Analisis Puisi:
Puisi “Tentang Menulis Sajak” karya Syu’bah Asa adalah semacam monolog batin yang dibalut dengan ironi dan refleksi. Penyair tidak sedang merayakan proses kreatif secara klise, tetapi justru mempertanyakan, menggugat, dan bermain-main dengan mitos tentang menulis puisi itu sendiri. Ia memandang kegiatan menulis bukan sebagai ritual sakral, tapi sebagai peristiwa manusiawi yang penuh ambivalensi dan absurditas.
Tema: Kebingungan, Kesangsian, dan Otokritik dalam Menulis Puisi
Tema utama dari puisi ini adalah pergumulan batin dalam proses menulis sajak, khususnya saat penyair merasa tidak cukup tergerak untuk menulis, namun juga tidak bisa melepaskan diri dari keinginan untuk menjadi penyair.
Puisi ini juga menyentuh tema lain yang tersembunyi: kecemasan identitas sebagai penulis, rasa inferior, hingga pertanyaan tentang keaslian dan keautentikan inspirasi kreatif.
Makna Tersirat: Menulis Sajak Tak Selalu Lahir dari Keinginan atau Kejeniusan
Puisi ini mengandung makna tersirat bahwa menulis sajak bukan semata perkara bakat, kehendak, atau teknik. Bahkan dorongan untuk menulis pun bisa datang dari rasa iri, keterdesakan, atau pengalihan dari aktivitas lain.
Dalam bait pertama, penyair menyebut Taufiq (kemungkinan besar merujuk pada Taufiq Ismail), yang sudah menulis banyak sajak dan membacakannya di hadapan publik, sementara penyair hanya terhenyak di sudut — ini gambaran rasa cemburu dan krisis kepercayaan diri.
Di bait-bait selanjutnya, penyair mempertanyakan apakah “rangsang puitik” bisa direkayasa. Apakah harus mondar-mandir, merenung, merokok, atau bepergian ke banyak negeri?
Makna terdalamnya: menulis sajak tidak selalu datang dari niat sadar atau metode tertentu, dan mungkin justru terjadi di luar semua usaha itu.
Unsur Puisi: Struktur, Diksi, dan Bunyi
- Struktur: Puisi ini terdiri dari 5 bait, sebagian besar terdiri dari 4 baris, kecuali bait ketiga dan kelima yang memuat 5 baris. Struktur ini mencerminkan suasana batin penyair yang tidak tetap — kadang teratur, kadang meluber dan bertanya-tanya lebih jauh.
- Diksi: Syu’bah Asa menggunakan diksi sehari-hari yang sengaja dibumikan — seperti “ketiak”, “rokok satu pak”, “planetarium” — menunjukkan bahwa puisi bukan sesuatu yang harus bersayap dan berbunga-bunga, melainkan bisa tumbuh dari hal biasa.
- Nada: Ironik, santai, tapi menyimpan ketegangan intelektual.
Puisi ini bercerita tentang tokoh liris yang mengalami dilema antara keinginan menulis sajak dan ketidakmampuan untuk melakukannya secara otentik. Ia membandingkan dirinya dengan penyair lain (Taufiq), meragukan metodenya sendiri, mempertanyakan motivasi, dan bahkan memutuskan tidak menulis — hingga akhirnya menyadari bahwa seluruh proses kebimbangan itu sendiri sudah menjadi puisi.
Ini adalah perjalanan otokritik dan penyadaran, bahwa keraguan pun bisa menjadi sumber puisi.
Suasana dalam Puisi: Ragu, Lucu, Ironik, Reflektif
Suasana puisi dibangun dengan kombinasi antara kelucuan ringan, ironi yang pahit, dan renungan pribadi. Bait terakhir memberi semacam kejutan atau “twist” yang khas:
“Sudah kutulis sebuah sajak”
Yang tadinya enggan dan meragukan, justru akhirnya menyadari bahwa seluruh kegelisahan ini adalah puisi itu sendiri. Suasana berubah dari bingung menjadi sadar diri.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Beberapa pesan penting dari puisi ini:
- Tidak ada satu cara baku untuk menulis sajak — inspirasi bisa hadir dari mana saja, termasuk dari rasa bingung dan kebosanan.
- Membandingkan diri dengan penyair lain bisa melemahkan, tapi juga menyadarkan.
- Kadang, menulis puisi bukan karena kita ingin, tetapi karena kita tidak bisa tidak menulis.
- Menulis bukan hanya soal hasil, tetapi juga soal proses perenungan dan perlawanan batin.
Imaji: Jendela, Ketiak, Planetarium, Rokok
Puisi ini penuh dengan imaji visual dan sensorik yang unik dan membumi, antara lain:
- “Sambil menghabiskan rokok satu pak” — imaji kebiasaan umum para penyair yang diparodikan.
- “Planetarium” — simbol dari pencarian luas dan kerinduan akan keteraturan semesta.
- “Ketiak” — imaji jenaka yang dipakai untuk menertawakan keagungan inspirasi yang sering dibesar-besarkan.
Imaji-imaji ini justru menegaskan bahwa puisi tidak harus suci dan abstrak, ia bisa tumbuh dari hal remeh dan tak terduga.
Majas: Ironi, Retorika, Hiperbola
- Ironi: Terletak di seluruh puisi. Penyair berkata “aku tak ingin menulis sajak”, tapi akhirnya puisi itu sendiri adalah sajak.
- Pertanyaan Retoris: “Mungkinkah sajak lahir dari kehendak?” atau “Mondar-mandirkah engkau di dalam kamar?” — bukan untuk dijawab, tetapi untuk menggugah pembaca.
- Hiperbola: “Menghabiskan rokok satu pak” — melebih-lebihkan suasana pencarian inspirasi sebagai bentuk satir.
Puisi “Tentang Menulis Sajak” karya Syu’bah Asa adalah refleksi eksistensial, jenaka, dan otentik tentang dilema penyair yang ingin menulis, namun tak tahu bagaimana cara yang benar. Dengan gaya puitik yang membumi, penuh ironi, dan jujur, puisi ini mengungkap bahwa sajak sering kali lahir bukan dari inspirasi hebat, tapi dari keraguan, kegelisahan, dan bahkan penolakan terhadap puisi itu sendiri.
Puisi ini mengajarkan kita bahwa pergumulan kreatif adalah puisi itu sendiri.
Puisi: Tentang Menulis Sajak
Karya: Syu’bah Asa
Biodata Syu’bah Asa:
- Syu’bah Asa lahir pada tanggal 21 Desember 1941 di Pekalongan, Jawa Tengah.
- Syu’bah Asa meninggal dunia pada tanggal 24 Juli 2010 (pada usia 69 tahun) di Pekalongan, Jawa Tengah.