Sajakku
Sekalipun aku tak tinggal di kota
sajakku
kau dan aku tetap seibu
di malam ragu
kau dan aku tak akan terpenjara.
tak ada pujianku untukmu
sajakku
tapi kau tak akan kucuaikan
aku tetap memberimu jalan
demi kepercayaanku
kau tak akan kutinggalkan.
hidup biar jauh dari pujian
kata-kata manis cuma melenakan
aka tak mahu mengatup mata takut
sajakku
sebelum mentari pagi keluar ghairah
kita sudah sedia segar
kita terus menjiwai jiwa
hidup bugar, selamat
sajakku yang gelisah.
Sumber: Horison (Desember, 1990)
Analisis Puisi:
Puisi berjudul “Sajakku”
karya Abdul Ghafar Ibrahim merupakan refleksi mendalam tentang relasi seorang penyair dengan karyanya—sebuah hubungan yang melampaui tempat tinggal, pujian, dan ketenaran. Puisi ini menunjukkan bagaimana sebuah sajak tidak hanya sekadar rangkaian kata, tetapi perpanjangan dari jiwa dan keyakinan sang penyair.
Tema
Tema utama dari puisi ini adalah kesetiaan penyair terhadap idealisme dan karyanya sendiri, terlepas dari pengakuan eksternal seperti pujian atau popularitas. Sajak diposisikan bukan sebagai objek kebanggaan kosong, melainkan sebagai manifestasi kepercayaan diri dan integritas batin.
Makna Tersirat
Puisi ini menyiratkan bahwa nilai sejati sebuah karya bukan ditentukan oleh pujian atau ketenaran, melainkan oleh kejujuran dan keberanian menyuarakan nurani. Di balik ungkapan bahwa ia tidak akan "memuji" sajaknya, tersirat bahwa sajak lahir bukan untuk dielu-elukan, melainkan untuk menjalankan fungsi kebenaran dan perlawanan terhadap kelumpuhan batin dan kepalsuan hidup.
Puisi ini bercerita tentang hubungan batin antara penyair dengan puisinya, di mana sajak bukan benda mati yang bisa disanjung atau ditinggalkan begitu saja. Sajak adalah perpanjangan dari jiwa, mitra dalam perlawanan hidup, dan bukti dari komitmen terhadap suara hati. Penyair menyatakan bahwa sajaknya akan tetap berjalan bersamanya, bahkan dalam gelisah sekalipun.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah reflektif, tenang, namun mengandung keteguhan batin. Ada perasaan gelisah yang disadari, tetapi juga keteguhan dalam memilih jalan yang benar—sebuah semangat eksistensial yang kuat.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan bahwa kejujuran dalam berkarya lebih penting daripada pujian yang membius. Penyair tidak boleh terbuai oleh sanjungan, melainkan harus setia pada visi dan suara batinnya. Meski tidak tinggal di kota—mungkin simbol dari pusat perhatian atau pusat kekuasaan—penyair dan sajaknya tetap memiliki identitas dan makna.
Imaji
Imaji dalam puisi ini muncul dalam bentuk abstrak dan konseptual, misalnya:
- “sebelum mentari pagi keluar ghairah / kita sudah sedia segar” – menghadirkan bayangan kesiapan dan semangat baru menyongsong hari.
- “sajakku yang gelisah” – memberi kesan bahwa sajak bukan sekadar teks, tetapi makhluk hidup yang turut merasakan dunia.
Majas
Puisi ini menggunakan beberapa majas penting:
- Personifikasi: sajak dipersonifikasikan seolah makhluk hidup yang bisa diberi jalan, tidak dicuaikan, tidak ditinggalkan, bahkan “gelisah.”
- Metafora: "tak akan terpenjara", "kata-kata manis cuma melenakan" digunakan sebagai gambaran sikap ideologis sang penyair terhadap kehidupan dan karya.
- Anafora: pengulangan kata “sajakku” di awal beberapa baris memperkuat fokus dan penekanan.
Puisi “Sajakku” karya Abdul Ghafar Ibrahim adalah puisi yang sederhana dalam tampilan, tetapi mendalam dalam makna. Ia menegaskan bahwa kesetiaan terhadap suara batin dan karya sendiri jauh lebih berharga daripada ketergantungan pada pujian luar. Melalui personifikasi sajak sebagai sahabat, rekan perjuangan, bahkan sebagai cerminan kegelisahan batin, puisi ini mengajak pembaca—terutama para penulis—untuk tetap teguh dan jujur dalam mencipta.
Karya: Abdul Ghafar Ibrahim
Biodata Abdul Ghafar Ibrahim:
- Abdul Ghafar Ibrahim lahir pada tanggal 31 Agustus 1943 di Kampung Sesapan Batu Minangkabau, Beranang, Selangor, Malaysia.
- Disamping menulis puisi, Abdul Ghafar Ibrahim juga melukis.