Kepada Bung Karno
Catat olehmu, Bung Karno
inilah kami
yang berderap menuntut keadilan
tanpa mengenal lelah dan upah
Karena kami dengar dan kami saksikan
tanpa dibujuk dan dirayu
tapi kesadaran yang tumbuh membatu
demi suara-suara yang menghantu
menuntut keadilan dan kebenaran.
Jangan, jangan kau sebut kami pengkhianat
atau begundal-begundal keparat
lebih baik kau catat
kami adalah putra-putra tanah air
yang tiada kenal arti getir
karena hidup di tangan-Nya yang terakhir
di sini pun kami berjuang:
dengan keyakinan-Nya melumat.
Analisis Puisi:
Puisi "Kepada Bung Karno" karya Edijushanan adalah sebuah karya sastra yang kuat secara emosi dan politis. Dalam dua bait yang padat dan penuh daya, penyair menyampaikan sebuah kritik tajam namun tetap terbalut dalam semangat kebangsaan. Judul puisi ini merujuk langsung pada tokoh proklamator dan presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno, sehingga otomatis menarik pembaca kepada konteks historis dan politis bangsa ini.
Struktur dan Unsur Puisi
Puisi ini terdiri dari dua bait: bait pertama berjumlah 9 baris, sedangkan bait kedua terdiri dari 8 baris. Meskipun tidak terikat oleh rima atau pola metrum tertentu, puisi ini tetap memiliki kekuatan ritmis berkat diksi yang tegas dan repetisi yang membangun atmosfer perjuangan. Beberapa unsur puisi yang menonjol di antaranya:
- Diksi: Pemilihan kata dalam puisi ini sangat lugas dan kuat. Kata-kata seperti "berderap", "menuntut", "kesadaran yang tumbuh membatu", dan "melumat" menunjukkan intensitas dan keberanian dalam menyuarakan isi hati.
- Baris dan bait: Baris-baris pendek menciptakan efek tekanan yang memperkuat kesan semangat dan perjuangan.
- Nada dan suara: Nada puisi terasa lantang, penuh keyakinan, dan tidak menggugurkan rasa hormat terhadap Bung Karno, tetapi lebih sebagai pernyataan jujur dari rakyat kepada pemimpinnya.
Puisi ini bercerita tentang suara rakyat—terutama kaum muda atau pejuang idealis—yang menuntut keadilan dan kebenaran di tengah situasi yang mereka anggap menyimpang dari cita-cita kemerdekaan. Meskipun puisi ini ditujukan kepada Bung Karno, sang proklamator, namun yang disorot bukanlah sosoknya secara personal, melainkan kekuasaan yang mulai menjauh dari aspirasi rakyat.
Tema utama puisi ini adalah perjuangan rakyat menuntut keadilan. Namun, tema ini tidak berdiri sendiri. Di baliknya, terdapat tema-tema turunannya: keberanian moral, loyalitas terhadap bangsa, dan kritik terhadap kekuasaan yang melenceng.
Makna Tersirat
Puisi ini menyiratkan bahwa tidak semua bentuk kritik terhadap pemimpin atau negara adalah pengkhianatan. Justru, dalam kritik tersebut terselip cinta tanah air yang besar. Makna tersirat dari puisi ini adalah: rakyat yang mencintai negaranya punya hak untuk menuntut keadilan, bahkan jika harus berhadapan dengan pemimpinnya sendiri.
Baris seperti:
"Jangan, jangan kau sebut kami pengkhianat / atau begundal-begundal keparat"
merupakan penolakan keras terhadap stigmatisasi yang sering dilekatkan pada mereka yang berani bersuara berbeda. Di sini, penyair menekankan bahwa perjuangan mereka justru didorong oleh iman dan cinta tanah air, bukan dendam atau kebencian.
Imaji dan Majas
Puisi ini tidak menampilkan imaji secara deskriptif atau visual yang eksplisit, namun terdapat imaji gerak dan suara yang kuat. Misalnya:
"yang berderap menuntut keadilan"
memberi gambaran imajiner tentang barisan manusia yang bergerak serempak, penuh semangat dan determinasi.
Dari sisi majas, kita dapat menemukan beberapa gaya bahasa yang memperkuat isi puisi:
Metafora:
- "kesadaran yang tumbuh membatu" — menggambarkan kekokohan dan keteguhan hati para pejuang.
- "hidup di tangan-Nya yang terakhir" — metafora religius yang menunjukkan ketundukan total kepada Tuhan dalam perjuangan.
Repetisi:
- Kata "kami" diulang berkali-kali untuk menegaskan kolektivitas perjuangan.
Personifikasi:
- "suara-suara yang menghantu" — suara-suara yang menuntut keadilan digambarkan seperti makhluk hidup yang menghantui, memberi efek dramatis dan emosional.
Amanat atau Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan amanat yang sangat penting: bahwa perjuangan untuk keadilan adalah hak rakyat, dan kritik bukanlah bentuk pengkhianatan. Mereka yang bersuara demi kebenaran adalah anak bangsa yang sejati. Bahkan jika suara itu terdengar keras atau menentang, itu bukan karena mereka membenci pemimpin, melainkan karena mereka cinta pada cita-cita bangsa yang agung.
Puisi "Kepada Bung Karno" karya Edijushanan adalah sebuah karya yang padat makna, tegas secara ekspresi, dan tajam dalam kritik sosial-politiknya. Melalui dua bait yang singkat, penyair berhasil membangun narasi tentang rakyat yang tidak diam dalam ketidakadilan, namun juga tidak kehilangan iman dan cinta tanah air. Dengan menggunakan diksi yang kuat, metafora yang menggugah, serta nada yang berani, puisi ini menjadi suara kolektif yang menyuarakan bahwa keadilan adalah hak seluruh rakyat, dan memperjuangkannya adalah bagian dari keimanan dan kebangsaan.
Karya: Edijushanan
Biodata Edijushanan:
- Edijushanan (ejaan yang disempurnakan Ediyushanan) lahir di Karang Tengah, Cirebon, Jawa Barat, pada tanggal 6 Agustus 1940.