Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Magrib Tiba di Pintu Sorga (Karya Syu’bah Asa)

Puisi “Magrib Tiba di Pintu Sorga” karya Syu’bah Asa bercerita tentang perenungan menjelang senja—secara fisik adalah waktu magrib, secara ...
Magrib Tiba di Pintu Sorga

Magrib sudah tiba di pintu sorga
Di batang nyiur antara langit dan celah bambu
Kelam membangun sebuah beranda
Ketika kentong dipalu dan suara wirid tanpa lagu
Menyulut lampu-lampu merah dan suram
Ibukah yang masih mengaji, atau bayangan masa tuaku?

Kolam-kolam yang diam, rumput-rumput
Luas beranda akan disepuh cahaya perak
Sebuah ruang, Tuhan, segera
Sesudah kebet terakhir Quran
Di mana jiwa akan membunga
Ketika sandal-sandal ditinggal di pintu magrib,
Kandil-kandil akan menyala

1973

Sumber: Horison (Maret, 1973)

Analisis Puisi:

Puisi “Magrib Tiba di Pintu Sorga” karya Syu’bah Asa adalah puisi yang lembut dan khusyuk, namun sarat dengan kontemplasi spiritual. Dengan struktur dua bait (bait pertama 6 baris dan bait kedua 7 baris), puisi ini mengalir dalam suasana senja yang religius, melukiskan pertemuan antara kehidupan dunia dan bayang-bayang akhirat, antara cahaya magrib dan impian akan kedamaian abadi.

Puisi ini bercerita tentang perenungan menjelang senja—secara fisik adalah waktu magrib, secara metaforis adalah peralihan menuju kematian atau kehidupan akhirat. Penyair menghadirkan bayangan suasana rumah atau surau di desa, dengan suara kentongan, wirid, dan ibu yang mengaji. Namun dalam kedalaman puisi, semua itu menjadi simbol perenungan diri terhadap usia senja, doa, dan harapan akan kedamaian di sisi Tuhan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah renungan spiritual menjelang senja sebagai simbol perjalanan menuju akhir kehidupan.

Subtema yang mengalir di dalamnya antara lain:
  • Ketenteraman religius dan kesadaran akan kematian
  • Perpaduan antara kehidupan duniawi dan harapan akhirat
  • Keheningan dan harapan akan keselamatan jiwa

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini berkisar pada kesadaran akan kefanaan hidup, terutama ketika seseorang sampai pada usia lanjut. Kata “magrib” bukan hanya waktu salat, tetapi juga metafora dari senja kehidupan: sebuah peralihan dari dunia menuju harapan akan surga.

Baris:

“Ibukah yang masih mengaji, atau bayangan masa tuaku?”

mengandung lapisan perenungan yang sangat manusiawi—seolah penyair melihat dirinya dalam cermin kenangan: apakah itu ibu yang sedang berdoa, atau dirinya sendiri di usia senja yang mengulang ritual suci menjelang ajal?

Unsur Puisi

Beberapa unsur puisi yang menonjol dalam karya ini:
  • Diksi religius dan reflektif: kata seperti magrib, surga, wirid, Quran, Tuhan, kandil—semuanya menandai nuansa keagamaan dan ketenangan jiwa.
  • Simbolisme kuat: waktu magrib, sandal ditinggal di pintu, cahaya perak, kandil menyala—semuanya menjadi simbol akhir yang damai.
  • Struktur puitik bebas: tidak terikat pada pola rima atau metrum tertentu, memberi keleluasaan ekspresi dan kontemplasi.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini sangat hening, sakral, teduh, dan penuh perenungan. Ada keintiman rumah di pedesaan (dengan batang nyiur dan celah bambu), dan sekaligus ada rasa mistis dalam ketenangan yang menyelimuti peralihan senja menuju malam. Ini adalah suasana transendental—antara dunia dan akhirat.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan atau amanat puisi ini dapat disarikan sebagai berikut:
  • Hidup adalah perjalanan menuju Tuhan, dan senja adalah saat paling jernih untuk merenungkan jalan pulang itu.
  • Ketenteraman batin dapat ditemukan dalam kesederhanaan: suara wirid, lampu suram, dan sandal-sandal yang ditanggalkan.
  • Kematian tidak harus ditakuti; ia bisa menjadi beranda menuju kedamaian jika jiwa telah cukup berserah dan berdoa.

Imaji

Puisi ini sangat kaya dengan imaji, baik visual, auditif, maupun emosional:

Imaji visual:
  • “di batang nyiur antara langit dan celah bambu”
  • “lampu-lampu merah dan suram”
  • “kolam-kolam yang diam”
  • “cahaya perak”
  • “sandal-sandal ditinggal di pintu magrib”
Imaji auditif:
  • “kentong dipalu”, “suara wirid tanpa lagu”, “Quran” — menciptakan suasana ritual yang hening dan sakral.
Imaji emosional:
  • “bayangan masa tuaku”, “Tuhan, segera”, “jiwa akan membunga” — menggambarkan kesiapan spiritual untuk menuju akhir.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:

Metafora:
  • “magrib tiba di pintu sorga” — waktu senja disamakan dengan gerbang menuju kehidupan kekal.
  • “jiwa akan membunga” — menggambarkan kedamaian dan kebangkitan spiritual.
Personifikasi:
  • “kelam membangun sebuah beranda” — gelap senja digambarkan sebagai entitas yang menciptakan ruang sambut spiritual.
Simbolisme:
  • “sandal ditinggal di pintu” — simbol meninggalkan dunia fana
  • “kandil-kandil menyala” — simbol harapan, cahaya ilahi, atau penerangan menuju surga
Puisi “Magrib Tiba di Pintu Sorga” karya Syu’bah Asa adalah karya kontemplatif yang mengajak pembaca merenungi akhir perjalanan hidup. Dalam nuansa senja, suara wirid, cahaya redup, dan kerinduan akan ibunda atau masa tua, puisi ini menawarkan jalan pulang yang tenang dan lembut. Ia menyuguhkan penghayatan spiritual yang tidak menggurui, tapi menyelinap perlahan ke dalam batin pembaca—membisikkan bahwa kematian bukan akhir yang mengerikan, melainkan pintu ke cahaya abadi.

Puisi ini membuktikan bahwa keindahan sastra tak hanya hadir dalam permainan kata, tetapi juga dalam ketulusan rasa dan kedalaman makna.

Syu’bah Asa
Puisi: Magrib Tiba di Pintu Sorga
Karya: Syu’bah Asa

Biodata Syu’bah Asa:
  • Syu’bah Asa lahir pada tanggal 21 Desember 1941 di Pekalongan, Jawa Tengah.
  • Syu’bah Asa meninggal dunia pada tanggal 24 Juli 2010 (pada usia 69 tahun) di Pekalongan, Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.