Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Nukilan (Karya Rusli Marzuki Saria)

Puisi “Nukilan” karya Rusli Marzuki Saria bercerita tentang seorang tokoh liris yang telah dipengaruhi oleh puisi-puisi Rainer Maria Rilke.
Nukilan
kepada Rainer Maria Rilke

setelah aku mengenal miang kata-katamu
suaramu mendesis di padang-padang pengembaraan
gema busa kata pada kematian,
aku bertanya, sampai di sini saja?

petualang ini dambakan pintu malam ke dadanya
remah-remah padi bagai permata Sulaiman
kemilau dan bergalau
ah, aku sendiri sambil merapatkan pipi pada pipimu

palangkan tembilang di dadaku bila tanah sengketa sudah kita punya
perciki air tawar limau tujuh ragam doa bunda
subuh-subuh bunda buka pintu – anakku malang:
– ini sarong lekas sembahyang!

bila padang-padang tualang sudah lengang dari mambang
kubuka mata, aku bertanya: sampai di sini saja?
aku percaya kita bersalaman dan pergi
tapi, ingat sayangku, gema busa kata tak berakhir pada
kematian?

1965

Sumber: Parewa (1998)

Analisis Puisi:

Puisi “Nukilan” karya Rusli Marzuki Saria merupakan puisi kontemplatif yang ditulis sebagai semacam persembahan kepada penyair besar Jerman, Rainer Maria Rilke. Dalam larik-lariknya, puisi ini memuat renungan tentang pencarian makna, keberadaan, dan kematian melalui pendekatan spiritual dan puitik.

Tema

Tema utama puisi ini adalah perjalanan eksistensial dan spiritual seorang penyair dalam menghadapi pertanyaan hidup dan kematian. Tema ini dilapisi dengan dialog batin antara diri sang penyair dan warisan pemikiran Rilke, yang menjadi inspirasi dalam pencarian tersebut.

Makna Tersirat

Puisi ini menyimpan makna tersirat tentang pencarian makna sejati dari kata-kata dan kehidupan itu sendiri. Referensi terhadap “miang kata-kata” Rilke dan “gema busa kata pada kematian” menunjukkan bahwa kata-kata memiliki daya hidup yang melebihi fisik—ia bisa menembus kematian dan hidup dalam gema abadi.

Selain itu, puisi ini mencerminkan kerinduan akan kedalaman spiritual di tengah-tengah kebisingan dan kekacauan dunia nyata, serta keraguan dan harapan tentang apa yang terjadi setelah akhir perjalanan manusia.

Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh liris yang telah dipengaruhi oleh puisi-puisi Rainer Maria Rilke. Ia merenungi hidup, kematian, dan spiritualitas sambil mengembara secara metaforis melalui “padang-padang pengembaraan.” Di sana, ia berdialog dengan dirinya sendiri, dengan sosok ibu, dan dengan kekasih atau sahabat spiritual yang seolah telah menyatu dalam proses pencarian itu.

Pertanyaan “sampai di sini saja?” berulang dan menjadi sentral. Itu mencerminkan kegelisahan eksistensial—apakah hidup berakhir pada kematian? Atau adakah gema abadi yang bertahan?

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi terasa reflektif, melankolis, dan spiritual. Terdapat nuansa intim yang dalam, seakan puisi ini adalah bisikan hati atau doa yang tak selesai. Ketika penyair menyebut “aku sendiri sambil merapatkan pipi pada pipimu”, muncul keintiman yang bersifat bukan hanya jasmaniah, melainkan rohaniah—sebuah kelekatan antar jiwa.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini adalah: kata-kata tidak mati bersama tubuh manusia, dan spiritualitas serta cinta—baik cinta kepada sesama maupun cinta pada keabadian—adalah bekal dalam pengembaraan jiwa. Penyair mengingatkan bahwa meskipun perjalanan hidup memiliki batas, makna dan gema dari kehidupan seseorang bisa terus berlanjut.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji-imaji puitik dan simbolis, seperti:
  • “gema busa kata pada kematian” → membentuk imaji kata-kata yang tetap berbuih atau menggema meski setelah mati.
  • “remah-remah padi bagai permata Sulaiman” → menggambarkan kebijaksanaan yang tersembunyi dalam hal-hal kecil dan sederhana.
  • “air tawar limau tujuh ragam doa bunda” → imaji religius dan tradisional yang mengingatkan pada ritual penyucian.
  • “padang-padang tualang yang lengang dari mambang” → menghadirkan suasana mistis setelah roh-roh (mambang) pergi.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora: Banyak ungkapan dalam puisi ini yang bersifat metaforis, seperti “gema busa kata”, “padang-padang pengembaraan”, atau “tualang”, yang tidak hanya menggambarkan tempat, tetapi juga keadaan batin.
  • Personifikasi: Kata-kata diberi sifat hidup dan menggema, bahkan setelah kematian.
  • Simbolisme: “Sarong”, “limau tujuh ragam”, dan “permata Sulaiman” adalah simbol dari tradisi, penyucian, dan kebijaksanaan spiritual.
  • Repetisi: Pertanyaan “sampai di sini saja?” diulang dua kali dan menjadi penanda kebingungan sekaligus perenungan eksistensial.
Puisi “Nukilan” adalah puisi spiritual dan eksistensial yang mendalam. Tema tentang kematian dan kelanjutan makna hidup melalui kata-kata mengalir bersama renungan penyair kepada Rainer Maria Rilke. Dengan makna tersirat yang kaya, suasana melankolis, imaji yang halus namun kuat, serta penggunaan majas yang estetis, puisi ini menjadi cerminan pergulatan batin seorang penyair dalam menemukan jalan pulang bagi jiwanya.

Di ujung larik, kita diajak bertanya: Apakah benar kata-kata berhenti pada kematian? Ataukah, justru di sanalah mereka mulai bernyanyi abadi?

Rusli Marzuki Saria
Puisi: Nukilan
Karya: Rusli Marzuki Saria

Biodata Rusli Marzuki Saria:
  • Rusli Marzuki Saria lahir di Kamang, Bukittinggi, 26 Februari 1936.
© Sepenuhnya. All rights reserved.