Soneta Senja
Biarkan merah nyala naik marak
lidah-bibir menolak bicara banyak.
Kebiruan yang menanti
tidak lagi tinggal sendiri.
Ibu, Bapa! Terlalu sering ini pelabuhan
dikunjungi kapal tanpa kelasi
dan bernyanyi jurumudi:
Tuhan berdiri di luar sejarah!
Apatah tubuh yang terpaku
disalib bukit Golgota
di luar ruang dan waktu?
Segala yang jatuh, segala yang luruh
segala yang pudar di senja samar
tiba di Tangan mesra kasih
Jakarta, 17 Mei 1953
Sumber: Majalah Zenith (Juli, 1953)
Analisis Puisi:
Puisi “Soneta Senja” karya Odeh Suardi adalah sebuah karya puitik yang mengajak pembaca merenung tentang spiritualitas, eksistensi, dan hubungan manusia dengan sejarah serta Tuhan. Meski berbentuk soneta, puisi ini tidak sekadar menyuguhkan permainan bunyi dan bentuk, tetapi menggali persoalan makna secara filosofis dan religius.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah ketuhanan dan kerinduan spiritual menjelang akhir (senja). Puisi ini juga memuat nuansa pencarian makna di tengah keraguan terhadap sejarah dan pengalaman manusia.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa dalam keheningan dan kesamaran senja—simbol dari usia lanjut atau akhir perjalanan hidup—manusia menemukan perenungan yang dalam tentang Tuhan dan keselamatan. Kalimat “Tuhan berdiri di luar sejarah” mengandung gagasan filsafat teologis, yaitu bahwa Tuhan tidak tunduk pada waktu dan ruang manusia.
Ada pula pergulatan batin antara iman, keraguan, dan harapan akan kasih ilahi—terutama dalam bayang-bayang luka sejarah (yang digambarkan lewat metafora Golgota dan kapal tanpa kelasi).
Puisi ini bercerita tentang perenungan spiritual seorang penyair atau tokoh liris menjelang senja hari—baik secara harfiah maupun simbolis. Ia mengamati langit yang memerah, mengenang orang tua, dan merenungkan ketidakhadiran atau jarak Tuhan dalam sejarah umat manusia. Semua kegelisahan itu akhirnya bermuara pada pengharapan, bahwa yang jatuh dan pudar akan diterima oleh “Tangan mesra kasih”.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini adalah melankolis, kontemplatif, dan religius. Ada ketenangan yang sarat emosi di dalam warna senja, tetapi juga kehampaan yang muncul dari pertanyaan eksistensial: apakah Tuhan hadir dalam sejarah manusia? Suasana ini beranjak dari keheningan menuju harapan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan moral atau spiritual yang bisa ditarik dari puisi ini antara lain:
- Ketika hidup dan sejarah tampak absurd atau penuh luka, Tuhan tetap menjadi tempat pengharapan terakhir.
- Tidak semua pertanyaan tentang kehidupan dan penderitaan bisa dijawab oleh sejarah atau logika; ada ruang untuk iman dan kasih.
- Manusia, betapa pun jatuh dan rapuh, pada akhirnya akan menuju cinta ilahi yang menerima tanpa syarat.
Imaji
Beberapa imaji dalam puisi ini sangat kuat dan indah:
- “Biarkan merah nyala naik marak” → imaji visual tentang langit senja yang menyala.
- “kapal tanpa kelasi” → imaji simbolik tentang kekosongan atau kehilangan arah.
- “tubuh yang terpaku di salib” → imaji religius yang merujuk pada penderitaan Kristus.
- “Tangan mesra kasih” → imaji spiritual yang menghadirkan kehangatan dan pengampunan.
Majas
Puisi ini memanfaatkan berbagai majas yang memperkuat makna:
- Personifikasi: “kapal tanpa kelasi dan bernyanyi jurumudi” – kapal digambarkan bernyanyi, memberikan kesan dramatis pada kekosongan itu.
- Metafora: “tubuh yang terpaku” dan “Golgota” sebagai metafora penderitaan universal.
- Paradoks: “Tuhan berdiri di luar sejarah” – menghadirkan ketegangan filosofis antara iman dan realitas sejarah.
- Simbolisme: “senja” sebagai lambang dari pengakhiran, transisi, atau kematian.
Puisi “Soneta Senja” karya Odeh Suardi adalah puisi reflektif yang mengolah perasaan spiritual dan eksistensial dalam bingkai waktu yang pudar: senja. Melalui pencitraan kuat dan pernyataan bernuansa religius-filosofis, puisi ini menyuarakan dialog batin manusia dengan dirinya, sejarah, dan Tuhan. Dalam segala ketidakpastian dan kejatuhan, kasih ilahi menjadi satu-satunya kepastian yang lembut dan menyelamatkan.
Karya: Odeh Suardi
Biodata Odeh Suardi:
- Odeh Suardi lahir pada tanggal 6 September 1930 di Sumedang.