisi ini memulai dengan pertanyaan retoris yang menggugah: "Kenapa tuan berduka / menyandang bulan pudar / di bahu kanan / menyandang bintang muram / di bahu kiri." Penulis menciptakan suasana melankolis dan introspektif, menggambarkan rasa kesedihan dan beban yang dirasakan oleh individu. Bulan pudar dan bintang muram melambangkan kegelapan dan kesedihan yang menghampiri.

Refleksi Alam dan Emosi

Penulis melanjutkan dengan menggambarkan suasana malam yang hijau dan kebasahan, serta bagaimana pandangan terhadap hati diibaratkan seperti memandangi tanah pasir. Ini menunjukkan perasaan kebingungan dan kekosongan yang dirasakan, serta nada-nada yang digambarkan sebagai "kurus" mencerminkan kesedihan dan keterasingan.

Simbolisme Tanah dan Waktu

  • Tanah dan Kapur: "Tanah liat tanah kapur" dan "tulang memutih kan menghancur" adalah simbol untuk kekuatan dan kerapuhan yang inheren dalam kehidupan. Tanah dan kapur mewakili elemen bumi yang keras dan tahan lama, sementara tulang putih yang menghancur mencerminkan kerapuhan dan perubahan.
  • Jalanan Waktu: "Jalanan waktu serupa jalanan alam" menggambarkan bagaimana waktu dan pengalaman hidup berkelok-kelok dan berbelit, mirip dengan siklus alam. Penulis membandingkan siklus musim dengan perjalanan waktu, menunjukkan bagaimana kehidupan mengalami perubahan dan pergeseran yang berkelanjutan.

Keterhubungan dengan Kesenian

  • Kecapi Sunda: "Kecapi Sunda" adalah alat musik tradisional Sunda yang memiliki makna mendalam dalam konteks budaya. Dalam puisi ini, kecapi melambangkan kekayaan budaya dan emosional, serta perasaan keakraban dengan tanah Sunda. Kecapi yang "melarat-larat, menyusur daunan" menunjukkan bahwa kesenian ini menyentuh kehidupan dan pengalaman pribadi dengan cara yang mendalam dan emosional.

Refleksi Kehidupan dan Kematian

Penulis merenungkan tentang kematian dan kelahiran dengan menyatakan, "Saya tak mengerti benar tentang kematian / tetapi mengerti diri / tak mengenal benar akan kelahiran / tapi sadar akan nurani." Ini mencerminkan kesadaran mendalam tentang eksistensi dan pengalaman hidup, meskipun penulis mungkin tidak sepenuhnya memahami konsep kematian dan kelahiran.

Pencarian Makna dan Keterhubungan

  • Kehidupan dan Kenikmatan: "Tuan sudah pernah singgah ke rumah" dan "bermukim di hati hijau alam" menunjukkan penemuan kedamaian dan kenikmatan di tempat yang penuh makna. Penulis menggambarkan pengalaman ini sebagai suatu bentuk "kenikmatan umur" yang memperkaya kehidupan mereka.
  • Pemisahan dan Kesatuan: "Begitu tanah Sunda / begitulah diriku" menunjukkan bagaimana penulis merasa terhubung secara mendalam dengan tanah Sunda dan kesenian yang melambangkannya. Meskipun ada perasaan pemisahan, penulis merasa bahwa mereka dan tanah Sunda adalah satu kesatuan, lahir dari satu khayalan dan pengalaman yang sama.
Puisi "Kecapi Sunda" karya Kirdjomuljo adalah karya yang penuh makna, mengeksplorasi tema-tema kehidupan, alam, dan kesenian dengan simbolisme yang mendalam. Melalui penggunaan metafora tanah, waktu, dan kecapi, puisi ini menggambarkan perjalanan emosional dan spiritual penulis dalam menemukan kedamaian dan keterhubungan. Penulis berhasil menyampaikan perasaan melankolis dan reflektif dengan gaya puitis yang kaya, menawarkan pembaca sebuah pengalaman yang mendalam dan introspektif tentang kehidupan dan budaya.

Kirdjomuljo
Puisi: Kecapi Sunda
Karya: Kirdjomuljo
Biodata Kirdjomuljo:
  • Edjaan Tempo Doeloe: Kirdjomuljo
  • Ejaan yang Disempurnakan: Kirjomulyo
  • Kirdjomuljo lahir pada tanggal 1 Januari 1930 di Yogyakarta.
  • Kirdjomuljo meninggal dunia pada tanggal 19 Januari 2000 di Yogyakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.