Sumber: Horison (September, 1969)
Analisis Puisi:
Puisi “Mahgrib Pun Sampai” karya Slamet Sukirnanto adalah potret hening yang penuh permenungan. Dalam bait-bait singkat yang lirih dan padat makna, puisi ini menyuguhkan suasana senja sebagai momen spiritual dan eksistensial. Lewat gambaran waktu maghrib dan kesendirian yang mendalam, penyair mengajak pembaca masuk ke ruang perenungan antara manusia dan Tuhannya.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kesunyian spiritual dan ketundukan pada Tuhan. Puisi ini mengangkat suasana batin seseorang yang menghadapi waktu senja sebagai titik perhentian, refleksi, dan penyerahan. Ada juga tema kesendirian eksistensial—bagaimana manusia pada akhirnya harus menghadapi diri dan Tuhannya dalam sunyi.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini menyampaikan bahwa waktu terus bergerak menuju akhir, dan pada suatu titik, hanya manusia dan Tuhannya yang tersisa dalam sunyi. Puisi ini mengisyaratkan bahwa maghrib bukan hanya waktu harian, tetapi juga simbol dari usia senja, dari penghabisan waktu, dari kedekatan dengan kematian. Dalam sunyi senja, manusia berusaha “menyempurnakan” diri lewat doa, ibadah, dan pengakuan batin.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang berada dalam kesunyian menjelang malam, merenungkan kehidupannya yang telah dijalani seharian. Ia merasa sendiri, namun bukan kesendirian hampa—melainkan kesendirian spiritual yang sarat makna. Ia telah menyelesaikan “ayat-ayat suci” dan “angka-angka pada jari”—sebuah metafora untuk menyelesaikan salat atau ibadah—dan kini ia hanya bisa berserah.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini hening, sunyi, dan sakral. Ada nuansa senja yang lembut namun menyentuh, mengisyaratkan keheningan batin yang dalam. Penggunaan frasa seperti “senja terbata-bata”, “semakin sunyi”, dan “menggugurkan gelisah” memperkuat suasana kontemplatif yang mendalam.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan bahwa di tengah kehidupan yang sibuk dan penuh gelisah, manusia tetap harus mencari ruang untuk berserah kepada Tuhan. Ada saatnya ketika semua aktivitas berhenti, semua doa selesai, dan hanya kesendirian dengan Sang Pencipta yang tersisa. Dalam momen itu, yang penting bukan hanya ritual, tetapi juga ketulusan batin dan keterbukaan hati untuk menerima apa pun yang ditetapkan Tuhan.
Imaji
Puisi ini memunculkan imaji yang sangat kuat dan tenang:
- “Senja terbata-bata” — imaji waktu yang rapuh, seperti hari yang tersandung menuju akhir.
- “Gugur daun trembesi” — imaji alam yang hening dan menggambarkan kejatuhan, seperti kematangan usia atau akhir hari.
- “Angka-angka pada jari” dan “ayat-ayat suci” — menggambarkan aktivitas salat, tasbih, dan zikir yang sudah selesai.
Majas
Beberapa majas penting dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi: “Senja terbata-bata” menggambarkan waktu seperti manusia yang kesulitan berjalan.
- Metafora: “Angka-angka pada jari” dan “ayat-ayat suci” digunakan sebagai lambang dari ibadah yang khusyuk.
- Simbolisme: Maghrib menjadi simbol dari peralihan, akhir, dan kerohanian.
- Paradoks: Tuhan. Aku sendiri menunjukkan ironi bahwa meskipun sendiri, manusia justru sedang dalam kehadiran yang paling dekat dengan Tuhan.
Puisi “Mahgrib Pun Sampai” karya Slamet Sukirnanto adalah karya puitis yang menggugah perenungan batin. Di tengah kesunyian senja dan runtuhnya aktivitas duniawi, manusia hanya bisa menggugurkan gelisahnya kepada Tuhan. Dalam kesendirian spiritual itu, puisi ini mengingatkan bahwa yang paling penting bukan hanya menyelesaikan doa, tetapi juga menyempurnakan hati untuk menerima kehidupan—dan kematian—dengan ikhlas.
Karya: Slamet Sukirnanto
Biodata Slamet Sukirnanto:
- Slamet Sukirnanto lahir pada tanggal 3 Maret 1941 di Solo.
- Slamet Sukirnanto meninggal dunia pada tanggal 23 Agustus 2014 (pada umur 73 tahun).
- Slamet Sukirnanto adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.