Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Senja yang Biru (Karya Budiman S. Hartoyo)

Puisi "Senja yang Biru" karya Budiman S. Hartoyo bercerita tentang perasaan duka yang mendalam, datang bersama senja, dan menyatu dengan alam yang ...
Senja yang Biru

Angin pun letih. Berhentilah sebentar istirahat
Mentari luka. Meleleh di balik senja
Biru
Burung-burung duka. Menggebu
O dukaku, nestapaku
datanglah. Segera mendaratlah engkau
di sini. Sungai-sungai derita
Keluh angin dan senja yang biru

Sekilas berdenting lagu
mendatar berguling-guling
Hilang. Berhenti. Berdentam di balik kenangan
Berderap sepatu-sepatu badai. Sangsai
Menangis ia.
Alam yang biru
Pucat.
Senja yang biru

Siapakah itu
yang menari-nari di padang hijau
Rumputan seakan menyala. Terbakar
mentari yang timbul-tenggelam
dalam duka dan tangis
Siapakah engkau
yang memacu dukaku, meniti
sepanjang sisa-sisa cahaya surya?

Senja yang biru
Biru selamanya
Duka. Duka
Biru
dan Duka

1969

Sumber: Sebelum Tidur (1977)
Catatan:
Puisi Senja yang Biru sebelumnya pernah muncul di Horison Edisi September, 1972. Namun larik-lariknya tidak utuh sama seperti yang di buku Sebelum Tidur (1977).

Analisis Puisi:

Puisi "Senja yang Biru" karya Budiman S. Hartoyo adalah karya liris yang sarat emosi, atmosfer, dan simbolisme warna. Dalam puisi ini, penyair menghadirkan senja sebagai titik puncak emosi—waktu transisi yang sarat makna, di mana segala sesuatu yang terang mulai meredup dan membawa serta rasa kehilangan, duka, dan kesendirian.

Tema

Tema utama dari puisi ini adalah duka dan kesedihan yang melekat dalam kenangan dan peristiwa hidup. Warna biru dalam judul dan berbagai bagian puisi menjadi lambang suasana hati yang melankolis, bahkan depresif. Senja menjadi latar yang melukiskan akhir atau perpisahan—baik secara emosional, eksistensial, maupun spiritual.

Puisi ini bercerita tentang perasaan duka yang mendalam, datang bersama senja, dan menyatu dengan alam yang muram. Penyair memanggil-manggil duka seperti teman lama yang akan "mendarat", menunjukkan betapa akrabnya tokoh lirik dengan kesedihan itu. Ia tidak menolak duka, bahkan menyambutnya sebagai bagian dari keberadaan.

Dalam bait-bait akhir, muncul sosok misterius yang menari-nari di padang, memacu duka, seakan menjadi pemicu atau bayangan masa lalu yang tak terhapus. Ini menjadikan puisi terasa sangat personal dan simbolik.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini sangat mendalam:
  • Duka bukan hanya rasa sakit, tetapi juga kenangan, kesadaran, dan bagian dari siklus hidup.
  • Senja menjadi metafora waktu peralihan: dari terang ke gelap, dari kehidupan ke kehampaan atau perpisahan.
  • Sosok yang “menari-nari di padang hijau” bisa dimaknai sebagai kenangan yang menyala kembali, menyulut luka yang belum sembuh.
Penyair juga mengisyaratkan bahwa kesedihan bukanlah tamu, tetapi sesuatu yang tinggal selamanya—dalam “biru”, dalam waktu, dalam kenangan.

Suasana dalam Puisi

Puisi ini memancarkan suasana muram, sendu, dan melankolis. Kata-kata seperti “letih”, “luka”, “duka”, “nestapa”, “pucat”, dan “derita” menciptakan atmosfer emosional yang sangat gelap. Bahkan warna alam—langit, senja, dan rumput—diresapi oleh emosi si tokoh lirik, menunjukkan keharmonisan antara batin dan semesta dalam kesedihan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang tersirat dari puisi ini adalah:
  • Kesedihan adalah bagian dari kehidupan yang harus diakui, bukan disangkal.
  • Keindahan pun bisa ditemukan dalam momen perpisahan dan duka, sebagaimana senja yang biru bisa begitu menyentuh.
  • Kita tidak bisa lari dari duka; yang bisa kita lakukan adalah merangkulnya, memaknainya.

Imaji

Puisi ini penuh dengan imaji visual dan auditori yang kuat, seperti:
  • “Mentari luka, meleleh di balik senja biru” – gambaran visual yang menyedihkan dan puitis.
  • “Burung-burung duka”, “sepatusepatu badai”, “lagu berdenting” – membangun suasana auditori yang gelisah dan penuh tekanan batin.
  • “Rumputan seakan menyala”, “mentari timbul-tenggelam dalam tangis” – menyajikan imaji yang hampir surealis, menyatukan elemen alam dengan rasa sedih yang membara.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini meliputi:
  • Personifikasi: “Mentari luka”, “burung-burung duka”, “sungai-sungai derita”, “angin pun letih” — memberi sifat manusiawi pada elemen alam untuk memperkuat ekspresi emosional.
  • Metafora: “Senja yang biru” sebagai metafora waktu perpisahan yang diliputi duka.
  • Sosok yang “menari-nari di padang” bisa menjadi metafora kenangan, masa lalu, atau bahkan kematian.
  • Repetisi: Kata “duka” dan “biru” diulang beberapa kali sebagai penekanan terhadap emosi dominan dalam puisi.
  • Simbolisme warna: Warna “biru” bukan hanya deskripsi visual, tetapi menjadi simbol universal untuk kesedihan, keterasingan, dan kedalaman perasaan.
Puisi "Senja yang Biru" karya Budiman S. Hartoyo adalah ekspresi mendalam dari kesedihan yang puitis. Penyair tidak hanya menggambarkan duka sebagai rasa, tetapi menjadikannya bagian dari lanskap alam dan waktu. Dalam puisi ini, kita melihat bahwa senja bukan sekadar momen indah menjelang malam, tapi juga waktu di mana kesedihan mendekat, perlahan, dengan warna biru yang abadi.

Puisi ini bukan hanya bacaan, tetapi perenungan, bahwa dalam hidup, biru dan duka sering berjalan beriringan, menyisakan keheningan yang paling jujur dari manusia.

Puisi Budiman S. Hartoyo
Puisi: Senja yang Biru
Karya: Budiman S. Hartoyo

Biodata Budiman S. Hartoyo:
  • Budiman S. Hartoyo lahir pada tanggal 5 Desember 1938 di Solo.
  • Budiman S. Hartoyo meninggal dunia pada tanggal 11 Maret 2010.
  • Budiman S. Hartoyo adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.