Analisis Puisi:
Puisi “Menghitung Jarak” karya Fridolin Ukur merupakan refleksi puitik yang menyentuh dan mendalam tentang usia cinta yang panjang, khususnya dalam konteks ulang tahun pernikahan ke-40. Dalam balutan kata-kata lembut dan penuh makna, penyair menyampaikan bagaimana perjalanan cinta tak sekadar diukur oleh waktu, melainkan oleh kedalaman pengalaman dan keteguhan hati yang saling mendampingi sepanjang perjalanan hidup.
Tema
Tema utama puisi ini adalah cinta yang setia dan abadi dalam perkawinan jangka panjang. Lebih khusus, puisi ini mengangkat perjalanan empat puluh tahun pernikahan, dengan segala suka dan dukanya, sebagai bukti dari keteguhan, kesetiaan, dan kedamaian yang dibangun bersama.
Tema lain yang turut hadir adalah:
- Perjalanan waktu sebagai bagian dari ujian dan pemaknaan hidup
- Keutuhan dalam kebersamaan
- Keteguhan dalam menghadapi dunia yang retak oleh godaan dan kesepian
Puisi ini bercerita tentang dua insan yang telah menjalani empat dekade pernikahan. Mereka berjalan bersama “menapaki hari-hari kehidupan” dengan genggaman erat dan kasih yang tak putus. “Catur dasawarsa” menjadi penanda waktu, yang tidak sekadar dilalui, tetapi diisi dengan makna dan kenangan.
Di tengah dunia yang “retak-retak oleh dosa” dan diwarnai kesunyian yang bisa memisahkan, keduanya tetap teguh, seperti “berlayar di bahtera Nuh”—suatu metafora kuat tentang keberlangsungan di tengah badai. Mereka tak terganggu oleh dunia yang penuh riuh, karena mereka memiliki pelabuhan hati satu sama lain.
Makna Tersirat
Puisi ini sarat dengan makna tersirat, beberapa di antaranya:
- Cinta sejati tidak lekang oleh waktu. Bahkan setelah puluhan tahun, cinta bisa tetap hangat, tumbuh, dan membawa kedamaian.
- Kesetiaan dan kedekatan emosional adalah fondasi rumah tangga yang utuh. Jejari yang berkaitan bukan hanya lambang fisik, tetapi juga spiritual dan emosional.
- Bahtera rumah tangga ibarat bahtera Nuh, yang melintasi zaman dan cobaan. Dunia bisa berubah, bisa retak oleh dosa, tapi mereka tetap kokoh bersama.
- Waktu bukan musuh, tapi sahabat yang membantu cinta menemukan bentuk matangnya. Empat puluh tahun bukan sekadar angka, melainkan akumulasi pengalaman batin.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini menggambarkan keharuan yang syahdu dan penuh kedamaian. Ada nuansa reflektif, romantis, dan kontemplatif, seolah dua jiwa sedang duduk berdampingan di tepi senja, menatap kembali jalan panjang yang telah mereka tempuh bersama. Ada juga rasa syukur yang hening, damai, dan dalam.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
- Cinta yang tumbuh dari kesetiaan dan kedamaian hati mampu mengatasi perubahan zaman dan godaan dunia.
- Waktu harus dinikmati sebagai perjalanan spiritual dalam cinta, bukan hanya rentetan usia.
- Pernikahan yang utuh adalah persekutuan dua hati yang saling mengisi dan saling menjadi cermin.
- Jangan gentar dengan dunia yang retak, karena bahtera cinta bisa tetap berlayar bila dilandasi kepercayaan dan kasih.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual dan emosional, antara lain:
- “Garis lengkung langit kian jauh berkisar ke tepi senja” – citra waktu yang menua, simbol dari usia yang matang.
- “Jejari yang berkaitan” – imaji fisik dan batin tentang kebersamaan dan keintiman.
- “Berlayar di bahtera Nuh” – imaji historis-religius tentang keselamatan dan kekokohan dalam badai.
- “Menapaki hari-hari kehidupan”, “menguak masa depan” – menggambarkan gerak dinamis dan harapan.
Majas
Puisi ini memanfaatkan beberapa majas yang menonjol:
Metafora:
- “Bahtera Nuh” sebagai simbol dari rumah tangga yang kokoh dan mampu mengarungi zaman penuh ujian.
- “Catur dasawarsa” digunakan bukan hanya sebagai penanda waktu, tetapi makna pencapaian spiritual cinta.
Personifikasi:
- “Langit merangkul mentari” – memberikan sifat manusia pada elemen alam.
- “Kerinduan, kesunyian yang memutus waktu” – seolah waktu dapat terputus oleh emosi manusia.
Anaphora (pengulangan):
- Kata “tentang” di akhir puisi diulang dalam baris-baris pendek untuk menekankan isi cinta dan kenangan.
Simbolisme:
- “Retak-retak oleh dosa” sebagai simbol dunia modern yang terpecah oleh nilai-nilai yang menyimpang.
- “Temabang riang” sebagai lambang sukacita dan harmoni dalam kebersamaan.
Puisi “Menghitung Jarak” karya Fridolin Ukur adalah puisi elegi sekaligus selebrasi: mengenang empat puluh tahun kebersamaan dalam cinta dan menghidupkan makna setia yang mendalam. Dalam bahasa yang lembut, tenang, dan simbolis, penyair menghadirkan potret pasangan yang tak hanya bertahan, tetapi terus bersinar dalam cinta yang saling memayungi.
Puisi ini sangat layak dijadikan bacaan dalam momen-momen ulang tahun pernikahan, terutama sebagai pengingat bahwa cinta bukan sekadar soal memulai, tapi tentang bagaimana tetap menyala di tengah usia, waktu, dan dunia yang terus berubah.