Analisis Puisi:
Puisi “Salak” karya Abdul Wachid B.S. menyuguhkan sebuah perenungan yang sederhana namun tajam melalui simbol buah salak, untuk berbicara tentang keluarga, keturunan, dan proses alamiah yang membentuk kehidupan. Tersusun dalam tiga bait dengan empat baris per bait, puisi ini tidak menampilkan keindahan alam secara harfiah, melainkan menghadirkan gugatan dan permenungan mendalam tentang asal-usul dan keterkaitan manusia dalam jaringan keluarga.
Tema: Keluarga, Keturunan, dan Ketakterdugaan Asal Usul
Tema utama dari puisi ini adalah keturunan dan struktur keluarga, yang digambarkan secara metaforis melalui buah salak. Penulis mempertanyakan berapa siung dalam salak, lalu mengaitkannya dengan jumlah anak, identitas ibu, dan asal-muasal kehidupan.
Namun, ada nuansa lain yang juga muncul, yakni ketakterdugaan dalam proses lahirnya kehidupan, serta peran alam dan takdir dalam membentuk keberadaan seseorang di tengah keluarga. Dengan demikian, tema tambahan dari puisi ini adalah misteri penciptaan dan keterikatan manusia terhadap alam dan kehendak yang lebih besar.
Makna Tersirat: Siapa Kita dan Dari Mana Kita Berasal?
Makna tersirat dari puisi ini sangat dalam: bahwa manusia sering kali tidak benar-benar memahami atau menguasai asal-usulnya sendiri. Pertanyaan seperti "berapa anak kau aku" dan "siapa yang dipanggil ibu" menunjukkan adanya kekaburan identitas, baik secara biologis maupun kultural.
Baris tentang "biji salak yang dikawinkan oleh angin" menyiratkan bahwa proses kelahiran tidak selalu melibatkan kesadaran atau kehendak manusia, melainkan bisa menjadi hasil dari kejadian alam yang spontan dan tak terduga. Dari situ, muncul satu kesadaran bahwa hidup tidak sepenuhnya bisa direncanakan atau dikendalikan — bahkan dalam hal yang paling mendasar: keluarga dan asal-usul.
Unsur Puisi: Struktur, Diksi, dan Gaya Bahasa
- Struktur: 3 bait, masing-masing terdiri dari 4 baris (kuatrin), tanpa pola rima tetap.
- Diksi: lugas, sehari-hari, tapi penuh muatan filosofis. Kata-kata seperti “salak”, “siung”, “biji”, “angin”, dan “ibu” diangkat dari dunia nyata namun dipakai dalam makna simbolis.
- Gaya puitis: minimalis namun reflektif, khas puisi kontemporer yang menyampaikan kritik dan kontemplasi dalam bentuk pendek.
Puisi ini bercerita tentang dua sosok (“kau” dan “aku”) yang merenungi struktur keluarganya — siapa ibu mereka, berapa anak yang ada, dan bagaimana mereka bisa ada. Gambaran buah salak digunakan sebagai analogi: kita tidak pernah tahu pasti berapa siung dalam satu buah salak, seperti halnya kita tidak pernah tahu dengan pasti jumlah dan komposisi relasi keluarga yang mungkin kompleks, tersembunyi, atau bahkan ambigu.
Proses terjadinya kehidupan pun diceritakan secara metaforis: biji salak yang dikawinkan oleh angin, sebuah cara puitik untuk menunjukkan proses alamiah, spontan, dan tak terduga dalam lahirnya kehidupan.
Suasana dalam Puisi: Kontemplatif, Teka-Teki, dan Sedikit Melankolis
Meskipun tidak secara eksplisit menyuarakan emosi, suasana puisi ini mengandung nada kontemplatif dan penuh tanya. Ada semacam kebingungan atau keterkejutan terhadap asal-usul, dengan nuansa melankolis dan absurd yang samar. Puisi ini tidak marah, tidak sedih, tapi menggelitik kesadaran dan rasa ingin tahu, terutama tentang identitas dan warisan keluarga.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang bisa ditarik dari puisi ini antara lain:
- Manusia sering tidak tahu asal-usulnya secara utuh, dan itu adalah bagian dari kodrat.
- Keluarga tidak selalu tersusun secara jelas dan rapi; terkadang terbentuk oleh peristiwa-peristiwa tak terduga, bahkan oleh “angin”.
- Hidup, seperti buah salak, terdiri dari bagian-bagian yang saling terhubung, tapi tak selalu bisa diprediksi jumlah dan posisinya.
- Kita perlu menerima misteri dalam kehidupan — bahwa tidak semua bisa dijelaskan atau dikuasai secara logis.
Imaji: Salak, Siung, Biji, dan Angin
Puisi ini mengandalkan imaji sederhana dari alam, yang berhasil membentuk metafora filosofis:
- Salak dan siungnya: menjadi lambang keluarga atau keturunan, dengan karakteristik berdesakan dan jumlah yang tidak bisa diduga.
- Biji salak: sebagai sumber kehidupan yang bisa tumbuh menjadi salak baru.
- Angin: sebagai kekuatan alam tak kasatmata, yang menyebabkan perkawinan atau pembuahan — metafora untuk takdir atau campur tangan kekuatan luar dalam kehidupan manusia.
Imaji yang digunakan sangat khas Indonesia dan membumi, namun maknanya bersifat universal.
Majas: Metafora, Personifikasi, dan Ironi Terselubung
Metafora:
- “Seperti salak” — buah salak dijadikan metafora utama untuk struktur dan keturunan dalam keluarga.
- “Dikawinkan oleh angin” — bukan perkawinan dalam arti biologis biasa, melainkan simbol dari peristiwa luar yang memicu lahirnya kehidupan.
Personifikasi:
- Angin diberi kuasa seperti manusia: bisa “mengawinkan”.
Ironi:
- Ada ironi dalam membicarakan sesuatu yang seharusnya sakral (kelahiran, ibu, keluarga) dengan nada yang hampir seperti lelucon suram — menyiratkan kebingungan atau absurditas dalam struktur sosial dan biologis.
Puisi “Salak” karya Abdul Wachid B.S. merupakan puisi pendek yang menyentil kesadaran pembaca akan betapa kompleks dan misteriusnya asal-usul manusia, keluarga, dan kehidupan. Dengan hanya memanfaatkan simbol buah salak dan metafora biji serta angin, penyair berhasil membangun refleksi eksistensial tentang bagaimana manusia hadir di dunia — dan betapa sedikit yang benar-benar ia pahami tentang proses itu.
Melalui bentuk yang ringkas, puisi ini menantang pembaca untuk berpikir lebih dalam tentang apa makna keluarga, siapa ibu, dan bagaimana kehidupan muncul begitu saja, kadang tanpa kehendak, tanpa rencana.
Karya: Abdul Wachid B. S.