Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Tidak Selamanya Kita Kan Bersedih, Bukan? (Karya Budiman S. Hartoyo)

Puisi “Tidak Selamanya Kita Kan Bersedih, Bukan?” karya Budiman S. Hartoyo bercerita tentang seseorang yang merenungkan hidupnya: luka-luka masa ...
Tidak Selamanya Kita Kan Bersedih, Bukan?

Tidak selamanya kita kan bersedih, bukan? Sandiwara
akhirnya kan menemukan penyesalannya.
Bukan di luar rencana. Semua berjalan
seperti telah ditetapkan. Hampir pasti.

Tidak selamanya kita kan bersedih, bukan? Teringat
kenangan lama yang berdebu. Kisah
yang hampir terlupa. hanya secoret tanda-tanda
pada angka-angka penanggalan. Hampir pudar.
Ah, seperti kemarin saja. Barusan terjadi.

Tidak selamanya kita kan bersedih, bukan? Seperti
waktu-waktu yang lewat. Kita selalu
berjudi dengan nasib.
Melawan dan menipu diri sendiri.
Menelan racun sedikit demi sedikit.

Tidak selamanya kita kan bersedih, bukan? Sebab hampir
selesai urusan kita. Di sini
kita kan melawat, berangkat.
berkendaraan awan, ruh pun melayang.
Menemukan diri sendiri.

Dan takkan selamanya
kita bakal bersedih.

1969

Sumber: Horison (September, 1972)
Catatan:
Dengan sedikit perombakan, puisi ini kemudian hari dimasukkan ke dalam buku Sebelum Tidur (1977).

Analisis Puisi:

Puisi “Tidak Selamanya Kita Kan Bersedih, Bukan?” karya Budiman S. Hartoyo menghadirkan renungan puitis yang dalam dan eksistensial. Dengan struktur bebas — lima bait dengan panjang baris tak beraturan dan pola rima tidak tetap — puisi ini menyuarakan harapan lirih dalam kegetiran hidup, sekaligus mengajak pembaca untuk berdamai dengan luka dan perjalanan waktu.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pengharapan di tengah penderitaan. Penulis menyiratkan bahwa kesedihan bukanlah keadaan abadi; ia akan berlalu seiring waktu dan kesadaran diri. Tema lain yang turut hadir adalah refleksi terhadap perjalanan hidup dan kematian, serta penerimaan terhadap takdir.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini menyentuh pemahaman bahwa penderitaan adalah bagian dari hidup yang tak bisa dihindari, namun tidak bersifat kekal. Di balik kegetiran—baik itu kenangan, penyesalan, kesalahan, maupun harapan yang patah—selalu ada ruang bagi ketenangan, penerimaan, dan bahkan pelepasan menuju akhir yang lebih ringan. Ada juga pesan tentang kerapuhan manusia yang sering menipu diri sendiri demi bertahan, tetapi pada akhirnya harus melepaskan.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang merenungkan hidupnya: luka-luka masa lalu, penyesalan yang muncul, waktu yang terus berjalan, dan akhirnya—kematian sebagai pelepasan yang tidak perlu ditakuti. Ia seperti dialog batin seseorang yang mencoba menenangkan diri (atau mungkin orang lain), dengan mengulang pertanyaan: "Tidak selamanya kita kan bersedih, bukan?"

Unsur Puisi

  • Struktur: Terdiri dari 5 bait dengan baris tak beraturan, mencerminkan kebebasan bentuk, sekaligus memperkuat kesan spontanitas perenungan.
  • Pengulangan: Frasa "Tidak selamanya kita kan bersedih, bukan?" diulang di setiap bait, menjadi semacam mantra atau afirmasi diri.
  • Diksi: Pemilihan kata seperti “sandiwara,” “berdebu,” “menipu diri,” “melawat,” hingga “berkendaraan awan” menciptakan warna batin yang luas—dari getir hingga pasrah.
  • Nada: Nada puisi cenderung melankolis dan kontemplatif, dengan sentuhan harapan tipis.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini melankolis dan reflektif, tetapi tidak sepenuhnya muram. Ia menyimpan kehangatan harapan, seperti seseorang yang lelah tapi perlahan menerima kenyataan hidup dengan hati terbuka.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan puisi ini adalah: kesedihan adalah bagian dari kehidupan, namun bukan akhir dari segalanya. Dengan waktu dan kesadaran, luka akan mengering, dan manusia akan menemukan makna di balik penderitaan. Bahkan dalam kematian, bukan semata-mata kehampaan, tapi mungkin justru perjumpaan dengan diri sejati.

Imaji

Puisi ini menyajikan banyak imaji visual dan emosional, seperti:
  • Kenangan lama yang berdebu — membangkitkan imaji benda tua yang nyaris terlupakan.
  • Angka-angka penanggalan yang hampir pudar — menekankan waktu yang diam-diam berlalu.
  • Menelan racun sedikit demi sedikit — imaji getir dan dramatis tentang kesengsaraan batin.
  • Berkendaraan awan, ruh pun melayang — imaji spiritual dan lembut tentang kematian.

Majas

Puisi ini kaya akan majas:
  • Repetisi: Pengulangan kalimat kunci di awal bait membentuk efek mantristik dan menekankan pesan utama.
  • Metafora: "Sandiwara menemukan penyesalannya", "berkendaraan awan", dan "menelan racun sedikit demi sedikit" merupakan metafora yang kuat untuk pengalaman hidup.
  • Personifikasi: Kenangan “berdebu” dan penanggalan “pudar” menunjukkan sifat benda yang dihidupkan.
  • Ironi: Kalimat “kita selalu berjudi dengan nasib” menyingkap kehidupan yang penuh ketidakpastian, seolah tahu risiko tapi tetap menempuhnya.
Puisi “Tidak Selamanya Kita Kan Bersedih, Bukan?” menyuguhkan kontemplasi mendalam tentang luka, harapan, dan kematian. Melalui gaya tutur yang lirih dan pengulangan kalimat pendorong semangat, Budiman S. Hartoyo mengajak pembaca untuk tidak takut menghadapi kesedihan. Ia menyuarakan bahwa penderitaan bukanlah rumah akhir, melainkan persinggahan dalam perjalanan menuju penerimaan dan kebebasan diri.

Puisi Budiman S. Hartoyo
Puisi: Tidak Selamanya Kita Kan Bersedih, Bukan?
Karya: Budiman S. Hartoyo

Biodata Budiman S. Hartoyo:
  • Budiman S. Hartoyo lahir pada tanggal 5 Desember 1938 di Solo.
  • Budiman S. Hartoyo meninggal dunia pada tanggal 11 Maret 2010.
  • Budiman S. Hartoyo adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.