Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Khotbah (Karya Syu’bah Asa)

Puisi “Khotbah” karya Syu’bah Asa bercerita tentang asal-usul cinta menurut pandangan religius dan filosofis. Tuhan menciptakan 100 bagian cinta, ...
Khotbah

Tuhan membikin seratus cinta
Semua ditahan pada dirinya
Hanya satu ia turunkan
Ke bumi

Dengan itu laki-perempuan bercium-ciuman
Pohon-pohon berbisik-bisikan
Seekor anjing dengan rela menarik kelangkang
Agar orok tidak terinjak
Ibu kuda mengangkat kaki belakang

Saudara-saudara
Tuhan membikin seratus cinta.

1970

Sumber: Horison (Maret, 1973)

Analisis Puisi:

Puisi “Khotbah” karya Syu’bah Asa adalah karya pendek namun sangat tajam secara makna dan penggambaran. Hanya terdiri dari dua bagian naratif dan satu pengulangan liris di akhir, puisi ini mengandung pesan spiritual, sosial, dan universal tentang cinta yang lahir dari satu bagian kecil dari cinta Tuhan.

Judul “Khotbah” tidak hanya mengarahkan puisi ini sebagai sebuah wacana atau pidato keagamaan, tapi juga menyiratkan bahwa penyair sedang menyampaikan renungan moral dan eksistensial kepada khalayak. Dengan bahasa yang padat, simbolis, dan kadang mengejutkan, Syu’bah Asa membangun ruang permenungan tentang kasih sayang semesta.

Tema: Cinta Ilahi dan Manusiawi

Tema utama dalam puisi ini adalah cinta sebagai wujud kasih Tuhan yang membentuk harmoni kehidupan di bumi. Cinta digambarkan sebagai sesuatu yang berasal dari Tuhan, dan hanya satu bagian kecil saja yang diturunkan ke dunia — cukup untuk membuat seluruh makhluk hidup saling menyayangi.

Puisi ini juga bisa ditafsirkan sebagai gambaran spiritualitas lintas spesies dan alam, bahwa cinta bukan hanya milik manusia, tetapi juga hadir dalam insting binatang dan gerak alam.

Makna Tersirat: Kebaikan Dunia Adalah Bayangan Kecil dari Cinta Tuhan

Secara tersirat, puisi ini menyampaikan bahwa apa yang kita kenal sebagai cinta di dunia ini hanyalah sebagian kecil dari cinta yang dimiliki Tuhan. Maka segala bentuk kebaikan, empati, dan kasih sayang — baik di antara manusia maupun antar makhluk hidup — berasal dari satu sumber agung.

Baris-baris yang menggambarkan:

“Seekor anjing dengan rela menarik kelangkang / Agar orok tidak terinjak”

dan

“Ibu kuda mengangkat kaki belakang”

menyiratkan bahwa bahkan hewan pun memiliki kasih sayang yang berasal dari pancaran cinta ilahi. Ini menggugah kesadaran bahwa kebaikan tidak eksklusif untuk manusia, dan bahwa Tuhan hadir dalam kepedulian yang kecil sekalipun.

Puisi ini bercerita tentang asal-usul cinta menurut pandangan religius dan filosofis. Tuhan menciptakan 100 bagian cinta, namun hanya satu diturunkan ke dunia. Dengan satu itu saja, semua makhluk hidup bisa menciptakan interaksi penuh kasih: dari ciuman antar manusia, bisikan pohon, hingga gerakan melindungi anak pada hewan.

Kisah ini berbentuk narasi metafisik dan simbolik, seperti dongeng atau kutipan spiritual, yang ditutup dengan pengulangan liris seakan menjadi mantra atau ayat khotbah.

Suasana dalam Puisi: Kontemplatif dan Menyentuh

Suasana puisi terasa kontemplatif dan hening, seperti sedang mendengarkan ceramah atau nasihat rohani. Namun pada saat yang sama, suasana juga penuh kelembutan, kehangatan, dan rasa takjub atas kasih Tuhan yang mewujud dalam kehidupan sehari-hari.

Baris-baris terakhir memberi nuansa sakral, seakan sang penyair — atau juru khotbah — menyimpulkan pelajarannya dengan penekanan yang khidmat.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Beberapa amanat penting dari puisi ini antara lain:
  • Kasih sayang adalah anugerah ilahi yang menyatukan semua makhluk di bumi.
  • Kebaikan kecil adalah refleksi dari cinta Tuhan yang maha besar.
  • Cinta tidak hanya dimiliki manusia; alam dan hewan pun memiliki bentuk cinta dan empati.
  • Karena cinta yang diturunkan hanya satu bagian, maka manusia seharusnya menjaganya dan tidak merusaknya.
  • Menghargai cinta berarti mengakui kehadiran Tuhan dalam relasi sehari-hari.

Imaji: Ciuman, Pohon Berbisik, Anjing, dan Kuda

Puisi ini kaya akan imaji konkrit yang menggugah secara emosional dan visual, di antaranya:
  • “Laki-perempuan bercium-ciuman” — gambaran relasi intim yang wajar dan lembut.
  • “Pohon-pohon berbisik-bisikan” — imaji puitis yang memberi kehidupan pada alam.
  • “Seekor anjing menarik kelangkang agar orok tidak terinjak” — imaji mengejutkan sekaligus menyentuh, menunjukkan bahwa cinta bisa muncul dari yang tak terduga.
  • “Ibu kuda mengangkat kaki belakang” — gerakan naluriah protektif penuh cinta.
Imaji tersebut menyatukan manusia, hewan, dan alam sebagai makhluk-makhluk yang dipersatukan oleh cinta yang sama, dari sumber yang sama.

Majas: Repetisi, Metafora, dan Personifikasi

Beberapa majas penting dalam puisi ini adalah:
  • Repetisi (pengulangan): “Tuhan membikin seratus cinta” diulang pada awal dan akhir puisi. Ini memberi efek retoris khas khotbah dan memperkuat pesan utama.
  • Metafora: “Seratus cinta” sebagai metafora atas potensi kasih Tuhan yang tak terhingga.
  • Personifikasi: “Pohon-pohon berbisik-bisikan” — pohon digambarkan seperti manusia yang saling berbicara.
  • Hiperbola: “Seratus cinta” tapi hanya satu diturunkan — bentuk penguatan ide dengan angka simbolik, bukan literal.
Puisi “Khotbah” karya Syu’bah Asa adalah puisi yang pendek tapi mengandung muatan spiritual yang besar. Melalui struktur yang mirip ceramah atau pengajaran agama, puisi ini menyampaikan bahwa seluruh cinta dan empati yang kita rasakan di bumi hanyalah satu bagian kecil dari kasih Tuhan yang tak terhingga.

Dengan imaji sederhana tapi menyentuh, dan gaya bahasa yang lugas namun tajam, Syu’bah Asa mengajak pembaca untuk merenungi cinta bukan sebagai sekadar perasaan pribadi, tapi sebagai kekuatan ilahi yang menyatukan kehidupan.

Syu’bah Asa
Puisi: Khotbah
Karya: Syu’bah Asa

Biodata Syu’bah Asa:
  • Syu’bah Asa lahir pada tanggal 21 Desember 1941 di Pekalongan, Jawa Tengah.
  • Syu’bah Asa meninggal dunia pada tanggal 24 Juli 2010 (pada usia 69 tahun) di Pekalongan, Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.