Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Mengetuk Pintu Rumah Malam (Karya Tri Astoto Kodarie)

Puisi "Mengetuk Pintu Rumah Malam" karya Tri Astoto Kodarie bercerita tentang seseorang yang datang pada malam hari—secara simbolik atau nyata— ...
Mengetuk Pintu Rumah Malam

baru saja kuketuk pintu yang berornamen tubuhmu
angin mendorong hutan-hutan dengan pepohonan langka
wajahmu dingin tersaput sisa-sisa hujan sore
menimbang-nimbang hitungan debar jantung yang terkirim
dari jendela-jendela di Attakae

kerjap matamu masih menuliskan belibis yang terbang
di pinggir-pinggir danau dengan kabut tipis di permukaan senja
tapi malam telah menawarkan gerakan angin yang bimbang
sementara ranting di dadamu telah kupatah tanpa sengaja

di rumah malam kubuka pintu-pintu sangat lebar
biar kukembalikan bintang-bintang atau sisa hujan sore tadi
agar kedua tanganmu memelukku tanpa gemetar
seperti belibis-belibis yang mengajak mandi
di pinggir-pinggir danau
sebelum musim memanggil kemarau

kuketuk pintu rumah malammu
sebelum di rahimmu antara sepi dan gerimis bertemu.

2003
Catatan:
Attakae adalah rumah adat di Wajo, Sulawesi Selatan, dan terletak di tepi danau.

Analisis Puisi:

Puisi "Mengetuk Pintu Rumah Malam" karya Tri Astoto Kodarie adalah sebuah karya yang menggambarkan perenungan sunyi tentang cinta, kehilangan, dan harapan yang samar. Berlatar di Attakae—rumah adat di Wajo yang berada di tepi danau—puisi ini memadukan unsur alam, suasana malam, dan dialog batin dengan begitu puitis. Kata-kata yang digunakan berlapis makna, menjadikan puisi ini kaya secara imajinatif dan emosional.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kerinduan dan pencarian kembali kehangatan cinta atau hubungan yang telah renggang. Sang penyair mengetuk “pintu rumah malam” sebagai simbol usaha untuk masuk kembali ke ruang batin seseorang—tempat di mana cinta dulu pernah tumbuh, tapi kini terhalang oleh jarak atau waktu.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini menyentuh perjuangan untuk memulihkan kedekatan. Ada perasaan bersalah yang terselip (“ranting di dadamu telah kupatah tanpa sengaja”), dan usaha untuk menebusnya lewat keintiman yang lembut dan penuh harap. Malam diibaratkan sebagai rumah tempat segalanya dimulai kembali—sebuah ruang hening di mana rindu, kenangan, dan cinta mungkin dapat bersatu kembali.

Puisi ini juga mencerminkan pergulatan antara kesepian dan harapan, antara dingin dan hangat, antara kehilangan dan kemungkinan memulai kembali. Pintu yang diketuk adalah simbol dari harapan akan penerimaan dan pengampunan.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang datang pada malam hari—secara simbolik atau nyata—untuk meminta maaf, mengembalikan kehangatan, atau memulai kembali hubungan yang mungkin sempat rusak. Ia menggunakan citra danau, hujan, kabut, dan burung belibis untuk membingkai perjalanan emosional itu dalam suasana yang puitis dan meditatif.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang dibangun dalam puisi ini adalah melankolis, tenang, dan sedikit magis. Terdapat nuansa alam yang lembut—hutan, kabut, senja, dan danau—yang berpadu dengan getaran batin yang bimbang dan penuh harap. Malam dihadirkan sebagai waktu yang sakral dan hening, tempat perasaan dan kenangan bergerak pelan namun mendalam.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan dari puisi ini adalah bahwa cinta dan hubungan membutuhkan usaha untuk dijaga, diperbaiki, dan kadang dipulihkan dengan lembut. Ketika kita menyakiti orang yang kita sayangi, kita tidak hanya meminta maaf dengan kata-kata, tapi juga dengan tindakan kecil yang menyentuh—seperti mengetuk pintu dan menata ulang bintang di langit malam. Puisi ini juga mengingatkan bahwa keindahan alam dapat menjadi pengantar atau medium bagi perenungan dan pemulihan batin.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji alam dan tubuh, yang saling bercampur dan menyatu:
  • “angin mendorong hutan-hutan dengan pepohonan langka” — citraan kekuatan alam yang tenang namun kuat.
  • “wajahmu dingin tersaput sisa-sisa hujan sore” — gambaran kesedihan atau jarak emosional.
  • “kerjap matamu masih menuliskan belibis yang terbang” — perpaduan antara pandangan mata dan kenangan akan gerak kehidupan.
  • “kedua tanganmu memelukku tanpa gemetar seperti belibis-belibis yang mengajak mandi” — gambaran rindu akan kehangatan dan kedamaian.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi: “matamu menuliskan belibis”, “ranting di dadamu telah kupatah”, “kemarau memanggil” — memberikan sifat manusia pada benda atau alam.
  • Metafora: “pintu rumah malam”, “rahimmu antara sepi dan gerimis” — sebagai simbol kedalaman batin, tempat awal mula keintiman.
  • Simile (perbandingan): “seperti belibis-belibis yang mengajak mandi” — membandingkan pelukan dengan gerak lembut dan alamiah burung air.
  • Hiperbola: “kubuka pintu-pintu sangat lebar biar kukembalikan bintang-bintang” — sebagai ekspresi keinginan kuat untuk memperbaiki situasi.

Malam, Danau, dan Upaya Menyentuh Hati yang Telah Dingin

Puisi "Mengetuk Pintu Rumah Malam" adalah puisi yang tak hanya memadukan alam dan perasaan, tetapi juga menghadirkan sebuah pengakuan akan kesalahan dan keinginan untuk kembali diterima. Berlatar Attakae yang tenang dan bermakna, puisi ini menjadi simbol spiritual dan emosional dari perjalanan hati manusia yang ingin menyatu kembali dengan cinta dan kedamaian.

Dengan gaya yang simbolik, puitis, dan menyentuh, Tri Astoto Kodarie menyuguhkan puisi yang bisa dikenang lama—seperti malam yang sunyi, namun sarat pesan.

Puisi: Mengetuk Pintu Rumah Malam
Puisi: Mengetuk Pintu Rumah Malam
Karya: Tri Astoto Kodarie

Biodata Tri Astoto Kodarie:
  • Tri Astoto Kodarie lahir di Jakarta, pada tanggal 29 Maret 1961.
© Sepenuhnya. All rights reserved.