Lampu-Lampu Jalanan yang Sunyi
Lampu-lampu jalanan yang sunyi
Menjaga malam hari
Terkantuk-kantuk dalam gelisah
Menunggu lorong-lorong, menunggu kota yang terbungkuk lelah
Dan menunggu itu alangkah jauh
Alangkah jauh. Lingkup waktu terapung
Terasing antara keinginan dan kenyataan
Tanpa suara
Sementara usia kita makin maya
Perlahan-lahan makin jauh, remaja pun seperti sauh
Makin tenggelam ke dasar sana.
Lampu-lampu jalanan yang sunyi
Mengerjap sendiri
Seperti pupus dalam harap
Dalam kerdip bintang melindap.
Sumber: Horison (April, 1973)
Analisis Puisi:
Puisi “Lampu-Lampu Jalanan yang Sunyi” karya Hoedi Soejanto menyuguhkan refleksi eksistensial yang tenang dan getir. Lewat metafora lampu jalanan, penyair mengungkapkan pergulatan batin manusia terhadap waktu, penantian, dan makna hidup yang perlahan-lahan menyusut dalam kesunyian.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah kesunyian dan kefanaan hidup, terutama bagaimana manusia mengalaminya dalam konteks waktu yang terus berjalan. Ada pula tema tambahan berupa kerinduan akan masa muda yang telah berlalu serta keresahan eksistensial dalam menghadapi kenyataan hidup.
Makna Tersirat
Makna tersirat puisi ini adalah perasaan hampa dan kehampaan eksistensial yang muncul saat menua. Lampu jalanan digambarkan sebagai penjaga malam yang terus menyala tanpa tujuan pasti, menggambarkan kehidupan yang berulang, sunyi, dan makin jauh dari masa muda serta mimpi-mimpi ideal.
Larik “remaja pun seperti sauh / makin tenggelam ke dasar sana” memberi isyarat bahwa kenangan dan semangat muda telah tenggelam dalam waktu, dan kini hanya tinggal penantian panjang dalam kesendirian.
Puisi ini bercerita tentang perjalanan waktu yang sunyi, seperti lampu-lampu jalan yang terus menyala di malam hari—diam dan gelisah. Tokoh “aku” dalam puisi (yang bersifat reflektif) memandang waktu dan kehidupan yang berlalu sambil menunggu sesuatu yang tak kunjung tiba. Lorong dan kota yang “terbungkuk lelah” memperkuat simbolisasi kehidupan yang penat dan nyaris tak berdaya.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini sangat sunyi, melankolis, dan kontemplatif. Penantian dalam kesendirian serta kesadaran bahwa masa muda telah pergi menciptakan nuansa haru dan getir, seperti berada dalam malam panjang yang tak kunjung berakhir.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini membawa pesan bahwa waktu berjalan terus tanpa kompromi, dan dalam kesunyian hidup, manusia perlu menyadari kefanaan—bukan dengan gelisah, tapi dengan kepekaan. Ada semacam ajakan tersirat untuk merenungi kehidupan dan berdamai dengan kenyataan, betapapun sunyinya jalan yang harus ditempuh.
Imaji
Puisi ini penuh dengan imaji visual yang kuat:
- “Lampu-lampu jalanan yang sunyi” menggambarkan suasana kota yang sepi dan penuh kesendirian.
- “Lorong-lorong”, “kota yang terbungkuk lelah” menciptakan citraan urban yang letih dan tua.
- “Remaja pun seperti sauh / makin tenggelam ke dasar sana” adalah imaji metaforis tentang kenangan masa muda yang semakin jauh.
Majas
Beberapa majas menonjol dalam puisi ini:
- Personifikasi: “Lampu-lampu jalanan... terkentuk-kantuk dalam gelisah” — lampu digambarkan seolah-olah makhluk hidup yang lelah dan menunggu.
- Metafora: “remaja pun seperti sauh” — masa muda dibandingkan dengan sauh (jangkar) yang perlahan tenggelam ke dasar laut.
- Repetisi: “alangkah jauh, alangkah jauh” — digunakan untuk menegaskan jarak dan waktu yang terasa makin panjang.
Puisi “Lampu-Lampu Jalanan yang Sunyi” karya Hoedi Soejanto adalah puisi yang kontemplatif dan reflektif. Dengan gaya bahasa yang sederhana namun sarat makna, puisi ini menggambarkan kesunyian malam sebagai metafora dari kesendirian dan kefanaan hidup. Ia mengajak pembaca untuk merenungi waktu yang terus berjalan dan bagaimana kita, sebagai manusia, mesti menyikapinya—dengan kesadaran, penerimaan, dan keteguhan hati.
Karya: Hoedi Soejanto
Biodata Hoedi Soejanto:
- Hoedi Soejanto (Ejaan yang Disempurnakan Hudi Suyanto) lahir di Salatiga, Jawa Tengah pada bulan Maret 1936.