Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Selamat Tinggal (Karya Aslan Abidin)

Puisi “Selamat Tinggal” karya Aslan Abidin bercerita tentang dua orang yang mengalami kehancuran hubungan, setelah melalui banyak luka, duka, dan ...
Selamat Tinggal

setelah botol bir, gelas, dan hati
kosong, sepi kembali mengintai.

usai sudah kita urai luka-luka,
sesakit demi sesakit. telah pula
kita rinci duka-lara, sepedih
demi sepedih.

tak berpengharap, perpisahan
menunggu tidak sabar di depan
pintu. dingin menambah kelam
serta sepi bersiap menerkam.

cinta telah memilih kita dengan
jeratnya. mengumpankan cincin
emas berkilau untuk menggoda
memasangnya kelak ke jari kita.

tetapi dengan begitu licik, cinta
lebih dulu memasang cincinnya
mencucuk hidung kita. mengikat
kita dengan rindu dan rasa takut
kehilangan.

jadi. mari, kita sentakkan putus
segala pengekang cinta. kau lepas
dan aku bebas. tak memiliki tidak
dimiliki. kita beranjak tak berbalik.

kita punggung memunggungi.
tidak perlu bersalam dan lambai
terakhir. – langit luas atas kepala,
jalan berkelok baru depan mata.

di salah satu persinggahan, kau
mungkin akan kembali bertemu
seseorang. ia sendiri, sedih dan
terlempar dari suatu perpisahan.

seperti saat kita berjumpa dulu
setelah terpental jauh dari satu
kisah pedih perpisahan.

sebab memang sudah demikian
kerja cinta. membuat pertemuan
dari perpisahan demi perpisahan.

mungkin aku akan terkenang
satu jarak pendek antara jenjang
leher dan gerai ikal rambutmu.
sebuah ruang kecil teduh tempat
aku dulu teramat berharap dapat
susupkan wajah lunglai saat-saat

malang dan terhadang nasib sulit.
malam begitu lamban beringsut
pergi dan kenangan makin kisut
terkikis waktu. – "ajal juga susut,"
katamu. — sebelum aku minggat.

Makassar, 2018

Analisis Puisi:

Puisi “Selamat Tinggal” karya Aslan Abidin adalah sebuah elegi yang menggambarkan perpisahan sebagai proses batin yang pilu, menyayat, tetapi tak terhindarkan. Bukan perpisahan yang manis atau penuh harap, melainkan perpisahan yang dingin, getir, dan diucapkan tanpa salam. Cinta yang tadinya menggoda kini terasa seperti jebakan, dan kedekatan yang dulu memberi harap kini tinggal bayang yang kabur dimakan waktu.

Tema: Perpisahan dan Kepahitan dalam Cinta

Tema utama puisi ini adalah perpisahan dalam cinta—bukan sebagai akhir yang manis, tetapi sebagai keniscayaan yang pahit, menyakitkan, dan menyisakan luka. Penyair tidak mencoba memoles kepergian dengan harapan, melainkan menghadapinya secara frontal, jujur, dan emosional.

Namun, di balik tema perpisahan itu, ada irisan tema kegetiran terhadap cinta itu sendiri, yang digambarkan tidak hanya sebagai rasa, tetapi juga sebagai jebakan atau tipu daya.

Makna Tersirat: Cinta Tidak Selalu Membebaskan

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa cinta bukan selalu kebahagiaan atau ketulusan, tetapi bisa menjadi sesuatu yang mengikat, menjerat, dan bahkan memenjarakan. Hal ini tergambar dalam metafora “cinta mencucuk hidung kita”—seolah menggiring tanpa kita sadari.

Penyair ingin menegaskan bahwa perpisahan kadang justru bentuk pembebasan, dan bahwa keberanian untuk melepaskan lebih berharga daripada bertahan dalam ikatan semu.

Puisi ini bercerita tentang dua orang yang mengalami kehancuran hubungan, setelah melalui banyak luka, duka, dan konflik emosional. Mereka duduk bersama dalam kesadaran pahit, lalu memilih untuk menyudahi semuanya.

“jadi. mari, kita sentakkan putus / segala pengekang cinta. kau lepas / dan aku bebas”

Hubungan itu tidak lagi memberi kehangatan, hanya penat dan trauma. Maka berpaling, tanpa lambaian, adalah tindakan afirmatif mereka untuk hidup yang lebih baik.

Suasana dalam Puisi: Kelam, Dingin, dan Getir

Suasana puisi ini sangat kuat, dibangun dengan imaji kesendirian, dingin, malam yang lamban, dan ruangan batin yang tertutup. Tidak ada harapan cerah atau pelipur lara. Hanya kesadaran pahit bahwa cinta kadang harus ditinggalkan, dan bahwa luka pun punya perannya dalam mengajarkan keberanian.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Beberapa pesan yang bisa ditarik dari puisi ini:
  • Cinta tidak selalu membahagiakan. Kadang ia datang dengan luka, dan harus disudahi agar tak terus menyiksa.
  • Perpisahan bisa menjadi cara untuk kembali mengenal diri dan merdeka dari belenggu.
  • Menerima bahwa perpisahan adalah bagian dari siklus hidup adalah kedewasaan.
  • Dari luka dan kejatuhan, mungkin akan lahir pertemuan baru.

Imaji: Botol bir, pintu, cincin, rambut, malam, asap

Puisi ini kaya akan imaji visual dan emosional, antara lain:
  • “botol bir, gelas, dan hati kosong” → menggambarkan kehampaan setelah pelampiasan emosi.
  • “pintu” → simbol batas antara hubungan yang hendak ditinggalkan dan dunia yang akan dijalani selanjutnya.
  • “cincin mencucuk hidung” → metafora cinta sebagai kendali atas tubuh dan kehendak.
  • “jenjang leher dan gerai ikal rambutmu” → bagian paling intim dan puitis dari kenangan cinta.
  • “malam lamban beringsut” → waktu yang terasa melambat dalam kesedihan dan penantian akhir.
Imaji dalam puisi ini bukan hanya menggambarkan benda, tetapi juga perasaan dan suasana psikologis yang kompleks.

Majas: Metafora, Personifikasi, Hiperbola, Simbolik

Puisi ini menggunakan banyak majas yang memperkaya ekspresinya:

Metafora:
  • “cinta mencucuk hidung kita” → menggambarkan cinta yang mengendalikan dan memperbudak.
  • “langit luas atas kepala, jalan berkelok baru depan mata” → simbol kebebasan dan masa depan yang tak pasti.
Personifikasi:
  • “perpisahan menunggu tidak sabar di depan pintu” → perpisahan diberi sifat manusiawi, seolah makhluk hidup yang aktif.
Hiperbola:
  • “telah pula kita rinci duka-lara, sepedih demi sepedih” → penekanan pada betapa detailnya penderitaan itu diingat.
Simbolisme:
  • Cincin → simbol ikatan, keterikatan, dan janji; diubah maknanya menjadi jerat.
Semua majas ini membentuk jaringan makna yang dalam, memperkuat emosi kesedihan, perlawanan, dan pelepasan.

Puisi “Selamat Tinggal” karya Aslan Abidin adalah puisi yang menggambarkan perpisahan bukan sebagai kehancuran, melainkan sebagai tindakan sadar dan pembebasan. Ia menolak romantisasi cinta yang mengekang, dan menawarkan kebebasan sebagai bentuk cinta terhadap diri sendiri.

Dengan gaya bahasa yang langsung, imaji yang tajam, dan nada yang reflektif, puisi ini menunjukkan bahwa tidak semua yang manis harus dipertahankan, dan bahwa perpisahan yang pahit bisa menjadi pintu menuju hidup yang lebih utuh.

Yudhistira A.N.M. Massardi dan Aslan Abidin
Puisi: Selamat Tinggal
Karya: Aslan Abidin

Biodata Aslan Abidin:
  • Aslan Abidin lahir pada tanggal 31 Mei 1972 di Kabupaten Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan.
© Sepenuhnya. All rights reserved.