Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Surat Kepada Tuhan (Karya Karsono H. Saputra)

Puisi “Surat Kepada Tuhan” karya Karsono H. Saputra bercerita tentang seorang cucu yang menulis “surat” kepada Tuhan, menanyakan kabar neneknya ...
Surat Kepada Tuhan

tuhan,
bolehkan aku tahu tentang nenekku
    yang kau panggil sebulan lalu
bagaimana khabarnya
apakah batuk dan sesak napasnya masih mengganggu
tolong sampaikan
    cucunya yang nakal sangat rindu


Sumber: Melati untuk Bunda (2005)

Analisis Puisi:

Puisi pendek berjudul “Surat Kepada Tuhan” karya Karsono H. Saputra menyampaikan kerinduan seorang cucu kepada neneknya yang telah meninggal. Meskipun ditulis dalam satu bait berisi tujuh baris, puisi ini memuat kedalaman emosi yang menyentuh dan keintiman spiritual yang kuat. Kesederhanaan bahasanya justru menjadi kekuatannya: lugu, jujur, dan mengharukan.

Tema: Rindu dan Doa kepada yang Telah Tiada

Tema utama dalam puisi ini adalah kerinduan terhadap orang tercinta yang telah meninggal, dibingkai dalam bentuk doa yang lembut dan polos. Penyair memotret hubungan emosional antara cucu dan neneknya yang begitu erat, bahkan setelah kematian memisahkan mereka.

Namun tidak hanya tentang kehilangan, puisi ini juga berbicara tentang komunikasi spiritual antara manusia dan Tuhan, yang menjadi tempat satu-satunya harapan dan pelipur lara.

Makna Tersirat: Kepergian Tak Menghapus Cinta

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa cinta tidak berakhir dengan kematian. Bahkan ketika seseorang telah tiada, kerinduan tetap hidup dalam ingatan dan doa. Dalam kerangka spiritual, penyair menyiratkan bahwa doa bisa menjadi jembatan antara dunia fana dan dunia baka, dan bahwa Tuhan menjadi penghubung yang paling dekat antara mereka yang tertinggal dan mereka yang telah pergi.

Ada pula makna tentang rasa bersalah dan harapan akan pengampunan, yang tersirat dalam baris:

"cucunya yang nakal sangat rindu"

Ini menandakan kesadaran si cucu akan kenakalannya di masa lalu, sekaligus kerinduan yang tulus untuk kembali dekat secara batin dengan sosok sang nenek.

Unsur Puisi:

  • Diksi: sederhana, lembut, akrab — sangat sesuai dengan sudut pandang seorang anak atau remaja yang sedang berdoa.
  • Rima: tidak beraturan, namun terasa musikal secara alami karena pilihan katanya yang emosional dan personal.
  • Tipografi: baris-baris pendek dan pemilihan kata “tuhan” yang ditulis dengan huruf kecil memberikan kesan keintiman dan kerendahan hati dalam menyapa Tuhan.
  • Larik: setiap larik berisi satu ide atau emosi, membentuk narasi yang padat dan menyentuh.
Puisi ini bercerita tentang seorang cucu yang menulis “surat” kepada Tuhan, menanyakan kabar neneknya yang telah meninggal sebulan sebelumnya. Ia bertanya apakah penyakit neneknya—batuk dan sesak napas—masih mengganggunya, dan menyampaikan betapa besar rindunya.

Cerita ini disampaikan dengan gaya yang polos dan tulus, seolah memang ditulis dari hati seorang anak yang belum terbiasa memahami kematian, tapi mencoba menjangkaunya lewat doa.

Suasana dalam Puisi: Haru, Rindu, dan Lugu

Suasana puisi ini sangat mengharukan, tetapi bukan dengan cara yang dramatis. Justru kesederhanaannya membuat kesedihan dalam puisi ini terasa lebih menyayat. Kerinduan disampaikan dengan cara yang jujur dan tidak dibuat-buat, sehingga pembaca bisa ikut merasakan kedukaan sekaligus ketulusan yang terpancar dari kata-kata si cucu.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan beberapa pesan penting:
  • Rindu tidak mengenal batas dunia — bahkan kepada yang telah meninggal, cinta dan rindu tetap hidup.
  • Tuhan menjadi tempat berlindung dan berkomunikasi yang paling intim ketika semua manusia tak bisa lagi menjawab.
  • Kesederhanaan dalam berdoa dan merasakan kehilangan bisa jauh lebih tulus daripada kata-kata yang rumit.
  • Anak-anak pun menyimpan kedalaman rasa, dan penting bagi kita untuk mendengarkan bahasa cinta mereka yang kadang tak terdengar.

Imaji: Sakit, Doa, dan Sosok Nenek

Puisi ini menghadirkan imaji emosional yang kuat meski hanya melalui beberapa elemen:
  • “batuk dan sesak napas” → menghadirkan ingatan fisik yang menyakitkan, memperkuat kesan sayang si cucu.
  • “tuhan” dan “khabarnya” → menciptakan imaji komunikasi lintas dunia, antara bumi dan akhirat.
  • “cucunya yang nakal sangat rindu” → menghadirkan imaji diri kecil, penuh penyesalan, yang kini hanya bisa berharap dalam doa.

Majas: Apostrof, Simbolisme, dan Repetisi Emosional

  • Apostrof: Majas langsung menyapa Tuhan, digunakan sejak baris pertama — “tuhan,”. Ini menunjukkan bentuk komunikasi spiritual.
  • Simbolisme: Penyebutan “cincin” atau “hidung dicucuk” (dalam puisi lain karya penyair lain) dihindari di sini — sebaliknya, simbol yang digunakan adalah doa dan kerinduan, sebagai bentuk pengikat emosional.
  • Repetisi Emosional Tersirat: Pengulangan ide “rindu”, “batuk”, dan “sebulan lalu” membentuk tekanan emosional yang dalam, meskipun tidak dalam bentuk repetisi langsung.
Puisi “Surat Kepada Tuhan” karya Karsono H. Saputra adalah karya pendek namun sarat makna, yang memperlihatkan kerinduan seorang cucu kepada neneknya yang telah tiada, dengan penuh kesederhanaan dan cinta. Puisi ini tidak hanya menyentuh sisi spiritual, tetapi juga menyuarakan rasa kehilangan dari sudut pandang seorang anak, yang polos, jujur, dan sangat manusiawi.

Dengan bahasa yang sederhana, imaji yang kuat, dan pesan yang dalam, puisi ini layak menjadi bacaan reflektif tentang bagaimana cinta dan doa menyambungkan yang terpisah oleh waktu dan kematian.

Karsono H. Saputra
Puisi: Surat Kepada Tuhan
Karya: Karsono H. Saputra
© Sepenuhnya. All rights reserved.