Seorang Prajurit kepada Bung Karno
di Maguwo, Desember 1949
Kami yang berpijak di atas lereng gunung kapur
antara terik panas dan godaan batu panas,
dan engkau yang berdiri di tengah padang rata
hijau membentang hendak merayap ke kaki kami,
Kami dan engkau beberapa detik tengadah ke langit,
darimana hujan pernah tercurah
membasahi bumi dan muka kita.
Bilamana lagi hujan akan tercurah,
pohon-pohon pada menari, - ?
Engkau tidak mau,
dan kamipun tidak mau
melepas bayangan yang kita tangkap di pagi hari,
dan kini ingin mati bersama dengan senja yang tiada berkabul.
Engkau dan kami hanya mau menutup mata
di permulaan malam hendak merahap,
malam yang sejuk,
yang membawa kedamaian milik bintang-bintang,
malam yang diam,
tak banyak bicara seperti unggas.
Engkau dan kami sama-sama tahu,
angin mengganti hujan dan hujan mengganti matahari
tapi semua tak bisa mematahkan kami,
tak bisa mematahkan engkau,
karena kami dan engkau terbuat daripada
sambaran gledek dan denyaran kilat.
Bila engkau nanti dibawa orang
masuk kesedihan awan yang sepi,
engkau akan mengenangkan kami,
kami yang berpihak di kapur panas,
sebagaimana kami akan mengenangkan engkau.
Di detik yang satu kami dan engkau akan berpadu kenang,
dan di detik itu hujan akan reda tiba-tiba,
mentari ‘kan melembutkan sinarnya seperti gadis yang indah,
dan segala ‘kan indah,
karena kepercayaan kita tetap indah.
Kepercayaan kepada gledek dan guntur yang melahirkan kita.
Kepercayaan kepada lembut sinar matahari
yang memupuk kita semesra ini,
Kepercayaan kepada langit
yang menginginkan bumi subur
dan lautan membelainya adil dan rata.
Sumber: Rekaman dari Tujuh Daerah (1951)
Analisis Puisi:
Puisi "Seorang Prajurit kepada Bung Karno", ditulis oleh Mh. Rustandi Kartakusuma di Maguwo, Desember 1949, merupakan salah satu puisi bernuansa patriotik dan eksistensial yang menyuarakan hubungan batin antara pemimpin dan rakyat—dalam hal ini, antara Bung Karno dan para prajurit. Ditulis dalam suasana pasca-revolusi, puisi ini memuat pergulatan jiwa, kesetiaan, dan semangat juang dalam bahasa yang penuh daya puitik.
Tema
Tema utama puisi ini adalah persatuan batin antara pemimpin dan prajurit dalam perjuangan bangsa. Tema ini diperluas menjadi perenungan tentang pengorbanan, harapan, dan kepercayaan terhadap alam dan kekuatan semesta. Penyair mengajak pembaca merenungi ikatan spiritual antara rakyat dan pemimpinnya—ikatan yang tak dapat dipatahkan oleh cuaca, waktu, atau penderitaan.
Puisi ini bercerita tentang dialog batin antara seorang prajurit dan Bung Karno, dalam suasana perjuangan yang keras, ketika mereka berada di medan yang berbeda—yang satu di lereng gunung kapur yang panas, yang lain di padang rata yang hijau. Keduanya sama-sama memandang langit, tempat hujan (yang bisa diartikan sebagai rahmat atau harapan) pernah turun, dan keduanya juga menantikan kedamaian dalam bentuk malam yang sejuk dan bintang-bintang yang tenang.
Melalui puisi ini, prajurit menyampaikan bahwa meskipun mereka berpisah secara fisik, mereka tetap satu dalam semangat dan cita-cita. Jika suatu hari Bung Karno jatuh dalam kesepian atau kesedihan, ia akan mengingat para prajurit; demikian pula para prajurit akan selalu mengingat pemimpinnya.
Makna Tersirat
Puisi ini memuat beberapa makna tersirat:
- Kepercayaan adalah dasar dari keteguhan perjuangan. Penyair menyebut “kepercayaan kepada gledek dan guntur yang melahirkan kita” sebagai simbol dari kekuatan semesta yang mengilhami perjuangan rakyat.
- Kesetiaan antara rakyat dan pemimpin bukanlah fisik, tetapi spiritual dan eksistensial.
- Kondisi medan perang yang keras tidak bisa mematahkan semangat dan idealisme, baik dari pemimpin maupun prajurit.
Puisi ini juga menyiratkan bahwa perjuangan tidak hanya membutuhkan keberanian, tetapi juga harapan, kesadaran akan alam, dan kekuatan batin.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini adalah melankolis namun penuh semangat. Ada nuansa kesendirian dan kesunyian—seperti “malam yang diam” dan “awan yang sepi”—tetapi juga semangat yang membara seperti “gledek dan denyaran kilat”. Keseimbangan ini menciptakan atmosfer yang reflektif dan puitis.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan bahwa kekuatan sejati dalam perjuangan tidak hanya berasal dari senjata atau strategi, tetapi juga dari jiwa yang percaya, dari ikatan batin yang kuat antara pemimpin dan rakyat. Selain itu:
- Jangan menyerah pada cuaca, waktu, atau keadaan.
- Ingatlah bahwa setiap pengorbanan akan dikenang.
- Kita semua lahir dari kekuatan semesta yang sama, maka semangat itu tak boleh padam.
Imaji
Puisi ini dipenuhi imaji alam dan eksistensial yang kuat:
- Imaji visual: “lereng gunung kapur”, “padang rata hijau”, “malam yang diam”, “awan yang sepi”.
- Imaji suara: “sambaran gledek”, “denyaran kilat”, “guntur”.
- Imaji spiritual dan emosional: “ingin mati bersama dengan senja yang tiada berkabul”, “di detik yang satu kami dan engkau akan berpadu kenang”.
Imaji ini memberikan kesan medan tempur yang nyata dan sekaligus simbolik—sebuah tempat fisik sekaligus batin tempat perjuangan berlangsung.
Majas
Berbagai majas memperkaya daya estetis dan simbolik puisi ini:
- Personifikasi: Alam diberi sifat manusia, seperti “malam yang membawa kedamaian milik bintang-bintang”.
- Metafora: “Gledek dan guntur yang melahirkan kita” sebagai metafora dari kekuatan, amarah, dan semangat revolusi.
- Simbolisme: “Senja yang tiada berkabul” melambangkan harapan yang belum tercapai.
- Antitesis: “Hujan mengganti matahari, angin mengganti hujan”—menggambarkan siklus perjuangan dan perubahan dalam kehidupan.
Puisi "Seorang Prajurit kepada Bung Karno" adalah puisi perenungan dan penguatan spiritual yang ditulis dari sudut pandang seorang prajurit kepada pemimpinnya. Puisi ini menunjukkan bahwa perjuangan bukan hanya soal medan perang, tetapi soal keyakinan, harapan, dan cinta kepada tanah air. Dalam diksi yang liris namun tajam, Rustandi Kartakusuma berhasil menggambarkan ikatan sakral antara rakyat dan pemimpinnya, dalam wajah Indonesia yang sedang bertarung merebut martabat.
Puisi ini menjadi semacam doa, kenangan, sekaligus ikrar yang menggema dari lereng kapur Maguwo hingga ke langit sejarah Indonesia.
Karya: Mh. Rustandi Kartakusuma
Biodata Mh. Rustandi Kartakusuma:
- Mh. Rustandi Kartakusuma atau Muhammad Rustandi Kartakusuma (akrab dipanggil Uyus) lahir pada tanggal 27 April 1921 di Ciamis, Provinsi Jawa Barat.
- Mh. Rustandi Kartakusuma meninggal dunia pada hari Jumat 11 April 2008 pukul 06.15 WIB di Panti Jompo Ria Pembangunan, Cibubur.
