Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Menghitung Jarak (Karya Fridolin Ukur)

Puisi “Menghitung Jarak” karya Fridolin Ukur bercerita tentang dua insan yang telah menjalani empat dekade pernikahan. Mereka berjalan bersama ...
Menghitung Jarak
Sajak-sajak di hari ulang tahun perkawinan ke-40

Haru itu mendenyut lagi
begitu syahdu, begitu merdu
ketika garis lengkung langit
kian jauh berkisar ke tepi senja;
kisah dua tangan damai berpadu
berkaitan jejari
menapaki hari-hari kehidupan

        Kilo pun menghitung jarak
        dalam angka waktu
        "catur dasawarsa"

empat puncak, bayangan sepuluh
kita lewati bersama
sambil menggenggam langit merangkul mentari
dari damai malam hingga fajar terbakar

        bayanganmu dalam diriku
        bayanganku dalam dirimu

di tengah dunia yang semakin tua
retak-retak oleh dosa
kerinduan, kesunyian yang memutus waktu,
kita seperti berlayar di bahtera Nuh
tak terganggu!

        berlenggang menguak masa depan
        sambil melagukan tembang riang
        tentang cinta
        tentang rindu
        tentang seribu kenangan

Sumber: Wajah Cinta (2000)

Analisis Puisi:

Puisi “Menghitung Jarak” karya Fridolin Ukur merupakan refleksi puitik yang menyentuh dan mendalam tentang usia cinta yang panjang, khususnya dalam konteks ulang tahun pernikahan ke-40. Dalam balutan kata-kata lembut dan penuh makna, penyair menyampaikan bagaimana perjalanan cinta tak sekadar diukur oleh waktu, melainkan oleh kedalaman pengalaman dan keteguhan hati yang saling mendampingi sepanjang perjalanan hidup.

Tema

Tema utama puisi ini adalah cinta yang setia dan abadi dalam perkawinan jangka panjang. Lebih khusus, puisi ini mengangkat perjalanan empat puluh tahun pernikahan, dengan segala suka dan dukanya, sebagai bukti dari keteguhan, kesetiaan, dan kedamaian yang dibangun bersama.

Tema lain yang turut hadir adalah:
  • Perjalanan waktu sebagai bagian dari ujian dan pemaknaan hidup
  • Keutuhan dalam kebersamaan
  • Keteguhan dalam menghadapi dunia yang retak oleh godaan dan kesepian
Puisi ini bercerita tentang dua insan yang telah menjalani empat dekade pernikahan. Mereka berjalan bersama “menapaki hari-hari kehidupan” dengan genggaman erat dan kasih yang tak putus. “Catur dasawarsa” menjadi penanda waktu, yang tidak sekadar dilalui, tetapi diisi dengan makna dan kenangan.

Di tengah dunia yang “retak-retak oleh dosa” dan diwarnai kesunyian yang bisa memisahkan, keduanya tetap teguh, seperti “berlayar di bahtera Nuh”—suatu metafora kuat tentang keberlangsungan di tengah badai. Mereka tak terganggu oleh dunia yang penuh riuh, karena mereka memiliki pelabuhan hati satu sama lain.

Makna Tersirat

Puisi ini sarat dengan makna tersirat, beberapa di antaranya:
  • Cinta sejati tidak lekang oleh waktu. Bahkan setelah puluhan tahun, cinta bisa tetap hangat, tumbuh, dan membawa kedamaian.
  • Kesetiaan dan kedekatan emosional adalah fondasi rumah tangga yang utuh. Jejari yang berkaitan bukan hanya lambang fisik, tetapi juga spiritual dan emosional.
  • Bahtera rumah tangga ibarat bahtera Nuh, yang melintasi zaman dan cobaan. Dunia bisa berubah, bisa retak oleh dosa, tapi mereka tetap kokoh bersama.
  • Waktu bukan musuh, tapi sahabat yang membantu cinta menemukan bentuk matangnya. Empat puluh tahun bukan sekadar angka, melainkan akumulasi pengalaman batin.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini menggambarkan keharuan yang syahdu dan penuh kedamaian. Ada nuansa reflektif, romantis, dan kontemplatif, seolah dua jiwa sedang duduk berdampingan di tepi senja, menatap kembali jalan panjang yang telah mereka tempuh bersama. Ada juga rasa syukur yang hening, damai, dan dalam.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

  • Cinta yang tumbuh dari kesetiaan dan kedamaian hati mampu mengatasi perubahan zaman dan godaan dunia.
  • Waktu harus dinikmati sebagai perjalanan spiritual dalam cinta, bukan hanya rentetan usia.
  • Pernikahan yang utuh adalah persekutuan dua hati yang saling mengisi dan saling menjadi cermin.
  • Jangan gentar dengan dunia yang retak, karena bahtera cinta bisa tetap berlayar bila dilandasi kepercayaan dan kasih.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan emosional, antara lain:
  • “Garis lengkung langit kian jauh berkisar ke tepi senja” – citra waktu yang menua, simbol dari usia yang matang.
  • “Jejari yang berkaitan” – imaji fisik dan batin tentang kebersamaan dan keintiman.
  • “Berlayar di bahtera Nuh” – imaji historis-religius tentang keselamatan dan kekokohan dalam badai.
  • “Menapaki hari-hari kehidupan”, “menguak masa depan” – menggambarkan gerak dinamis dan harapan.

Majas

Puisi ini memanfaatkan beberapa majas yang menonjol:

Metafora:
  • “Bahtera Nuh” sebagai simbol dari rumah tangga yang kokoh dan mampu mengarungi zaman penuh ujian.
  • “Catur dasawarsa” digunakan bukan hanya sebagai penanda waktu, tetapi makna pencapaian spiritual cinta.
Personifikasi:
  • “Langit merangkul mentari” – memberikan sifat manusia pada elemen alam.
  • “Kerinduan, kesunyian yang memutus waktu” – seolah waktu dapat terputus oleh emosi manusia.
Anaphora (pengulangan):
  • Kata “tentang” di akhir puisi diulang dalam baris-baris pendek untuk menekankan isi cinta dan kenangan.
Simbolisme:
  • “Retak-retak oleh dosa” sebagai simbol dunia modern yang terpecah oleh nilai-nilai yang menyimpang.
  • “Temabang riang” sebagai lambang sukacita dan harmoni dalam kebersamaan.
Puisi “Menghitung Jarak” karya Fridolin Ukur adalah puisi elegi sekaligus selebrasi: mengenang empat puluh tahun kebersamaan dalam cinta dan menghidupkan makna setia yang mendalam. Dalam bahasa yang lembut, tenang, dan simbolis, penyair menghadirkan potret pasangan yang tak hanya bertahan, tetapi terus bersinar dalam cinta yang saling memayungi.

Puisi ini sangat layak dijadikan bacaan dalam momen-momen ulang tahun pernikahan, terutama sebagai pengingat bahwa cinta bukan sekadar soal memulai, tapi tentang bagaimana tetap menyala di tengah usia, waktu, dan dunia yang terus berubah.

Fridolin Ukur
Puisi: Menghitung Jarak
Karya: Fridolin Ukur

Biodata Fridolin Ukur:
  • Fridolin Ukur lahir di Tamiang Layang, Kalimantan Tengah, pada tanggal 5 April 1930.
  • Fridolin Ukur meninggal di Jakarta, pada tanggal 26 Juni 2003 (pada umur 73 tahun).
© Sepenuhnya. All rights reserved.