Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Seorang Ibu di Pagi Hari (Karya Tri Astoto Kodarie)

Puisi "Seorang Ibu di Pagi Hari" karya Tri Astoto Kodarie bercerita tentang seorang ibu yang selalu tampak berjalan di pagi hari, dengan tubuh ...
Seorang Ibu di Pagi Hari

aku selalu melihatnya di pagi hari, seorang ibu mengenakan kerundung
melintasi jalanan dengan kepala merunduk seperti sedang menelusuri
sebuah kenangan yang hilang ditinggalkan waktu yang terus berlalu
menembus pagi yang masih menyisakan sedikit embun dari hujan semalam
tak juga mengilukan ringkihnya tulang yang nampak menonjol di kulit lengannya
ibu itu terus merunduk sambil berjalan
sedang aku hanya termangu di balik jendela memandangi lengang jalanan
dan seorang ibu yang entah di mana anak-anaknya

pagi tak percuma melukiskan seorang ibu bersama kata-kata yang membeku
seperti lidahku yang kelu ingin selalu memanggilnya dengan penuh kasih
atau memintanya untuk menyinggahi rumahku dan bercerita di teras
tentang anak-anaknya yang mungkin telah pergi jauh mencari kehidupan
atau tentang hidupnya yang bersahaja, meniti waktu dengan sempurna

jika esok aku masih bertemu dengan seorang ibu di pagi hari
ingin kudekap sejarah hidupnya yang nampak sederhana itu.

2007

Analisis Puisi:

Puisi "Seorang Ibu di Pagi Hari" merupakan potret puitis tentang sosok ibu yang sederhana, penuh ketabahan, dan menyimpan kisah hidup yang menyentuh. Penyair menggambarkan figur ibu yang berjalan di pagi hari sebagai simbol dari keteguhan, kenangan, dan keheningan yang mendalam. Puisi ini menyampaikan pesan kemanusiaan dan kasih yang dalam dalam balutan suasana pagi yang hening dan reflektif.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah ketabahan seorang ibu dalam menjalani hidup, serta refleksi kasih dan penghormatan terhadap perjuangan seorang perempuan tua. Puisi ini juga membawa tema kesendirian, waktu, dan rasa ingin memahami hidup orang lain yang sederhana namun bermakna.

Puisi ini bercerita tentang seorang ibu yang selalu tampak berjalan di pagi hari, dengan tubuh ringkih dan kepala tertunduk, seolah memikul kenangan dan kehidupan yang berat namun dijalani dengan tenang. Sementara itu, tokoh “aku” dalam puisi menyaksikan ibu tersebut dari balik jendela, merenung tentang siapa ibu itu, ke mana anak-anaknya, dan bagaimana sejarah hidupnya.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah penghormatan diam-diam terhadap perjuangan hidup seorang ibu yang tidak dikenal secara pribadi namun mampu menyentuh hati secara mendalam. Ada rasa iba, kekaguman, dan kekosongan yang muncul dari pengamatan itu. Puisi ini juga mencerminkan kerinduan terhadap makna keluarga, kepedulian, dan keinginan untuk terhubung dengan sesama manusia di tengah keterasingan modern.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah hening, reflektif, dan penuh empati. Pagi digambarkan sebagai waktu yang tenang, sedikit dingin, dan menyisakan embun—semua ini memperkuat kesan lirih dan lembut dalam pengamatan penyair terhadap sosok ibu.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang disampaikan puisi ini antara lain:
  • Hargailah perjuangan orang-orang tua, khususnya para ibu, yang telah melewati hidup dengan keheningan dan ketabahan.
  • Jangan menutup diri terhadap kisah hidup orang lain, karena dari mereka kita bisa belajar tentang arti perjuangan dan kasih.
  • Waktu berjalan terus, namun kenangan dan manusia yang tabah tetap layak dikenang dan dimaknai.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji yang menggugah dan membentuk gambaran visual yang kuat:
  • “seorang ibu mengenakan kerundung melintasi jalanan dengan kepala merunduk” – menghadirkan sosok yang sederhana dan penuh beban batin.
  • “menelusuri sebuah kenangan yang hilang ditinggalkan waktu” – imaji abstrak tentang masa lalu yang memudar.
  • “tulang yang nampak menonjol di kulit lengannya” – gambaran fisik yang menyiratkan kelemahan dan kerja keras.
  • “jalan lengang, embun dari hujan semalam, jendela, rumah, teras” – membentuk lanskap pagi yang hening dan puitis.

Majas

Beberapa majas yang digunakan antara lain:
  • Personifikasi: “pagi tak percuma melukiskan seorang ibu” – pagi digambarkan seperti pelukis yang merekam kehidupan.
  • Metafora: “kata-kata yang membeku”, “sejarah hidupnya yang sederhana” – menunjukkan kedalaman perasaan yang tak terungkapkan.
  • Hiperbola: “ingin kudekap sejarah hidupnya” – menunjukkan keinginan besar untuk memahami hidup sang ibu.
  • Simbolisme: sosok ibu menjadi simbol ketabahan, sejarah, dan ketulusan hidup.
Puisi "Seorang Ibu di Pagi Hari" karya Tri Astoto Kodarie menyampaikan perenungan mendalam atas kehadiran sosok ibu yang sederhana namun menggetarkan. Dengan suasana pagi yang tenang dan penggunaan imaji serta majas yang kuat, puisi ini menyuarakan penghargaan terhadap perjuangan kaum ibu yang sering kali luput dari sorotan. Di balik langkah ringkih dan kepala yang tertunduk, tersimpan kekuatan, kasih, dan sejarah hidup yang patut direnungkan.

Puisi: Seorang Ibu di Pagi Hari
Puisi: Seorang Ibu di Pagi Hari
Karya: Tri Astoto Kodarie

Biodata Tri Astoto Kodarie:
  • Tri Astoto Kodarie lahir di Jakarta, pada tanggal 29 Maret 1961.
© Sepenuhnya. All rights reserved.