Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sebuah Pantai dalam Sebuah Menhir (Karya Aslan Abidin)

Puisi “Sebuah Pantai dalam Sebuah Menhir” karya Aslan Abidin bercerita tentang seseorang (aku-lirik) yang merenungi masa lalu bersama seseorang ...
Sebuah Pantai dalam Sebuah Menhir

di pantai tempat kau pernah menyerahkan tubuhmu
kepada matahari, dan pada pasir di mana pernah tergenang sumsumku.
gerimis terus menimbun jejak-jejak kakimu.
juga masih ada angin yang menyimpan lipatan wangi rongga dadamu
seperti tertinggal sepenggal pegal di situ. tapi kau,
seperti gelombang, tak pernah datang dari tempat beranjak.

tak pernah mampu kupahami pantai ini. yang menguburmu,
menenggelamkan laut di matamu.

"di pantai ini, kita hanya menunggu giliran dikubur. jadi berhentilah
mengenang buah dadaku," ucapmu.

ketika itu, aku membuat dua gundukan di
pasir dan kuletakkan bulatan coklat kecil di atasnya. tapi
itu dulu, saat pantai belum ditanami
beton

Makassar, 1995

Sumber: Horison (Agustus, 2000)

Analisis Puisi:

Puisi “Sebuah Pantai dalam Sebuah Menhir” karya Aslan Abidin merupakan puisi yang padat makna dan emosional. Penuh dengan simbol dan metafora, puisi ini menyelami hubungan yang kompleks antara tubuh, kenangan, kehilangan, dan waktu. Lewat bahasa puitis yang intens dan visual, Aslan Abidin menciptakan sebuah atmosfer yang sarat kerinduan, luka, dan kesia-siaan dalam menghadapi sesuatu yang tak bisa diulang atau dikembalikan.

Tema: Kenangan Tubuh dan Ingatan yang Terkubur

Puisi ini mengangkat tema utama tentang kehilangan dan kenangan yang membekas dalam tubuh dan tempat. Pantai dalam puisi ini bukan hanya tempat fisik, melainkan ruang simbolik di mana tubuh, emosi, dan memori pernah bersatu. Tapi waktu telah mengubur semua itu — baik oleh gerimis, angin, maupun beton — dan yang tertinggal hanyalah jejak samar dan rasa perih yang tak bisa diungkap sepenuhnya.

Selain itu, tema ketidakmampuan memahami atau mempertahankan apa yang pernah indah juga menonjol. Pantai yang dulu penuh pengalaman kini berubah menjadi tempat kosong, beku, bahkan mati — karena perubahan zaman atau karena relasi yang telah usai.

Makna Tersirat: Relasi yang Tak Bisa Diulang dan Ingatan yang Tak Terpahami

Makna tersirat dalam puisi ini sangat dalam dan melankolis. Ada pengakuan tentang ketidakberdayaan dalam memahami atau mempertahankan relasi yang pernah begitu intim. Kalimat:

“tak pernah mampu kupahami pantai ini. yang menguburmu,
menenggelamkan laut di matamu.”

mengandung makna bahwa tempat yang dahulu menyatukan kini justru menjadi ruang perpisahan. Kata “pantai” berubah dari ruang kenangan sensual menjadi simbol kematian ingatan dan hilangnya makna cinta. Bahkan suara perempuan dalam puisi mengatakan:

“di pantai ini, kita hanya menunggu giliran dikubur. jadi berhentilah
mengenang buah dadaku”

– menunjukkan penolakan terhadap nostalgia, sekaligus memperlihatkan kesadaran pahit bahwa kenangan tubuh pun akan usang dan tak relevan.

Puisi ini bercerita tentang seseorang (aku-lirik) yang merenungi masa lalu bersama seseorang yang pernah dicintai atau sangat dekat secara fisik dan emosional. Tempat kenangan itu adalah pantai, tempat “kau pernah menyerahkan tubuhmu / kepada matahari” dan tempat “sumsumku” (jiwa terdalam sang aku) pernah tergenang di pasir.

Namun waktu berlalu. Gerimis, angin, dan perubahan alam — bahkan perubahan sosial (pantai yang “ditanami beton”) — telah menghapus jejak dan mengubah makna tempat itu. Kini, semua hanya jadi bagian dari ingatan yang ambigu, membingungkan, dan pahit.

Suasana dalam Puisi: Melankolis, Suram, dan Hampa

Suasana dalam puisi ini sangat melankolis, penuh nuansa kehilangan dan kesedihan. Kata-kata seperti “gerimis”, “menimbun jejak”, “jurang wasangka”, “tak pernah datang dari tempat beranjak”, dan “dikubur” menciptakan kesan hampa dan suram. Bahkan ada nada sinis dan getir dalam pernyataan tokoh perempuan yang menolak dikenang hanya lewat tubuhnya.

Perubahan suasana dari sensual ke sunyi, dari intim ke kehilangan, memperkuat efek emosional dari puisi ini.

Imaji: Tubuh, Alam, dan Sisa yang Tak Terjamah

Imaji dalam puisi ini sangat kuat dan sensual, namun tidak vulgar. Sebaliknya, ia hadir dalam kesedihan yang puitis:
  • “pantai tempat kau pernah menyerahkan tubuhmu kepada matahari” — imaji sensual yang mengisyaratkan momen keintiman dan kebebasan.
  • “gerimis terus menimbun jejak-jejak kakimu” — imaji visual yang memperlihatkan pelan-pelan ingatan terhapus oleh waktu.
  • “angin yang menyimpan lipatan wangi rongga dadamu” — imaji penciuman yang membangkitkan memori tubuh.
  • “dua gundukan di pasir dan bulatan coklat kecil di atasnya” — bisa dibaca sebagai representasi tubuh perempuan, dengan ironi: dibuat dalam pasir yang mudah lenyap.
Imaji dalam puisi ini tidak hanya menyentuh visual, tetapi juga mencakup bau, rasa, dan nuansa fisik yang bersifat afektif, mengaitkan tubuh dengan memori dan kerentanan.

Majas: Metafora, Personifikasi, dan Simbolisme

Beberapa majas penting dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora: “pantai” sebagai simbol ruang kenangan atau hubungan; “laut di matamu” sebagai metafora dari kedalaman perasaan atau pengalaman hidup dalam diri seseorang.
  • Personifikasi: “angin yang menyimpan lipatan wangi rongga dadamu” — angin diperlakukan sebagai entitas yang menyimpan kenangan.
  • Simbolisme: “menhir” dalam judul puisi, yang merujuk pada batu berdiri dari zaman prasejarah — menyimbolkan kenangan yang beku, keras, dan tak hidup, mungkin juga sebuah penanda kematian atau makam; “dua gundukan dan bulatan coklat kecil” — simbol tubuh yang kini hanya bisa dibentuk dalam pasir, mudah hilang.
  • Ironi: Ingatan yang begitu kuat tentang tubuh dan cinta justru mendapat penolakan dari tokoh perempuan — menjadikan nostalgia berubah menjadi luka.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa kenangan tak selalu bisa dikenang dengan indah, dan bahwa hubungan yang pernah menyatu secara tubuh pun bisa kehilangan makna seiring waktu. Bahkan tempat-tempat yang dulu sakral secara emosional pun bisa menjadi mati oleh perubahan sosial dan batin, misalnya ketika disebut:

“itu dulu, saat pantai belum ditanami beton”

Ada semacam kritik sosial terhadap modernisasi atau kekerasan realitas (beton) yang membunuh ruang-ruang sentimental dan personal. Namun lebih dari itu, puisi ini menyampaikan bahwa cinta dan tubuh pun memiliki batas dan kadaluarsa, dan nostalgia yang dipaksakan bisa menyakiti lebih dari menyembuhkan.

Puisi “Sebuah Pantai dalam Sebuah Menhir” karya Aslan Abidin adalah puisi kontemplatif yang kaya makna dan imaji. Dengan bahasa yang sensual, reflektif, dan getir, puisi ini menggambarkan kerapuhan cinta dan kenangan dalam pusaran waktu dan perubahan. Tempat yang dulu sakral kini membisu, tubuh yang dulu dicintai kini menolak dikenang, dan yang tersisa hanyalah sebuah menhir — batu diam sebagai penanda bahwa segala yang hidup pernah ada, lalu hilang.

Yudhistira A.N.M. Massardi dan Aslan Abidin
Puisi: Sebuah Pantai dalam Sebuah Menhir
Karya: Aslan Abidin

Biodata Aslan Abidin:
  • Aslan Abidin lahir pada tanggal 31 Mei 1972 di Kabupaten Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan.
© Sepenuhnya. All rights reserved.