Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Perjalanan Kabut (Karya Sulaiman Juned)

Puisi “Perjalanan Kabut” karya Sulaiman Juned bercerita tentang seorang tokoh liris yang bepergian dari satu kota ke kota lain — dari tanah ...
Perjalanan Kabut

Banda Aceh:
Gerimis
mengantar malam. Sementara
hujan membasuh rindu
tumpah ke samudera
hati.

Saree:
Sunyi
mengantar gigil
pada mimpi tak berujung
perjalanan ini mestikah
dihentikan.

Sigli:
Segumpal
kalbu jatuh kadang meruncing
menikam-nikam hingga beranak
duri dalam daging.

Beureunuen:
Melewati
tanah kelahiran. Hilang
rasa di pekat malam
segala petuah dan cinta
terkuburkan.

Biruen:
Tak
ada lagi yang melantunkan syair
seperti awan di tiup angin
terburai entah kemana.

Takengon:
Sepucuk
rindu menggelegak. Ingin
cepat bertemu Emak
melepaskan galau
yang sesak.
Padang Panjang:
menghabiskan
malam dalam senyum
beku waktu. Aku belajar mengeja
cinta pada selembar daun jadi cerita di ruang
senja.

Jakarta:
Terkurung
keramaian seperti menghirup asap
di hati terkadang jadi api. Aku
ingat kampung. masa kecil yang indah
selepas ngaji membaca Hikayat Prang Sabi
memaknai penyerahan diri. Merindui Allah
masa remaja penuh gairah memilih rumah tempat berteduh
membawa pulang mawar membagi keluh kesah. Becermin
pada kesetiaan Adam-Hawa.

Solo:
Tempat
menjaring segala ingin
jadikan pagi menjemput matahari
bawa ke kamar cinta, Ah!

: segala cahaya turun atas izin-Nya.

Indonesia, 2018

Analisis Puisi:

Puisi “Perjalanan Kabut” karya Sulaiman Juned adalah bentuk puitik dari perjalanan batin, rindu kampung halaman, dan pencarian makna hidup dalam dunia yang berubah. Karya ini bukan hanya catatan perjalanan geografis dari satu kota ke kota lain — dari Banda Aceh hingga Solo — tetapi juga peta spiritual dan emosional seorang penyair dalam menyusuri waktu, kenangan, dan kesadaran akan Tuhan.

Melalui pengamatan puitik yang peka dan intens, Sulaiman Juned menciptakan suasana khas yang memadukan kesunyian, kenangan masa kecil, kegelisahan jiwa, dan harapan religius.

Tema: Rindu, Identitas, dan Perjalanan Spiritual

Tema utama puisi ini adalah rindu akan kampung halaman dan masa lalu, yang berpadu erat dengan pencarian jati diri dan makna hidup. Penyair menelusuri berbagai kota sebagai simbol-simbol tempat kenangan dan proses pencarian makna.

Selain itu, tema spiritualitas sangat kuat, terutama di bagian yang menyebut tentang “membaca Hikayat Prang Sabi”, “memaknai penyerahan diri”, dan refleksi tentang kesetiaan Adam-Hawa. Ini menandakan bahwa perjalanan fisik ini sejatinya adalah perjalanan menuju kesadaran akan Tuhan dan makna cinta yang suci.

Makna Tersirat: Perjalanan sebagai Tafsir Kehidupan dan Keberagamaan

Puisi ini menyiratkan bahwa setiap tempat yang dilalui — Banda Aceh, Saree, Sigli, Beureunuen, Biruen, Takengon, Padang Panjang, Jakarta, hingga Solo — adalah simbol dari fase-fase kehidupan, dari masa kecil yang polos hingga kedewasaan yang getir dan spiritual.
  • Di Banda Aceh, hujan “membasuh rindu” — tanda dari awal perjalanan penuh harapan.
  • Di Jakarta, “keramaian seperti asap di hati” — menggambarkan alienasi dan kerinduan spiritual.
  • Di Padang Panjang, penyair “belajar mengeja cinta” — proses refleksi emosional yang dalam.
Makna tersiratnya adalah bahwa identitas diri tidak hanya dibentuk oleh ruang geografis, tetapi oleh rasa, pengalaman, dan hubungan spiritual yang kita bangun sepanjang hidup.

Unsur Puisi: Struktural dan Estetika

  • Bentuk dan Struktur: Puisi ini terdiri dari beberapa segmen lokasi yang diatur secara bebas, masing-masing seperti potongan prosa liris yang membentuk satu perjalanan utuh. Struktur ini mencerminkan bentuk puisi naratif reflektif.
  • Tipografi dan enjambemen: Baris-baris pendek dan kadang hanya satu kata menciptakan ritme kontemplatif. Tipografi ini memperkuat kekuatan visual dan emosi dari setiap fragmen tempat.
  • Bahasa: Diksi khas Melayu dan Indonesia bercampur dengan kosa kata puitis dan spiritual, seperti: gerimis, sunyi, petuah, senja, kabut, cinta, syair, Prang Sabi, Adam-Hawa.
Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh liris yang bepergian dari satu kota ke kota lain — dari tanah kelahiran hingga pusat-pusat peradaban — sambil merekam jejak emosi dan spiritualitasnya. Ini bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan ziarah batin seorang perantau yang selalu terhubung pada akar identitasnya (Aceh) dan rindunya pada ibu, kampung, masa kecil, serta Tuhan.

Suasana dalam Puisi: Melankolis, Kontemplatif, dan Sakral

Suasana puisi ini terbentuk dari melankolia dan kesunyian, misalnya dalam bagian:

“Segumpal kalbu jatuh kadang meruncing / menikam-nikam hingga beranak / duri dalam daging.”

Ada pula suasana spiritual dan sakral, seperti di bagian:

“selepas ngaji membaca Hikayat Prang Sabi / memaknai penyerahan diri.”

Dan pada bagian penutup:

“segala cahaya turun atas izin-Nya”

menghadirkan suasana kepasrahan dan ketundukan kepada kehendak ilahi.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan utama dari puisi ini adalah:
  • Jangan melupakan akar dan asal-usul kita, meskipun kita jauh merantau.
  • Kampung halaman dan masa kecil menyimpan nilai yang membentuk karakter dan identitas diri.
  • Perjalanan hidup adalah medan tafsir untuk merenungi cinta, kehilangan, kesetiaan, dan Tuhan.
  • Rasa rindu adalah jembatan antara dunia nyata dan spiritual — ia bisa membawa kita kembali pulang, bukan hanya secara fisik, tapi secara batin.

Imaji: Kabut, Hujan, Kalbu, Syair, dan Senja

Puisi ini kaya akan imaji alam dan batin:
  • Kabut dan gerimis — simbol perasaan samar, keraguan, atau kesedihan yang lembut.
  • Duri dalam daging — imaji sakit dan luka emosional.
  • Membaca Hikayat Prang Sabi — imaji budaya religius yang kuat khas Aceh.
  • Sepucuk rindu menggelegak — metafora emosional yang sangat kuat menggambarkan rindu yang mendesak.
Setiap tempat menghadirkan imaji yang khas dan berfungsi sebagai jendela menuju batin sang penyair.

Majas: Metafora, Personifikasi, Simbolisme

Metafora:
  • “Segumpal kalbu jatuh kadang meruncing” — hati yang sakit dan meruncing seperti senjata.
  • “Membaca cinta pada selembar daun” — proses belajar mencintai dari hal yang paling sederhana.
Personifikasi:
  • “Tak ada lagi yang melantunkan syair seperti awan di tiup angin” — awan dipersonifikasikan sebagai penjaga puisi yang kini menghilang.
Simbolisme:

Setiap kota adalah simbol fase hidup atau emosi:
  • Banda Aceh = permulaan, rindu.
  • Sigli = luka hati.
  • Jakarta = keramaian yang mengasingkan.
  • Solo = tempat “menjaring segala ingin” — simbol cinta dan rekonsiliasi spiritual.
Puisi “Perjalanan Kabut” karya Sulaiman Juned adalah karya yang menyatukan kekayaan pengalaman geografis, kultural, dan spiritual dalam lirik puitis yang lembut namun mendalam. Melalui setiap kota, penyair menghadirkan jejak kenangan, kesakitan, dan kerinduan, namun di ujung perjalanan, yang tersisa adalah kesadaran akan Tuhan, cinta, dan arti pulang yang sejati.

Dengan simbol-simbol kabut, hujan, syair, dan senja, puisi ini menekankan bahwa hidup bukan hanya tentang ke mana kita pergi, tapi bagaimana kita menafsirkan setiap jejak — baik yang terang maupun yang kabur.

Sulaiman Juned
Puisi: Perjalanan Kabut
Karya: Sulaiman Juned
© Sepenuhnya. All rights reserved.