Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Tanpa Senjata Ia Dibunuh (Karya Melki Deni)

Puisi “Tanpa Senjata Ia Dibunuh” karya Melki Deni bercerita tentang kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, pembunuhan yang dilakukan oleh ...
Tanpa Senjata Ia Dibunuh

Seketika itu langit mendung, petir ingin menyambar
rumah para koruptor di Tanah Air, tetapi awan gelap mengelabuinya.
Setelah Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan
vonis hukuman mati kepada eks Kadiv Propam Mabes Polri Ferdy Sambo,
seorang mahasiwa program studi hukum bertanya: "Bagaimana Ferdy Sambo
membunuh Nofriansyah Yosua Hutabarat?" Air mataku yang dingin
mengalir lagi sehabis meratapi ratusan orang gugur tanpa pamit
dalam Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022,
dan kematian ratusan orang di Cianjur tanpa sepatah kata.
"Lalu bagaimana Ferdy Sambo membunuh Nofriansyah Yosua Hutabarat?"
Seperti maut, seperti wabah, seperti zombi, seperti dia sendiri,
jawabku sambil menduga-duga apakah Tuhan menerima mereka di surga.
"Tetapi bagaimana Ferdy Sambo membunuh Nofriansyah Yosua Hutabarat?" ia mulai
menangis membayangkan Tuhan takut kepada senjata Ferdy Sambo
pada detik-detik itu. Atau Tuhan datang terlambat, katanya.
"Pertama-tama Ferdy Sambo membunuh kebenaran. Tanpa senjata
ia dibunuh. Kebenaran terkapar, dan orang-orang tidak meratapi
kematiannya karena tiada rekam jejak, lalu Ferdy Sambo membunuh
Nofriansyah Yosua Hutabarat. Beberapa saat kemudian darah Nofriansyah Yosua Hutabarat
menangis dan berbicara kepada para leluhur dan kepada adat istiadat nenek moyangnya.
Mereka berbisik kepada rahim ibunya, 'Yosua, anak kesayangan kita
dibunuh di rumah Kadiv Propam Mabes Polri, Ferdy Sambo.
Kami datang terlambat! Ferdy Sambo terlampau cekat'
Seketika itu rahim ibunya menangis."

2023

Analisis Puisi:

Puisi “Tanpa Senjata Ia Dibunuh” karya Melki Deni bukan sekadar catatan puitik atas tragedi hukum dan kemanusiaan, tetapi juga jeritan moral atas kebenaran yang dikorbankan. Melalui narasi yang lugas namun mengguncang, puisi ini menjadi suara duka, protes, dan kesadaran kolektif tentang ketidakadilan yang melanda negeri.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kematian kebenaran dalam pusaran kekuasaan dan tragedi kemanusiaan. Kematian seorang korban bukan hanya ditangisi sebagai kehilangan nyawa, tetapi sebagai simbol musnahnya keadilan dan nurani dalam sistem hukum dan sosial.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa pembunuhan tidak selalu dilakukan dengan senjata; bisa dimulai dari membungkam kebenaran. Ketika kebenaran dibunuh lebih dahulu, maka kejahatan berikutnya menjadi mungkin dan bahkan terstruktur. Penyair seolah menuding bahwa sistem yang membiarkan ini terjadi telah lama membusuk.

Puisi ini bercerita tentang kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, pembunuhan yang dilakukan oleh Ferdy Sambo, dan tragedi besar lain seperti Kanjuruhan dan Cianjur, yang menjadi latar penderitaan kolektif bangsa. Dalam konteks itu, muncul suara mahasiswa hukum yang terus bertanya, bukan hanya sebagai tokoh, tapi juga simbol generasi yang belum menemukan jawaban tuntas atas keadilan.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang dibangun dalam puisi ini adalah muram, murka, getir, dan penuh luka. Duka bercampur dengan amarah yang membara dalam diam. Suasana inilah yang membuat puisi ini terasa sangat emosional dan menggugah.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang tersirat dalam puisi ini adalah bahwa kita sebagai masyarakat tidak boleh membiarkan kebenaran dibungkam. Ketika suara keadilan dibunuh, maka tragedi demi tragedi akan terus berulang. Puisi ini menggugah nurani agar tidak lupa, tidak diam, dan tidak menyerah dalam membela keadilan, bahkan ketika sistem terlihat lumpuh.

Imaji

Puisi ini menyuguhkan imaji yang kuat dan menyayat, di antaranya:
  • “Air mataku yang dingin mengalir lagi” – gambaran perasaan duka yang mendalam.
  • “Darah Nofriansyah Yosua Hutabarat menangis dan berbicara” – membangkitkan kesan spiritual dan sakral dari korban yang tak sempat bersuara.
  • “Rahim ibunya menangis” – simbol kesedihan terdalam dari asal kehidupan, menekankan nilai kemanusiaan yang dilukai.

Majas

Puisi ini diperkaya oleh berbagai majas yang memperkuat daya ungkap:
  • Personifikasi: “petir ingin menyambar rumah para koruptor”, “rahim ibunya menangis”, dan “darah menangis dan berbicara” memberi kekuatan dramatis.
  • Simile: “seperti maut, seperti wabah, seperti zombi” – menunjukkan kengerian yang tidak hanya terjadi secara fisik, tapi juga metafisik.
  • Ironi: “Tuhan takut kepada senjata Ferdy Sambo” – sindiran tajam terhadap ketidakadilan dan ketimpangan kekuasaan.
  • Metafora: “Ferdy Sambo membunuh kebenaran” – menyamakan tindakan kejahatan fisik dengan pembunuhan prinsip moral dan keadilan.
Puisi “Tanpa Senjata Ia Dibunuh” adalah seruan nurani yang mengingatkan bahwa kejahatan terbesar bukan hanya membunuh manusia, tapi juga membunuh kebenaran. Melki Deni menyampaikan kepedihan dan kemarahan kolektif melalui puisi ini, menempatkan tragedi Yosua Hutabarat, Kanjuruhan, dan Cianjur sebagai potret nyata dari negara yang tak hanya kehilangan warganya, tapi juga kehilangan hati nuraninya. Sebuah puisi yang tak sekadar untuk dibaca, melainkan untuk direnungkan dan dijadikan panggilan moral.

Puisi Melki Deni
Puisi: Tanpa Senjata Ia Dibunuh
Karya: Melki Deni

Biodata Melki Deni:
  • Melki Deni adalah mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT.
  • Melki Deni menjuarai beberapa lomba penulisan karya sastra, musikalisasi puisi, dan sayembara karya ilmiah baik lokal maupun tingkat nasional.
  • Buku Antologi Puisi pertamanya berjudul TikTok. Aku Tidak Klik Maka Aku Paceklik (Yogyakarta: Moya Zam Zam, 2022).
  • Saat ini ia tinggal di Madrid, Spanyol.
© Sepenuhnya. All rights reserved.