Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Orang dari Gunung (Karya Asrul Sani)

Puisi "Orang dari Gunung" karya Asrul Sani bercerita tentang seseorang dari gunung yang datang menyampaikan pesan dari sang ibu, yang merindukan ...
Orang dari Gunung

Terkapar senja
Bermuram durja
Halaman dalam warna merah jingga
Kala itu orang asing sampai di pintuku

Di pegunungan sepanjang tahun kayu-kayu berbunga
dan cinta bersih, karena jauh dari kota.
Aku sampai di sini, karena mau bawa kau pulang
Pesan ibu ia telah berangkat tua
Musim hujan akan datang dan orang utas
akan menjual kayu mahal sekali
Ia katakan padaku ia cemas-tiada
sempat ketemu kau pada panen yang akan datang
serta ia mau ke perumahan baru.
Karena angin telah lalu antara celah-celah atap
dan bersiul seperti lengking harimau
dalam hutan

Kalau cintamu belum ada
Di Pegunungan gadis-gadis berbesaran
dan sudah pandai berdandan
Pulanglah kawan, dan puaskan
dahaga dalam sungai kami.
Kalau ada bisikan malam hari
Jangan duga, jangan duka
Bukan anjing melalak ketiduran,
Cinta dan kasmaran lagi berperi
tentang kasih bercerai, berujuk dan duka hati,
Ah, tiada kemasgulan dan risau
biar malam-malam angin bergalau
Seluruh malam untukmu kawan,
Seluruh malam
Di pegunungan sepanjang tahun kayu-kayu berbunga
dan cinta bersih karena jauh dari kota
Ibu berpesan jangan berkubur di sini
jangan mati di pantai, karena lanun datang dari pulau
dan orang suci tidak turun
dari pegunungan kemari
Pulanglah kawan, pulanglah kawan,
Ibumu telah berpesan.

Orang asing jangan berdiri di ambang pintu
Aku hidup depan pintu terbuka,
Di belakangmu jalan, batas entah di mana,
Kau datang terlampau senja.

Kisahmu bagiku hanya kenangan
Karena kau tentang mati toh telah bicara,
Kembalilah pulang
Kabarkan:
Sajak terakhir akan lahir di dasar lautan.

Sumber: Majalah Zenith (Januari, 1951)

Analisis Puisi:

Puisi "Orang dari Gunung" karya Asrul Sani adalah sebuah karya yang menyiratkan pesan mendalam tentang akar budaya, kesadaran diri, cinta yang bersahaja, dan panggilan untuk pulang ke jati diri. Dalam gaya naratif yang khas dan penuh simbolisme, puisi ini membawa pembaca ke dalam perenungan tentang perbedaan antara kehidupan kota dan gunung, serta makna pulang yang lebih dari sekadar fisik, melainkan juga spiritual.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah panggilan untuk kembali ke akar atau jati diri. Tema lain yang menyertai adalah kesederhanaan hidup, cinta yang bersih, dan penolakan terhadap modernitas yang tercemar.

Puisi ini bercerita tentang seseorang dari gunung yang datang menyampaikan pesan dari sang ibu, yang merindukan anaknya untuk pulang karena usia senja telah mendekat. Orang dari gunung ini juga menyampaikan bahwa kehidupan di pegunungan masih murni dan bersih, jauh dari kebisingan dan kerusakan kota.

Namun, ia mendapati bahwa kedatangannya mungkin sudah terlambat, karena yang dituju telah begitu larut dalam kehidupan kota yang asing dan tidak bersahabat. Pada akhirnya, ia menyadari bahwa pesannya mungkin tidak bisa mengubah apa-apa, dan ia menyuruh si “orang asing” untuk kembali dengan kabar terakhir: “Sajak terakhir akan lahir di dasar lautan” — yang mungkin menjadi metafora dari hilangnya nilai-nilai luhur dan tenggelamnya identitas.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini sangat dalam, antara lain:
  • Ajakan untuk kembali ke nilai-nilai hidup yang murni dan bersahaja.
  • Kritik terhadap kehidupan kota yang penuh kemunafikan, keterasingan, dan kehilangan makna cinta sejati.
  • Penyesalan bahwa banyak orang telah kehilangan arah dan terlalu larut dalam modernitas sehingga lupa pada asal-usulnya.
  • Pesan spiritual bahwa hidup memiliki akar dan arah, dan kematian pun harus disambut di tempat yang benar, secara spiritual dan kultural.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini melankolis, reflektif, dan penuh kerinduan. Ada juga kesan getir dan penyesalan, terutama ketika si pembicara menyadari bahwa orang yang dituju sudah “terlampau senja” dalam kehidupannya—sebuah metafora bahwa ia mungkin sudah terlalu jauh untuk bisa kembali.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

  • Jangan lupa pada asal-usulmu dan orang tuamu, karena mereka adalah bagian penting dari siapa dirimu.
  • Kehidupan sederhana yang jauh dari hiruk-pikuk kota menawarkan ketulusan dan kedamaian sejati.
  • Jangan menunda-nunda untuk kembali sebelum terlambat, karena waktu tidak selalu memberi kesempatan kedua.
  • Cinta dan kehidupan yang murni sering ditemukan bukan di tempat gemerlap, tapi di kesunyian yang jujur.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji alam dan suasana batin, antara lain:
  • "Kayu-kayu berbunga", "cinta bersih", "sungai kami" → menggambarkan kemurnian hidup di pegunungan.
  • "Senja bermuram durja", "angin bersiul seperti lengking harimau", "rumah dengan celah atap" → menciptakan suasana sunyi, tua, dan getir.
  • "Sajak terakhir akan lahir di dasar lautan” → imaji yang abstrak namun kuat, melukiskan kematian nilai-nilai atau akhir dari perjalanan batin.

Majas

Beberapa majas penting dalam puisi ini:
  • Personifikasi: "Angin bersiul seperti lengking harimau”, memberi kesan mencekam dan hidup pada alam.
  • Metafora: "Sajak terakhir akan lahir di dasar lautan” sebagai simbol dari keheningan terakhir atau kehancuran eksistensial.
  • Hiperbola: “Seluruh malam untukmu, kawan”, memperkuat kesan kesungguhan dalam ajakan pulang.
  • Repetisi: “Pulanglah kawan” diulang untuk menekankan urgensi dan emosi dari ajakan tersebut.
Puisi "Orang dari Gunung" karya Asrul Sani merupakan karya yang padat makna dan penuh perenungan. Melalui bahasa puitis yang kuat, puisi ini menyampaikan kerinduan akan kesederhanaan, ketulusan, dan jati diri yang mulai terabaikan. Dengan nuansa alam pegunungan yang dijadikan simbol kemurnian, dan kota sebagai simbol keterasingan, puisi ini mengajak pembacanya untuk merenung: ke mana arah hidup kita sebenarnya, dan apakah kita masih bisa pulang sebelum semuanya terlambat?

Asrul Sani
Puisi: Orang dari Gunung
Karya: Asrul Sani

Biodata Asrul Sani:
  • Asrul Sani lahir pada tanggal 10 Juni 1926 di Sumatera Barat.
  • Asrul Sani meninggal dunia pada tanggal 11 Januari 2004 (ada usia 77 tahun) di Jakarta, Indonesia.
  • Asrul Sani adalah salah satu pelopor Angkatan '45 (bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin).
© Sepenuhnya. All rights reserved.