Sumber: Sebelum Tidur (1977)
Catatan:
Puisi Senja yang Biru sebelumnya pernah muncul di Horison Edisi September, 1972. Namun larik-lariknya tidak utuh sama seperti yang di buku Sebelum Tidur (1977).
Analisis Puisi:
Puisi "Senja yang Biru" karya Budiman S. Hartoyo adalah karya liris yang sarat emosi, atmosfer, dan simbolisme warna. Dalam puisi ini, penyair menghadirkan senja sebagai titik puncak emosi—waktu transisi yang sarat makna, di mana segala sesuatu yang terang mulai meredup dan membawa serta rasa kehilangan, duka, dan kesendirian.
Tema
Tema utama dari puisi ini adalah duka dan kesedihan yang melekat dalam kenangan dan peristiwa hidup. Warna biru dalam judul dan berbagai bagian puisi menjadi lambang suasana hati yang melankolis, bahkan depresif. Senja menjadi latar yang melukiskan akhir atau perpisahan—baik secara emosional, eksistensial, maupun spiritual.
Puisi ini bercerita tentang perasaan duka yang mendalam, datang bersama senja, dan menyatu dengan alam yang muram. Penyair memanggil-manggil duka seperti teman lama yang akan "mendarat", menunjukkan betapa akrabnya tokoh lirik dengan kesedihan itu. Ia tidak menolak duka, bahkan menyambutnya sebagai bagian dari keberadaan.
Dalam bait-bait akhir, muncul sosok misterius yang menari-nari di padang, memacu duka, seakan menjadi pemicu atau bayangan masa lalu yang tak terhapus. Ini menjadikan puisi terasa sangat personal dan simbolik.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini sangat mendalam:
- Duka bukan hanya rasa sakit, tetapi juga kenangan, kesadaran, dan bagian dari siklus hidup.
- Senja menjadi metafora waktu peralihan: dari terang ke gelap, dari kehidupan ke kehampaan atau perpisahan.
- Sosok yang “menari-nari di padang hijau” bisa dimaknai sebagai kenangan yang menyala kembali, menyulut luka yang belum sembuh.
Penyair juga mengisyaratkan bahwa kesedihan bukanlah tamu, tetapi sesuatu yang tinggal selamanya—dalam “biru”, dalam waktu, dalam kenangan.
Suasana dalam Puisi
Puisi ini memancarkan suasana muram, sendu, dan melankolis. Kata-kata seperti “letih”, “luka”, “duka”, “nestapa”, “pucat”, dan “derita” menciptakan atmosfer emosional yang sangat gelap. Bahkan warna alam—langit, senja, dan rumput—diresapi oleh emosi si tokoh lirik, menunjukkan keharmonisan antara batin dan semesta dalam kesedihan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang tersirat dari puisi ini adalah:
- Kesedihan adalah bagian dari kehidupan yang harus diakui, bukan disangkal.
- Keindahan pun bisa ditemukan dalam momen perpisahan dan duka, sebagaimana senja yang biru bisa begitu menyentuh.
- Kita tidak bisa lari dari duka; yang bisa kita lakukan adalah merangkulnya, memaknainya.
Imaji
Puisi ini penuh dengan imaji visual dan auditori yang kuat, seperti:
- “Mentari luka, meleleh di balik senja biru” – gambaran visual yang menyedihkan dan puitis.
- “Burung-burung duka”, “sepatusepatu badai”, “lagu berdenting” – membangun suasana auditori yang gelisah dan penuh tekanan batin.
- “Rumputan seakan menyala”, “mentari timbul-tenggelam dalam tangis” – menyajikan imaji yang hampir surealis, menyatukan elemen alam dengan rasa sedih yang membara.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini meliputi:
- Personifikasi: “Mentari luka”, “burung-burung duka”, “sungai-sungai derita”, “angin pun letih” — memberi sifat manusiawi pada elemen alam untuk memperkuat ekspresi emosional.
- Metafora: “Senja yang biru” sebagai metafora waktu perpisahan yang diliputi duka.
- Sosok yang “menari-nari di padang” bisa menjadi metafora kenangan, masa lalu, atau bahkan kematian.
- Repetisi: Kata “duka” dan “biru” diulang beberapa kali sebagai penekanan terhadap emosi dominan dalam puisi.
- Simbolisme warna: Warna “biru” bukan hanya deskripsi visual, tetapi menjadi simbol universal untuk kesedihan, keterasingan, dan kedalaman perasaan.
Puisi "Senja yang Biru" karya Budiman S. Hartoyo adalah ekspresi mendalam dari kesedihan yang puitis. Penyair tidak hanya menggambarkan duka sebagai rasa, tetapi menjadikannya bagian dari lanskap alam dan waktu. Dalam puisi ini, kita melihat bahwa senja bukan sekadar momen indah menjelang malam, tapi juga waktu di mana kesedihan mendekat, perlahan, dengan warna biru yang abadi.
Puisi ini bukan hanya bacaan, tetapi perenungan, bahwa dalam hidup, biru dan duka sering berjalan beriringan, menyisakan keheningan yang paling jujur dari manusia.
