Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Pancaroba (Karya Herwan FR)

Puisi “Pancaroba” karya Herwan FR bercerita tentang seorang aku-lirik yang menyaksikan perubahan musim dan menyadari bahwa hewan-hewan lebih bijak ...
Pancaroba

Burung-burung lebih paham akan arah yang
Mesti dituju ketika ranting dan semak berubah
Warna, juga hewan-hewan itu telah melejitkan
Tungkainya dengan amat gesit.
Tetapi di sini,
Di mana tongkat tumbuh jadi tunas, dan guyur
Hujan tanpa jarak, aku termangu membaca isyarat
Hidup yang sungguh tiba-tiba menjadi sangat tak
Jelas ini.

Mungkin aku kini telah sampai ke Armenia*
Dan inilah perahu raksasa itu.
Seperti tiba dari Masa lalu.
Meluncur tanpa arah dan peta.
Kitakah Penumpang itu?
Siapa dan di mana para pendayung,
Ataukah hanya musim tempat lengan kita bergelayut
Dengan otot-otot lunglai?

Sungguh, lebih paham burung akan pergantian
Musim dan cuaca.
Pasang dan surutnya gelombang laut.

Tenang dan badainya biru langit.
Yang demikianlah,
Adalah kehendak Allah semata.

Bandung, 1998
Catatan:
  • Armenia: pulau, tempat Nabi Nuh terdampar.

Analisis Puisi:

Puisi “Pancaroba” karya Herwan FR adalah sebuah perenungan eksistensial di tengah perubahan zaman dan kondisi yang tak menentu. Mengambil titik tolak dari simbol perubahan alam seperti hujan, hewan-hewan, dan arah angin, penyair membandingkan kemampuan alami makhluk hidup dalam membaca tanda-tanda alam dengan kebingungan manusia yang justru kerap kehilangan arah dalam pusaran waktu dan sejarah.

Tema

Tema utama puisi ini adalah ketidakpastian hidup dalam masa perubahan (pancaroba), baik perubahan alamiah maupun simbolis, seperti zaman atau kondisi sosial. Penyair menyuguhkan gambaran tentang manusia yang kehilangan kepekaan dalam membaca tanda-tanda zaman, berbanding terbalik dengan makhluk lain yang justru peka terhadap perubahan.

Tema ini juga merangkul refleksi spiritual dan eksistensial, seperti terlihat dalam penyebutan kehendak Tuhan sebagai penentu segala kejadian, menandai relasi antara ketidakpastian manusia dengan kepastian Ilahi.

Makna Tersirat

Di balik deskripsi perubahan musim dan kegalauan manusia, puisi ini menyimpan makna tersirat tentang krisis orientasi hidup. Manusia digambarkan sebagai makhluk yang kehilangan kemampuan membaca arah, bahkan di tengah tanda-tanda perubahan yang nyata. Berbeda dengan burung dan binatang lainnya yang secara naluriah tahu kapan harus bermigrasi, manusia terjebak dalam kebingungan dan ketidakjelasan arah hidupnya.

Referensi ke Armenia dan perahu raksasa mengacu pada kisah Nabi Nuh dan banjir besar. Ini menjadi alegori tentang kehancuran besar dan upaya penyelamatan, seolah kita tengah berada dalam fase serupa—perubahan besar yang membawa ancaman dan ketidakpastian, namun juga mungkin menjadi kesempatan untuk memulai kembali.

Puisi ini bercerita tentang seorang aku-lirik yang menyaksikan perubahan musim dan menyadari bahwa hewan-hewan lebih bijak dan siap menghadapi perubahan dibanding dirinya sendiri. Ia merasa tertinggal dalam ketidaktahuan dan ketidakpastian, seakan ia dan orang-orang sekitarnya sedang berada dalam bahtera Nabi Nuh tanpa tahu ke mana arah tujuannya. Dalam narasi ini, perahu menjadi simbol kehidupan manusia modern yang melaju tanpa kendali atau pedoman.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah murung, gamang, dan reflektif. Pembaca diajak masuk ke dalam dunia yang kabur antara realitas dan metafora, di mana perubahan musim menjadi metafora atas perubahan hidup yang tak bisa sepenuhnya dipahami.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan utama yang ingin disampaikan dalam puisi ini antara lain:

  • Kita harus belajar dari alam tentang bagaimana membaca dan menyikapi perubahan. Alam, melalui burung dan hewan-hewan lainnya, menunjukkan respons yang wajar dan tepat terhadap perubahan. Manusia, yang merasa paling rasional, justru sering tersesat dalam kompleksitas hidupnya sendiri.
  • Ketidaktentuan hidup adalah bagian dari rencana Ilahi yang tidak sepenuhnya bisa kita pahami. Baris akhir “Adalah kehendak Allah semata” menegaskan bahwa di tengah kekacauan dan ketidaktahuan, masih ada ketetapan yang pasti: kehendak Tuhan.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji alam dan spiritual, antara lain:
  • Visual: “ranting dan semak berubah warna”, “tungkainya melejit”, “guyur hujan tanpa jarak”, “perahu raksasa itu”.
  • Auditif: meski tidak dominan, bunyi hujan dan keheningan musim perubahan bisa terbayang dari suasana larik-lariknya.
  • Spiritual: bayangan tentang Armenia sebagai tempat Nabi Nuh terdampar memberi imaji tentang keselamatan yang datang setelah bencana besar.

Majas

Beberapa majas penting yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi: “burung-burung lebih paham” → memberikan kemampuan berpikir kepada hewan; “guyur hujan tanpa jarak” → menggambarkan hujan seperti entitas yang menyerbu dengan intensitas total.
  • Metafora: “perahu raksasa” sebagai metafora dari kehidupan yang tak tentu arah; “Armenia” sebagai lambang tempat keselamatan spiritual atau sejarah besar.
  • Simile implisit: “Seperti tiba dari Masa lalu” → perahu digambarkan seperti sesuatu yang meluncur tanpa arah, seolah-olah waktu tidak berjalan linear.
  • Ironi: Ironi tercipta dari perbandingan antara manusia dan burung. Yang dianggap lebih rendah dalam hirarki kognitif justru lebih bijak membaca isyarat perubahan.
Puisi “Pancaroba” karya Herwan FR adalah kontemplasi dalam senyap atas kehidupan yang berubah cepat dan sering kali membuat manusia kehilangan arah. Dengan membandingkan manusia dengan makhluk hidup lain yang lebih intuitif dalam menyikapi musim, penyair mengajak pembaca merenung: apakah kita benar-benar makhluk paling bijak, atau justru paling bingung dalam menghadapi perubahan?

Puisi ini membentangkan lanskap yang luas: dari ranting-ranting yang berubah warna, guyuran hujan tanpa jeda, hingga perahu besar yang terombang-ambing tanpa peta. Semua itu menjadi simbol atas kegelisahan zaman, keterasingan manusia, dan kebutuhan untuk kembali pada kepekaan spiritual yang telah lama hilang.

Melalui narasi yang menggabungkan elemen ekologis, spiritual, dan eksistensial, Herwan FR menyampaikan pesan yang mendalam: bahwa dalam setiap pancaroba, kita tak hanya diuji dalam jasad, tapi juga dalam jiwa.

Puisi: Pancaroba
Puisi: Pancaroba
Karya: Herwan FR

Biodata Herwan FR:
  • Herwan FR lahir di Cerebon, pada tanggal 14 Juni 1971.
© Sepenuhnya. All rights reserved.